PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Pada abad 21 ini, kita perlu menelaah kembali praktik-praktik
pembelajaran di sekolah-sekolah. Peranan yang harus dimainkan oleh dunia
pendidikan dalam mempersiapkan akan didik untuk berpartisipasi secara utuh dalam
kehidupan bermasyarakat di abad 21 akan sangat berbeda dengan peranan
tradisional yang selama ini dipegang oleh sekolah-sekolah.
Tampaknya, perlu adanya perubahan paradigma dalam menelaah proses belajar
siswa dan interaksi antara siswa dan guru. Sudah seyogyanyalah kegiatan belajar
mengajar juga lebih mempertimbangkan siswa. Siswa bukanlah sebuah botol kosong
yang bisa diisi dengan muatan-muatan informasi apa saja yang dianggap perlu
oleh guru. Selain itu, alur proses belajar tidak harus berasal dari guru menuju
siswa. Siswa bisa juga saling mengajar dengan sesama siswa yang lainnnya.
Bahkan, banyak penelitian menunjukkan bahwa pengajaran oleh rekan sebaya (peer teaching) ternyata lebih efektif
daripada pengajaran oleh guru. Sistem pengajaran yang memberi kesempatan kepada
anak didik untuk bekerjasama dengan sesama siswa dalam tugas-tugas yang
terstruktur disebut sebagai sistem “pembelajaran gotong royong” atau cooperative learning. Dalam sistem ini,
guru bertindak sebagai fasilitator.
Ada beberapa alasan penting mengapa sistem pengajaran ini perlu
dipakai lebih sering di sekolah-sekolah. Seiring dengan proses globalisasi,
juga terjadi transformasi sosial, ekonomi, dan demografis yang mengharuskan
sekolah untuk lebih menyiapkan anak didik dengan keterampilan-keterampilan baru
untuk bisa ikut berpartisipasi dalam dunia yang berubah dan berkembang pesat.
Sesungguhnya, bagi guru-guru di negeri ini metode gotong royong tidak
terlampau asing dan mereka telah sering menggunakannya dan mengenalnya sebagai metode kerja kelompok. Memang tidak
bisa disangkal bahwa banyak guru telah sering menugaskan para siswa untuk
bekerja dalam kelompok.
Sayangnya, metode kerja kelompok sering dianggap kurang efektif. Berbagai
sikap dan kesan negative memang bermunculan dalam pelaksaan metode kerja
kelompok. Jika kerja kelompok tidak berhasil, siswa cenderung saling
menyalahkan. Sebaliknya jika berhasil, muncul perasaan tidak adil. Siswa yang
pandai/rajin merasa rekannya yang kurang mampu telah membonceng pada hasil
kerja mereka. Akibatnya, metode kerja kelompok yang seharusnya bertujuan mulia,
yakni menanamkan rasa persaudaraan dan kemampuan bekerja sama, justru bisa
berakhir dengan ketidakpuasaan dan kekecewaaan. Bukan hanya guru dan siswa yang
merasa pesimis mengenai penggunaan metode kerja kelompok, bahkan kadang-kadang
orang tua pun merasa was-was jika anak mereka dimasukkan dalam satu kelompok
dengan siswa lain yang dianggap kurang seimbang.
Berbagai dampak negatif dalam menggunakan metode kerja kelmpok tersebut
seharusnya bisa dihindari jika saja guru mau meluangkan lebih banyak waktu dan
perhatian dalam mempersiapkan dan menyusun metode kerja kelompok. Yang
diperkanalkan dalam metode pembelajaran cooperative
learning bukan sekedar kerja kelompok, melainkan pada penstrukturannya.
Jadi, sistem pengajaran cooperative
learning bisa didefinisikan sebagai kerja/belajar kelompok yang
terstruktur. Yang termasuk di dalam struktur ini adalah lima unsure pokok
(Johnson & Johnson, 1993), yaitu saling ketergantungan positif, tanggung
jawab individual, interaksi personal, keahlian bekerja sama, dan proses
kelompok.
Kekawatiran bahwa semangat siswa dalam mengembangkan diri secara
individual bisa terancam dalam penggunaan metode kerja kelompok bisa dimengerti
karena dalam penugasan kelompok yang dilakukan secara sembarangan, siswa
bukannya belajar secara maksimal, melainkan belajar mendominasi ataupun
melempar tanggung jawab. Metode pembelajaran gotong royong distruktur
sedemikian rupa sehingga masing-masing anggota dalam satu kelompok melaksanakan
taanggung jawab pribadinya karena ada sistem akuntabilitas individu. Siswa
tidak bisa begitu saja membonceng jerih payah rekannya dan usaha setiap siswa
akan dihargai sesuai dengan poin-poin perbaikannya.
