PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Pada abad 21 ini, kita perlu menelaah kembali praktik-praktik
pembelajaran di sekolah-sekolah. Peranan yang harus dimainkan oleh dunia
pendidikan dalam mempersiapkan akan didik untuk berpartisipasi secara utuh dalam
kehidupan bermasyarakat di abad 21 akan sangat berbeda dengan peranan
tradisional yang selama ini dipegang oleh sekolah-sekolah.
Tampaknya, perlu adanya perubahan paradigma dalam menelaah proses belajar
siswa dan interaksi antara siswa dan guru. Sudah seyogyanyalah kegiatan belajar
mengajar juga lebih mempertimbangkan siswa. Siswa bukanlah sebuah botol kosong
yang bisa diisi dengan muatan-muatan informasi apa saja yang dianggap perlu
oleh guru. Selain itu, alur proses belajar tidak harus berasal dari guru menuju
siswa. Siswa bisa juga saling mengajar dengan sesama siswa yang lainnnya.
Bahkan, banyak penelitian menunjukkan bahwa pengajaran oleh rekan sebaya (peer teaching) ternyata lebih efektif
daripada pengajaran oleh guru. Sistem pengajaran yang memberi kesempatan kepada
anak didik untuk bekerjasama dengan sesama siswa dalam tugas-tugas yang
terstruktur disebut sebagai sistem “pembelajaran gotong royong” atau cooperative learning. Dalam sistem ini,
guru bertindak sebagai fasilitator.
Ada beberapa alasan penting mengapa sistem pengajaran ini perlu
dipakai lebih sering di sekolah-sekolah. Seiring dengan proses globalisasi,
juga terjadi transformasi sosial, ekonomi, dan demografis yang mengharuskan
sekolah untuk lebih menyiapkan anak didik dengan keterampilan-keterampilan baru
untuk bisa ikut berpartisipasi dalam dunia yang berubah dan berkembang pesat.
Sesungguhnya, bagi guru-guru di negeri ini metode gotong royong tidak
terlampau asing dan mereka telah sering menggunakannya dan mengenalnya sebagai metode kerja kelompok. Memang tidak
bisa disangkal bahwa banyak guru telah sering menugaskan para siswa untuk
bekerja dalam kelompok.
Sayangnya, metode kerja kelompok sering dianggap kurang efektif. Berbagai
sikap dan kesan negative memang bermunculan dalam pelaksaan metode kerja
kelompok. Jika kerja kelompok tidak berhasil, siswa cenderung saling
menyalahkan. Sebaliknya jika berhasil, muncul perasaan tidak adil. Siswa yang
pandai/rajin merasa rekannya yang kurang mampu telah membonceng pada hasil
kerja mereka. Akibatnya, metode kerja kelompok yang seharusnya bertujuan mulia,
yakni menanamkan rasa persaudaraan dan kemampuan bekerja sama, justru bisa
berakhir dengan ketidakpuasaan dan kekecewaaan. Bukan hanya guru dan siswa yang
merasa pesimis mengenai penggunaan metode kerja kelompok, bahkan kadang-kadang
orang tua pun merasa was-was jika anak mereka dimasukkan dalam satu kelompok
dengan siswa lain yang dianggap kurang seimbang.
Berbagai dampak negatif dalam menggunakan metode kerja kelmpok tersebut
seharusnya bisa dihindari jika saja guru mau meluangkan lebih banyak waktu dan
perhatian dalam mempersiapkan dan menyusun metode kerja kelompok. Yang
diperkanalkan dalam metode pembelajaran cooperative
learning bukan sekedar kerja kelompok, melainkan pada penstrukturannya.
Jadi, sistem pengajaran cooperative
learning bisa didefinisikan sebagai kerja/belajar kelompok yang
terstruktur. Yang termasuk di dalam struktur ini adalah lima unsure pokok
(Johnson & Johnson, 1993), yaitu saling ketergantungan positif, tanggung
jawab individual, interaksi personal, keahlian bekerja sama, dan proses
kelompok.