Berangkat dari pemikiran diatas, mendorong penulis untuk mengkaji
pendekatan cooperative model Group Investigation dalam meningkatkan hasil
belajar IPS pada siswa kelas IV sekolah dasar.
B.
Rumusan
Masalah
Merujuk pada uraian latar belakang di atas, rumusan masalah yang penulis
ajukan dalam makalah ini sebagai berikut: “ Bagaimana Pengaruh Pendekatan Cooperative Model Group Investigation Terhadap Hasil Belajar IPS Pada Siswa kelas IV Sekolah
Dasar?.
C.
Tujuan
Pembahasan
Tujuan
dari pembahasan makalah ini adalah ;
1. Untuk
mengetahui bagaimana pengaruh Pendekatan Cooperative
Model Group Investigation
terhadap proses pembelajaran IPS di sekolah dasar
2. Unutk
mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi hasil belajar IPS pada siswa
sekolah dasar.
D. Manfaat Pembahasan
Adapun manfaat dari pembahasan ini
adalah memberikan informasi tentang
pembelajaran Cooperative Model Group Investigation dalam mengoptimalisasikan hasil belajar IPS di sekolah
dasar.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakekat Hasil
Belajar Ilmu Pengetahuan Sosial
1. Pengertian Hasil
Belajar
Di dalam istilah hasil belajar, terdapat dua unsur di
dalamnya, yaitu unsur hasil dan unsur belajar. Hasil merupakan suatu hasil yang
telah dicapai pebelajar dalam kegiatan belajarnya (dari yang telah dilakukan,
dikerjakan, dan sebagainya), sebagaimana dijelaskan dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (2005: 787). Dari pengertian ini, maka hasil belajar adalah
penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran,
lajimnya ditunjukkan dengan nilai tes atau angka nilai yang diberikan oleh
guru.
Belajar itu sebagai suatu proses perubahan tingkah
laku, atau memaknai sesuatu yang diperoleh. Akan tetapi apabila kita bicara
tentang hasil belajar, maka hal itu merupakan hasil yang telah dicapai oleh si
pebelajar.
Istilah hasil belajar mempunyai hubungan yang erat kaitannya dengan
prestasi belajar. Sesungguhnya sangat sulit untuk membedakan pengertian
prestasi belajar dengan hasil belajar. Ada yang berpendapat bahwa pengertian
hasil belajar dianggap sama dengan pengertian prestasi belajar. Akan tetapi
lebih dahulu sebaiknya kita simak pendapat yang mengatakan bahwa hasil belajar
berbeda secara prinsipil dengan prestasi belajar. Hasil belajar menunjukkan
kualitas jangka waktu yang lebih panjang, misalnya satu cawu, satu semester dan
sebagainya. Sedangkan prestasi belajar menunjukkan kualitas yang lebih pendek,
misalnya satu pokok bahasan, satu kali ulangan harian dan sebagainya.
Nawawi 2001: 100) mengemukakan pengertian hasil adalah
sebagai berikut: Keberhasilan murid dalam mempelajari materi pelajaran di
sekolah yang dinyatakan dalam bentuk nilai atau skor dari hasil tes mengenai
sejumlah pelajaran tertentu.
Pendapat lain dikemukakan oleh Sadly (2005: 904), yang
memberikan penjelasan tentang hasil belajar sebagai berikut, “Hasil yang
dicapai oleh tenaga atau daya kerja seseorang dalam waktu tertentu”, sedangkan
Marimba (2003: 143) mengatakan bahwa “hasil adalah kemampuan seseorang atau
kelompok yang secara langsung dapat diukur”.
Menurut Nawawi (2001: 127), berdasarkan tujuannya,
hasil belajar dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
1) Hasil
belajar yang berupa kemampuan keterampilan atau kecapakan di dalam melakukan
atau mengerjakan suatu tugas, termasuk di dalamnya keterampilan menggunakan
alat.
2) Hasil
belajar yang berupa kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan tentang apa yang
dikerjakan.
3) Hasil
belajar yang berupa perubahan sikap dan tingkah laku.
2.
Faktor-faktor
Yang Mempengaruhi Hasil
Belajar
Sejak awal dikembangkannya ilmu pengetahuan tentang
perilaku manusia, banyak dibahas mengenai bagaimana mencapai hasil belajar yang
efektif. Para pakar dibidang pendidikan dan psikologi mencoba
mengidentifikasikan faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar. Dengan
diketahuinya faktor-faktor yang berpengaruh terhadap hasil belajar, para pelaksana
maupun pelaku kegiatan belajar dapat memberi intervensi positif untuk
meningkatkan hasil belajar yang akan diperoleh.
Secara implisit, ada dua faktor yang mempengaruhi
hasil belajar siswa, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
1)
Faktor Internal
Faktor internal meliputi faktor fisikologis, yaitu kondisi jasmani dan
keadaan fungsi-fungsi fisikologis. Faktor psikologis, yaitu yang mendorong atau
memotivasi belajar. Faktor-faktor tersebut diantaranya:
a) Adanya
keinginan untuk tahu
b) Agar
mendapatkan simpati dari orang lain.
c) Untuk
memperbaiki kegagalan
d) Untuk
mendapatkan rasa aman.
2) Faktor
Eksternal
Faktor-faktor
eksternal, yaitu faktor dari luar diri siswa yang ikut mempengaruhi belajar
siswa, yang antara lain berasal dari orang tua, sekolah, dan masyarakat.
a) Faktor
yang berasal dari orang tua
Faktor yang berasal dari orang tua ini utamanya adalah sebagi cara
mendidik orang tua terhadap siswanya. Dalam hal ini dapat dikaitkan suatu
teori, apakah orang tua mendidik secara demokratis, pseudo demokratis, otoriter,
atau cara laisses faire.
b) Faktor
yang berasal dari sekolah
Faktor yang berasal dari sekolah, dapat berasal dari guru, mata pelajaran
yang ditempuh, dan metode yang diterapkan. Faktor guru banyak menjadi penyebab
kegagalan belajar siswa, yaitu yang menyangkut kepribadian guru, kemampuan
mengajarnya.
c) Faktor
yang berasal dari masyarakat
Siswa tidak lepas dari kehidupan masyarakat. Faktor masyarakat bahkan
sangat kuat pengaruhnya terhadap pendidikan siswa.
Selain beberapa faktor internal dan eksternal di
atas, faktor yang mempengaruhi hasil belajar dapat disebutkan sebagai berikut:
1)
Minat
Seorang yang tidak berminat mempelajari sesuatu tidak akan berhasil
dengan baik, tetapi kalau seseorang memiliki minat terhadap objek masalah maka
dapat diharakan hasilnya baik.
2)
Kecerdasan
Kecerdasan memegang peranan penting menentukan berhasil tidaknya
seserorang. Berbagai penelitian menunjukkan hubungan yang erat antara tingkat
kecerdasan dan hasil belajar di sekolah (Sumadi, 2006: 11).
3)
Bakat
Bakat merupakan kemampuan bawaan sebagai potensi yang perlu dilatih dan
dikembangkan agar dapat terwujud (Utami, 2002: 17). Bakat memerlukan latihan
dan pendidikan agar suatu tindakan dapat dilakukan pada masa yang akan datang.
Selain kecerdasan bakat merupakan faktor yang menentukan berhasil tidaknya
seseorang dalam belajar (Sumadi, 2006: 12). Belajar pada bidang yang sesuai
dengan bakatnya akan memperbesar kemungkinan seseorang untuk berhasil.
4)
Motivasi
Motivasi merupakan dorongan yang ada pada diri siswa
untuk melakukan sesuatu tindakan. Besar kecilnya motivasi banyak dipengaruhi
oleh kebutuhan individu yang ingin dipenuhi (Suharsimi, 2003: 88). Ada dua
macam motivasi yaitu motivasi instrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi
instrinsik adalah motivasi yang ditimbulkan dari dalam diri orang yang
bersangkutan. Sedangkan, motivasi ekstrinsik adalah motivasi yang timbul oleh
rangsangan dari luar atau motivasi yang disebabkan oleh faktor-faktor dari luar
situasi belajar, misalnya angka, ijazah, tingkatan, hadiah, persaingan,
pertentangan, sindiran, cemoohan dan hukuman. Motivasi ini tetap diperlukan di
sekolah karena tidak semua pelajaran sesuai dengan minat dan kebutuhan siswa.