Kekawatiran bahwa semangat siswa dalam mengembangkan diri secara
individual bisa terancam dalam penggunaan metode kerja kelompok bisa dimengerti
karena dalam penugasan kelompok yang dilakukan secara sembarangan, siswa
bukannya belajar secara maksimal, melainkan belajar mendominasi ataupun
melempar tanggung jawab. Metode pembelajaran gotong royong distruktur
sedemikian rupa sehingga masing-masing anggota dalam satu kelompok melaksanakan
taanggung jawab pribadinya karena ada sistem akuntabilitas individu. Siswa
tidak bisa begitu saja membonceng jerih payah rekannya dan usaha setiap siswa
akan dihargai sesuai dengan poin-poin perbaikannya.
Dari data awal yang didapat
menunjukkan bahwa hasil belajar Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) masih rendah.
Dengan Standar Ketuntasan Minimal 70 , belum semua siswa mencapai ketuntasan
belajar. Data hasil belajar menunjukkan bahwa dari 37 orang siswa, 26 orang
atau 70,27 % belum tuntas belajar. Hal ini mungkin disebabkan oleh pendekatan
pembelajaran konvensional yang dilaksanakan di kelas.Berkaitan dengan fakta
hasil belajar diatas, perlu suatu pendekatan baru dalam pembelajaran Ilmu
Pengetahuan Sosial (IPS) agar keberhasilan belajar siswa dapat ditingkatkan dan
pemahaman siswa mengenai materi pelajaran yang amat luas dapat tercapai sesuai
dengan yang direncanakan.
Berangkat dari pemikiran diatas, mendorong penulis untuk mengkaji
pendekatan cooperative model Group Investigation dalam pembelajaran
IPS pada materi “Sumber Daya Alam”. Untuk itu penulis tertarik melakukan suatu
Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dengan judul “ Optimalisasi Hasil Belajar IPS
Pada Materi Sumber Daya Alam Melalui Pembelajaran Cooperative Model Group
Investigation di Kelas IV SD Negeri 1 Aramiah Kecamatan Birem Bayeun
Kabupaten Aceh Timur”
B.
Rumusan
Masalah
Merujuk pada uraian latar belakang di atas, rumusan masalah yang penulis
ajukan dalam penlitian ini sebagai berikut: “ Apakah Melalui Pembelajaran Cooperative Model Group Investigation Dapat Mengoptimalisasikan Hasil Belajar IPS
Pada Materi Sumber Daya Alam di Kelas IV SD Negeri 1 Aramiah Kecamatan Birem
Bayeun Kabupaten Aceh Timur?”
C.
Tujuan
Penelitian
Berdasarkan atas rumusan masalaah di atas, maka tujuan dilaksanakan
penelitian ini adalah:
- Tujuan Umum
Untuk mengungkap pengaruh pembelajaran
Cooperative Model Group Investigation
terhadap hasil belajar IPS.
2.
Tujuan Khusus
Ingin mengetahui
seberapa jauh pemahaman dan penguasaan materi
“Sumber Daya Alam” mata pelajaran Ilmu Pengetahuan
Sosial setelah diterapkannya pembelajaran Cooperative
Model Group Investigation
di kelas IV SD Negeri 1 Aramiah
D. Manfaat Penelitian
1.
Manfaat Teoritis
Hasil
dan temuan penelitian ini dapat memberikan informasi tentang pembelajaran Cooperative Model Group Investigation dalam mengoptimalisasikan
hasil belajar IPS
2.
Manfaat Praktis
a.
Bagi siswa
Dapat meningkatkan
motiviasi belajar dan melatih sikap sosial untuk saling peduli terhadap
keberhasilan siswa lain dalam mencapai tujuan belajar
b.
Bagi Guru
Sebagai bahan
pertimbangan dalam menentukan model
pembelajaran yang dapat memberikan manfaat bagi siswa.
c.
Bagi Sekolah
Sekolah sebagai penentu
kebijakan dalam upaya mengoptimalisasikan
hasil belajar siswa khususnya pada mata pelajaran IPS.
d.
Bagi penulis
Sebagai
kegiatan pengembangan profesi untuk pengakuan angka kredit guna kenaikan
pangkat setingkat lebih tinggi.