Dengan memiliki kemampuan pada suatu mata pelajaran,
baik itu pengetahuan, keterampilan dan sikap yang mampu dikembangkan, siswa
diharapkan dapat mengalih gunakan kemampuan-kemampuan tersebut dalam
mengahadapi masalah-masalah dalam berbagai bidang pelajaran. Kemampuan
bernalar, kemampuan memilih strategi yang cocok dengan permasalahannya, maupun
kemampuan menerima dan mengemukakan suatu informasi secara tetap dan cermat
merupakan kemampuan umum yang dapat digunakan dalam berbagai bidang.
3.
Pengertian Ilmu Pengetahuan Sosial
Pengajaran IPS lebih bersifat perkenalan mengenai “Seni
Kehidupan”. Landasan pengkajian dari berbagai aspek kehidupan ini diambil dari
berbagai sumber ilmu social yaitu: Sosial Budaya, Geografi, Politik, Ekonomi,
Sosiologi, dan Sejarah. Pengajaran IPS kelas rendah disajikan dalam pendekatan tematik, sedangkan
IPS pelajaran mandiri mulai diprogram pada kelas 4 ke atas. Oleh karena itu
materi pengajaran IPS lebih banyak dititik beratkan kepada dunia siswa dan
lingkungannya.
Dalam Badan Standar Nasional Pendidikan ( BSNP, 2007: 18)
Mata pelajaran IPS bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan mengenal
konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya,
memiliki kemampuan dasar untuk berfikir logis dan kritis, rasa ingin tahu,
inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial, memiliki
komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan, serta
memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi dalam masyarakat
yang majemuk, di tingkat lokal, nasional dan global.Adapun ruang lingkup mata
pelajaran IPS meliputi aspek- aspek : manusia, tempat dan lingkungan, waktu,
keberlanjutan, dan perubahan sistem sosial dan budaya, dan perilaku ekonomi dan
kesejahteraan.
Pengajaran IPS SD diandalkan untuk membina generasi
penerus usia dini agar memahami potensi
dan peran dirinya dalam berbagai tata kehidupannya, menghayati tuntutan
keharusan dan pentingnya bermasyarakat dengan penuh rasa kebersamaan dan
kekeluargaan serta mahir berperan erat di lingkungannya sebagai
insan sosial dan warga negara yang baik ( BSNP, 2007:18)
4. Pengertian
Hasil Belajar IPS
Hasil belajar IPS adalah hasil penilaian belajar siswa mengenai
yang telah dicapai dan dinyatakan dalam bentuk nilai angka yang dapat
mencerminkan hasil yang sudah dicapai oleh setiap siswa dalam priode tertentu
atau dalam satu kompetensi dasar dalam mata pelajaran IPS.
B.
Pembelajaran Cooperatif
Pengajaran kooperatif (Cooperatif
Learning) memerlukan pendekatan pengajaran melalui penggunaan kelompok
kecil siswa untuk bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi belajar dalam
mencapai tujuan belajar (Houlobec, 2001).
1.
Pengertian
Pembelajaran Cooperatif
Manusia memiliki derajat potensi, latar belakang
histories, serta harapan masa depan yang berbeda-beda. Karena adanya perbedaan,
manusia dapat silih asah (saling
mencerdaskan). Pembelajaran kooperatif secara sadar menciptakan interaksi yang silih asah sehingga sumber belajar bagi
siswa bukan hanya guru dan buku ajar tetapi juga sesama siswa.
Manusia adalah makhluk individual, berbeda satu dengan
sama lain. Karena sifatnya yang individual maka manusia yang satu membutuhkan
manusia lainnya sehingga sebagai konsekuensi logisnya manusia harus menjadi
makhluk sosial, makhluk yang berinteraksi dengan sesamanya. Karena satu sama
lain saling membutuhkan maka harus ada interaksi yang silih asih (saling menyayangi atau saling mencintai). Pembelajaran
kooperatif merupakan pembelajaran yang secara sadar dan sengaja menciptakan
interaksi yang saling mengasihi antar sesama siswa.
Perbedaan antar manusia yang tidak terkelola secara
baik dapat menimbulkan ketersinggungan dan kesalahpahaman antar sesamanya. Agar
manusia terhindar dari ketersinggungan dan kesalahpahaman maka diperlukan
interaksi yang silih asuh (saling
tenggang rasa). Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang secara sadar
dan sengaja menciptakan interaksi yang silih asuh untuk menghindari
ketersinggungan dan kesalahpahaman yang dapat menimbulkan permusuhan. Dengan
ringkas Abdurrahman dan Bintoro (2000: 78) mengatakan bahwa “pembelajaran
kooperatif adalah pembelajaran yang secara sadar dan sistematis mengembangkan
interaksi yang silih asah, silih asih,
dan silih asuh antar sesama siswa sebagai latihan hidup di dalam masyarakat
nyata”.
2.
Unsur
Dasar Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif adalah suatu sistem yang di
dalamnya terdapat elemen-elemen yang saling terkait. Adapun berbagai elemen
dalam pembelajaran kooperatif adalah adanya: “1) saling ketergantungan positif;
2)interaksi tatap muka; 3)akuntabilitas individual, 4)keterampilan untuk
menjalin hubungan antar pribadi atau keterampilan sosial yang secara sengaja
diajarkan”(Abdurrahman & Bintoro,2000:78-79)
a. Saling
ketergantungan positif
Dalam pembelajaran kooperatif, guru menciptakan
suasana yang mendorong agar siswa merasa saling membutuhkan. Hubungan yang saling membutuhan inilah yang
dimaksud dengan saling memberikan motivasi ntuk meraih hasil belajar yang
optimal. Saling ketergantungan tersebut dapat dicapai melalui: (a) saling
ketergantungan pencapaian tujuan, (b) saling ketergantungan dalam menyelesaikan
tugas, (c) saling ketergantungan bahan atau sumber, (d) saling ketergantungan
peran, dan (e) saling ketergantungan hadiah.
1) Interaksi
tatap muka
Interaksi tatap muka menuntut para siswa dalam
kelompok dapat saling bertatap muka sehingga mereka dapat melakukan dialog,
tidak hanya dengan guru, tetapi juga dengan sesama siswa. Interaksi semacam itu
memungkinkan para siswa dapat saling menjadi sumber belajar sehingga sumber
belajar lebih bervariasi. Interaksi semacam itu sangat penting karena ada siswa
yang merasa lebih mudah belajar dari sesamanya.
2) Akuntabilitas
individual
Pembelajaran kooperatif menampilkan wujudnya dalam
belajar kelompok. Meskipun demikian, penilaian ditujukan untuk mengetahui
penguasaan siswa terhadap materi pelajaran secara individual. Hasil penilaian
secara individual tersebut selanjutnya disampaikan oleh guru kepada kelompok
agar semua anggota kelompok mengetahui siapa anggota kelompok mengetahui siapa
anggota yang memerluan bantuan dan siapa anggota kelompok yang dapat memberikan
bantuan. Nilai kelompok didasarkan atas rata-rata hasil belajar semua
anggotanya, dan karena itu tiap anggota kelompok harus memberikan urunan demi
kemajuan kelompok. Penilaian kelompok secara individual inilah yang dimaksudkan
dengan akuntabilitas individual.
3) Keterampilan
menjalin hubungan antar pribadi
Dalam pembelajaran kooperatif keterampilan sosial
seperti tenggang rasa, sikap sopan terhadap teman, mengkritik ide dan bukan
mengkritifk teman, berani mempertahankan pikiran logis, tidak mendominasi orang
lain, mandiri, dan berbagai sifat lain yang bermanfaat dalam menjalin hubungan
antar pribadi (interpersonal relationship)
tidak hanya diasumsikan tetapi secara sengaja diajarkan. Siswa yang tidak dapat
menjalin hubungan antar pribadi tidak hanya memperoleh teguran dari guru tapi
juga sesama siswa.
C.
Peran
Guru dalam Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif menuntut guru untuk berperan relatif berbeda dari
pembelajaran tradisional. Berbagai peran guru dalam pembelajaran kooperatif
tersebut dapat dikemukan sebagai berikut ini.
1. Merumuskan
tujuan pembelajaran. Ada dua tujuan pembelajaran yang perlu diperhatikan oleh
guru, tujaun akademik (academic
objectives) dan tujuan keterampilan bekerja sama (collaborative skill objectives).
2. Menentukan
jumlah anggota dalam kelompok belajar. Jumlah anggota dalam tiap kelompok
belajar tidak boleh terlalu besar, biasanya 2 hingga 6 siswa. Ada 3 faktor yang
menentukan jumlah anggota tiap kelompok belajar. Ketiga faktor tersebut adalah:
(1) taraf kemampuan siswa, (2) ketersediaan bahan, dan (3) ketersediaan waktu.
3. Menggunakan
teknik acak berstrata. Para siswa dalam kelas lebih dahulu dikelompokkan secara
homogen atas dasar jenis kelamin dan atas dasar kemampuannya (tinggi, sedang,
rendah), dan sebagainya.