BAB II
LANDASAN
TEORI DAN PENGAJUAN HIPOTESIS
A. Landasan Teori
1. Hasil Belajar Ilmu
Pengetahuan Sosial
a. Pengertian Hasil
Belajar
Di dalam istilah hasil belajar, terdapat dua unsur di
dalamnya, yaitu unsur hasil dan unsur belajar. Hasil merupakan suatu hasil yang
telah dicapai pebelajar dalam kegiatan belajarnya (dari yang telah dilakukan,
dikerjakan, dan sebagainya), sebagaimana dijelaskan dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (2005: 787). Dari pengertian ini, maka hasil belajar adalah
penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran,
lajimnya ditunjukkan dengan nilai tes atau angka nilai yang diberikan oleh
guru.
Belajar itu sebagai suatu proses perubahan tingkah
laku, atau memaknai sesuatu yang diperoleh. Akan tetapi apabila kita bicara
tentang hasil belajar, maka hal itu merupakan hasil yang telah dicapai oleh si
pebelajar.
Istilah hasil belajar mempunyai hubungan yang erat kaitannya dengan
prestasi belajar. Sesungguhnya sangat sulit untuk membedakan pengertian
prestasi belajar dengan hasil belajar. Ada yang berpendapat bahwa pengertian
hasil belajar dianggap sama dengan pengertian prestasi belajar. Akan tetapi
lebih dahulu sebaiknya kita simak pendapat yang mengatakan bahwa hasil belajar
berbeda secara prinsipil dengan prestasi belajar. Hasil belajar menunjukkan
kualitas jangka waktu yang lebih panjang, misalnya satu cawu, satu semester dan
sebagainya. Sedangkan prestasi belajar menunjukkan kualitas yang lebih pendek,
misalnya satu pokok bahasan, satu kali ulangan harian dan sebagainya.
Nawawi 2001: 100) mengemukakan pengertian hasil adalah
sebagai berikut: Keberhasilan murid dalam mempelajari materi pelajaran di
sekolah yang dinyatakan dalam bentuk nilai atau skor dari hasil tes mengenai
sejumlah pelajaran tertentu.
Pendapat lain dikemukakan oleh Sadly (2005: 904), yang
memberikan penjelasan tentang hasil belajar sebagai berikut, “Hasil yang
dicapai oleh tenaga atau daya kerja seseorang dalam waktu tertentu”, sedangkan
Marimba (2003: 143) mengatakan bahwa “hasil adalah kemampuan seseorang atau
kelompok yang secara langsung dapat diukur”.
Menurut Nawawi (2001: 127), berdasarkan tujuannya,
hasil belajar dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
1) Hasil
belajar yang berupa kemampuan keterampilan atau kecapakan di dalam melakukan
atau mengerjakan suatu tugas, termasuk di dalamnya keterampilan menggunakan
alat.
2) Hasil
belajar yang berupa kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan tentang apa yang
dikerjakan.
3) Hasil
belajar yang berupa perubahan sikap dan tingkah laku.
b.
Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Hasil Belajar
Sejak awal dikembangkannya ilmu pengetahuan tentang
perilaku manusia, banyak dibahas mengenai bagaimana mencapai hasil belajar yang
efektif. Para pakar dibidang pendidikan dan psikologi mencoba
mengidentifikasikan faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar. Dengan
diketahuinya faktor-faktor yang berpengaruh terhadap hasil belajar, para
pelaksana maupun pelaku kegiatan belajar dapat memberi intervensi positif untuk
meningkatkan hasil belajar yang akan diperoleh.
Secara implisit, ada dua faktor yang mempengaruhi
hasil belajar siswa, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
1) Faktor
Internal
Faktor internal meliputi faktor fisiologis, yaitu
kondisi jasmani dan keadaan fungsi-fungsi fisiologis. Faktor fisiologis sangat
menunjang atau melatar belakangi aktivitas belajar. Keadaan jasmani yang sehat
akan lain pengaruhnya dibanding jasmani yang keadaannya kurang sehat. Untuk
menjaga agar keadaan jasmani tetap sehat, nutrisi harus cukup. Hal ini
disebabkan, kekurangan kadar makanan akan mengakibatkan keadaan jasmani lemah
yang mengakibatkan lekas mengantuk dan lelah.
Faktor psikologis, yaitu yang mendorong atau
memotivasi belajar. Faktor-faktor tersebut diantaranya:
a) Adanya
keinginan untuk tahu
b) Agar
mendapatkan simpati dari orang lain.
c) Untuk
memperbaiki kegagalan
d) Untuk
mendapatkan rasa aman.