4. Menetukan
tempat duduk siswa. Tempat duduk siswa hendaknya disusun agar tiap kelompok
dapat saling bertatap muka tetapi cukup terpisah antara kelompok yang satu
dengan kelompok lainnya. Susunan tempat duduk dapat dalam bentuk lingkaran atau
berhadap-hadapan.
5. Merancang
bahan untuk meningkatkan saling ketergantungan positif. Cara menyusun bahan
ajar dan penggunaannya dalam suatu kegiatan pembelajaran dapat menetukan tidak
hanya efektivitas pencapaian tujuan belajar siswa.
6. Menentukan
peran siswa untuk menunjang saling ketergantungan positif. Saling
ketergantungan positif dapat diciptakan melalui pembagian tugas kepada tiap
anggota kelompok dan mereka bekerja untuk saling melengkapi.
7. Menjelaskan
tugas akademik. Ada beberapa aspek yang perlu disadari oleh para guru dalam
menjelaskan tugas akademik kepada para siswa. Beberapa aspek tersebut dapat
dikemukakan sebagai berikut.
a) Menyusun
tugas sehingga siswa menjadi jelas mengenai tugas tersebut.
b)
Menjelaskan tujuan belajar dan mengaitkannya dengan
pengalaman siswa di masa lampau.
c)
Menjelaskan berbagai konsep atau pengertian atau
istilah, prosedur yang harus diikuti atau pengertian contoh kepada para siswa.
d)
Mengajukan berbagai pertanyaan khusus untuk mengetahui
pemahaman para siswa mengenai tugas mereka.
8. Menjelaskan
kepada siswa mengenai tujuan dan keharusan bekerja sama. Menjelaskan tujaun dan
keharusan bekerja sama kepada para siswa dilakukan dengan contoh sebagai berikut.
a) Meminta
kepada kelompok untuk menghasilkan suatu karya atau produk tertentu.
b) Menyediakan
hadiah bagi kelompok. Pemberian hadiah merupakan salah satu cara untuk
mendorong kelompok menjalin kerja sama sehingga terjalin pula rasa kebersamaan
antar anggota kelompok.
9. Menyusun
akuntabilitas individual. Suatu kelompok belajar tidak dapat dikatakan
benar-benar kooperatif jika memperbolehkan adanya anggota kelompok yang
mengerjakan seluruh pekerjan. Suatu kelompok belajar juga tidak dapat dikatakan
benar-benar kooperatif jika memperbolehkn adanya anggota yang tidak melakukan
apa pun demi kelompok.
10. Menyusun
kerja sama antar kelompok. Hasil positif yang ditemukan dalam suatu kelompok
belajar kooperatif dapat diperluas ke seluruh kelas dengan menciptakan kerja
sama antar kelompok.
11. Menjelaskan
kriteria keberhasilan. Penilaian dalam pembelajaran kooperatif bertolak dari
penilaian acuan patokan (criterion
referenced).
12. Menjelaskan
perilaku siswa yang diharapkan. Perkataan kerja sama atau gotong royong sereing
memiliki konotasi dan penggunaan yang bermacam-macam. Jika kelompok mulai
berfungsi secara efektif, perilaku yang diharapkan dapat mencakup hal-hal
sebagai berikut.
a)
Tiap anggota kelompok
menjelaskan bagaimana memperoleh jawaban.
b)
Meminta kepada tiap
anggota kelompok untuk mengaitkan pelajaran baru dengan yang telah dipelajari
sebelumnya.
c)
Memeriksa untuk
meyakinkan bahwa semua anggota kelompok memahami bahan yang dipelajari dan
menyetujui jawaban-jawabannya.
d)
Mendorong semua anggota
kelompok agar berpartisipasi dalam menyelesaikan tugas.
e)
Memperhatikan dengan
sungguh-sungguh mengenai apa yang dikatakan oleh anggota lain.
f)
Jangan mengubah pikiran
karena berbeda dari pikiran anggota lain tanpa penjelasan yang logis.
g)
Memberikan kritik
kepada ide, bukan kepada pribadi.
13. Memantau
perilaku siswa. Setelah semua kelompok mulai bekerja, guru harus menggunakan
sebagian besar waktunya untuk memantau kegiatan siswa.
14.
Memberikan bantuan
kepada siswa dalam menyelesaian tugas. Pada saat melakukan pemantauan, guru
harus menjelaskan pelajaran, mengulang prosedur atau strategi untuk
menyelesaikan tugas, menjawab pertanyaan, dan mengajarkan keterampilan
menyelesaikan tugas kalau perlu.
15.
Melakukan intervensi
untuk mengajarkan keterampilan bekerja sama. Pada saat memantau
kelompok-kelompok yang sedang belajar, guru kadang-kadang menemukan siswa yang
tidak memiliki keterampilan untuk menjalin kerja sama yang cukup dan adanya
kelompok yang memiliki masalah dalam menjalin kerja sama.
16.
Menutup pelajaran. Pada
saat pelajaran berakhir, guru perlu meringkas pokok-pokok pelajaran, meminta
kepada siswa untuk mengemukakan ide atau contoh, dan menjawab pertanyaan dan
hsil belajar mereka.
17.
Menilai kualitas
pekerjaan atau hasil belajar siswa. Guru menilai kualitas pekerjaan atau hasil
belajar para siswa berdasarkan penilaian acuan patokan.
18.
Menilai kualitas kerja
sama antar anggota kelompok. Meskipun waktu belajar di kelas terbatas,
diperlukan waktu untuk berdiskusi dengan para siswa untuk membahas kualitas
kerja sama antar anggota kelompok pada hari itu.
D. Model Group
Investigation
Ide model pembelajaran geroup
investigation bermula dari perpsektif filosofis terhadap konsep belajar. Untuk dapat
belajar, seseorang harus memiliki pasangan atau teman. Pada tahun 1916, John Dewey, menulis
sebuah buku Democracy and Education (Arends, 2002). Dalam
buku itu, Dewey menggagas konsep pendidikan, bahwa kelas seharusnya merupakan cermin masyarakat dan
berfungsi sebagai laboratorium untuk belajar
tentang kehidupan nyata. Pemikiran Dewey yang utama tentang pendidikan (Jacob, et al., 1996),
adalah: (1) siswa hendaknya aktif, learning by doing; (2) belajar
hendaknya didasari
motivasi intrinsik; (3) pengetahuan adalah berkembang, tidak bersifat tetap; (4) kegiatan belajar hendaknya sesuai dengan
kebutuhan dan minat siswa; (5) pendidikan harus
mencakup kegiatan belajar dengan prinsip saling memahami dan saling menghormati satu sama lain, artinya prosedur demokratis
sangat penting; (6) kegiatan belajar hendaknya berhubungan dengan dunia nyata.
Gagasan-gagasan Dewey akhirnya diwujudkan
dalam model group-investigation yang
kemudian dikembangkan oleh Herbert Thelen. Thelen menyatakan bahwa kelas hendaknya merupakan miniatur demokrasi yang
bertujuan mengkaji masalah-masalah sosial
antar pribadi (Arends, 2002). Model group-investigation
memiliki enam langkah pembelajaran
(Slavin, 1995), yaitu: (1) grouping (menetapkan jumlah anggota kelompok, menentukan sumber, memilih topik,
merumuskan permasalahan), (2) planning (menetapkan apa yang akan dipelajari,
bagaimana mempelajari, siapa melakukan apa, apa tujuannya), (3) investigation (saling
tukar informasi dan ide, berdiskusi, klarifikasi, mengumpulkan informasi, menganalisis data,
membuat inferensi), (4) organizing (anggota kelompok menulis laporan, merencanakan
presentasi laporan, penentuan penyaji, moderator,
dan notulis), (5) presenting (salah satu kelompok menyajikan, kelompok
lain mengamati, mengevaluasi,
mengklarifikasi, mengajukan pertanyaan atau tanggapan), dan (6) evaluating (masing-masing
siswa melakukan koreksi terhadap laporan masing-masing berdasarkan hasil diskusi kelas, siswa dan
guru berkolaborasi mengevaluasi pembelajaran yang dilakukan, melakukan penilaian hasil
belajar yang difokuskan pada pencapaian pemahaman.
Sistem sosial yang berkembang adalah
minimnya arahan guru, demokratis, guru dan siswa
memiliki status yang sama yaitu menghadapi masalah, interaksi dilandasi oleh kesepakatan. Prinsip reaksi yang dikembangkan adalah
guru lebih berperan sebagai konselor, konsultan,
sumber kritik yang konstruktif. Peran tersebut ditampilkan dalam proses pemecahan masalah, pengelolaan kelas, dan
pemaknaan perseorangan. Peranan guru terkait dengan proses pemecahan masalah berkenaan
dengan kemampuan meneliti apa hakikat dan fokus
masalah. Pengelolaan ditampilkan berkenaan dengan kiat menentukan informasi yang diperlukan dan pengorganisasian
kelompok untuk memperoleh informasi tersebut. Pemaknaan perseorangan berkenaan dengan
inferensi yang diorganisasi oleh kelompok dan
bagaimana membedakan kemampuan perseorangan.
Sarana pendukung model pembelajaran ini
adalah: lembaran kerja siswa, bahan ajar,
panduan bahan ajar untuk siswa dan untuk guru, peralatan penelitian yang
sesuai, meja dan
korsi yang mudah dimobilisasi atau ruangan kelas yang sudah ditata untuk itu.
Sebagai dampak pembelajaran adalah
pandangan konstruktivistik tentang pengetahuan,
penelitian yang berdisiplin, proses pembelajaran yang efektif, pemahaman yang mendalam.
Dalam
pembelajaran model group investigation,
interaksi sosial menjadi salah satu faktor penting bagi perkembangan skema
mental yang baru. Dimana dalam pembelajaran ini memberi kebebasan kepada
pembelajar untuk berfikir secara analitis, kritis, kreatif, reflektif dan
produktif. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan dengan mengambil tema yang
berkaitan dengan model pembelajaran dengan maksud untuk mengoptimalkan hasil belajar siswa pada pembelajaran
IPS khususnya materi sumber daya alam. Disamping itu kerja sama yang kompak
antar sesama anggota kelompok dalam mengidentifikasi suatu masalah sangat
dibutuhkan. Langkah-langkah
pembelajaran model group investigation adalah sebagai berikut;
1. Guru
membagi kelas dalam beberapa kelompok secara heteogen
2. Guru
menjelaskan maksud pembelajaran dan tugas kelompok
3. Guru
memanggil ketua kelompok dan setiap kelompok mendapat tugas satu materi/tugas
yang berbeda dari kelompok lain
4. Masing-masing
kelompok membahas materi yang sudah ada secara kooperatif yang bersifat penemuan
5. Setelah
selesai diskusi, juru bicara kelompok menyampaikan hasil pembahasan kelompok
6. Guru
memberikan penjelasan singkat sekaligus memberi kesimpulan
7. Pada
akhir pembelajaran guru memberikan evaluasi
8. Penutup
BAB III
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya dapat disimpulkan bahwa penerapan
pembelajaran Cooperatif model Group Investigation dapat mengoptimalkan
hasil belajar IPS pada siswa sekolah dasar hal ini disebabkan kerja sama yang
kompak antar sesama anggota kelompok dalam mengidentifikasi suatu masalah.
Disamping itu dalam pembelajaran Cooperatif
model Group Investigation menuntut
guru untuk berperan relatif berbeda dari pembelajaran tradisional.
B.
Saran
Berdasarkan simpulan dan pembahasan diatas, dapat
diasarankan agar:
- Dalam pembelajaran
IPS hendaknya dapat menerapkan pembelajaran Cooperatif model Group Investigation salah satu
alternatif dalam mengoptimalkan
hasil belajar siswa di Sekolah Dasar.
- Melalui pembelajaran Cooperatif model Group
Investigation, guru dapat dengan mudah merespon potensi atau modalitas
siswa dalam setiap kelompok belajar. Dengan demikian seorang guru yang
profesional dapat lebih efektif dapat melakukan kegiatan proses belajar
mengajar, serta dengan mudah dapat merespon perbedaan perbedaan potensi
yang dimiliki peserta didiknya
DAFTAR PUSTAKA
Abdurahman &
Bintoro. 2000. Perencanaan Pengajaran. Jakarta: Rineka. Jakarta:
Bumi Aksara. Sanjaya, Wina. 2006. Strategi Pembelajaran. Jakarta: Media
Arikunto, Suharsimi,
, 2003, Penelitian Tindakan Kelas,
Jakarta, Bina Aksara
BNSP, 2007. Standar
Kompetensi dan kompeternsi Dasar . Jakarta. Depdiknas
Marimba, 2003.
Metode Belajar dan Kesulitan-Kesulitan Belajar. Bandung:
Nawawi. 2001. Berbagai
Pendekatan dalam Proses Belajar dan Menga-jar
Sadly,2005. Peningkatan
Kemampuan guru dalam mengorganisasi Cooperatipe Learning Jakarta Grasindo.
Sumadi,
2006. Coorperative Learning. Jakarta
Grasindo
Tim Penyusun
Buku SPG, 1989. Model- model Pembelajaran
dan Penilaian. Dinas Prop Jatim
Utami, 2002. Strategi
Pembelajaran di SD . Jakarata. Universitas Terbuka