2) Faktor
Eksternal Faktor-faktor
eksternal, yaitu faktor dari luar diri siswa yang ikut mempengaruhi belajar
siswa, yang antara lain berasal dari orang tua, sekolah, dan masyarakat.
a) Faktor
yang berasal dari orang tua
Faktor yang berasal dari orang tua ini utamanya
adalah sebagi cara mendidik orang tua terhadap siswanya. Dalam hal ini dapat
dikaitkan suatu teori, apakah orang tua mendidik secara demokratis, pseudo
demokratis, otoriter, atau cara laisses
faire. Cara atau tipe mendidik yang dimikian masing-masing mempunyai
kebaikannya dan ada pula kekurangannya.
Menurut hemat peneliti, tipe mendidik sesuai dengan
kepemimpinan Pancasila lebih baik dibandingkan tipe-tipe diatas. Karena orang
tua dalam mencampuri belajar siswa, tidak akan masuk terlalu dalam.
Prinsip kepemimpinan Pancasila sangat manusiawi,
karena orang tua akan bertindak ing
ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, dan tut wuri handayani. Dalam
kepemimpinan Pancasila ini berarti orang tua melakukan kebiasaan-kebiasaan yang
positif kepada siswa untuk dapat diteladani. Orang tua juga selalu
memperhatikan siswa selama belajar baik langsung maupun tidak langsung, dan
memberikan arahan-arahan msiswaala akan melakukan tindakan yang kurang tertib
dalam belajar.
Dalam kaitan dengan hal ini, Tim Penyusun Buku
Sekolah Pendidikan Guru Jawa Timur (1989: 8) menyebutkan, “Di dalam pergaulan
di lingkungan keluarga hendaknya berubah menjadi situasi pendidikan, yaitu bila
orang tua memperhatikan siswa, misalnya siswa ditegur dan diberi pujian” Pendek
kata, motivasi, perhatian, dan kepedulian orang tua akan memberikan semangat
untuk belajar bagi siswa.
b) Faktor
yang berasal dari sekolah
Faktor yang berasal dari sekolah, dapat berasal dari
guru, mata pelajaran yang ditempuh, dan metode yang diterapkan. Faktor guru
banyak menjadi penyebab kegagalan belajar siswa, yaitu yang menyangkut
kepribadian guru, kemampuan mengajarnya. Terhadap mata pelajaran, karena
kebanyakan siswa memusatkan perhatianya kepada yang diminati saja, sehingga
mengakibatkan nilai yang diperolehnya tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Keterampilan, kemampuan, dan kemauan belajar siswa tidak dapat dilepaskan dari
pengaruh atau campur tangan orang lain. Oleh karena itu menjadi tugas guru
untuk membimbing siswa dalam belajar.
c) Faktor
yang berasal dari masyarakat
Siswa tidak lepas dari kehidupan masyarakat. Faktor
masyarakat bahkan sangat kuat pengaruhnya terhadap pendidikan siswa. Pengaruh
masyarakat bahkan sulit dikendalikan. Mendukung atau tidak mendukung perkembangan
siswa, masyarakat juga ikut mempengaruhi.
Selain beberapa faktor internal dan eksternal di
atas, faktor yang mempengaruhi hasil belajar dapat disebutkan sebagai berikut:
1)
Minat
Seorang yang tidak berminat mempelajari sesuatu tidak
akan berhasil dengan baik, tetapi kalau seseorang memiliki minat terhadap objek
masalah maka dapat diharakan hasilnya baik. Masalahnya adalah bagainama seorang
pendidik selektif dalam menentukan atau memilih masalah atau materi pelajaran
yang menarik siswa. Berikutnya mengemas materi yang dipilih dengan metode yang
menarik. Karena itu pendidik/ pengajar perlu mengenali karakteristik siswa,
misalnya latar belakang sosial ekonomi, keyakinan, kemampuan, dan lain-lain.
2)
Kecerdasan
Kecerdasan memegang peranan penting dalam menentukan
berhasil tidaknya seserorang. Orang pada umumnya lebih mampu belajar daripada
orang yang kurang cerdas. Berbagai penelitian menunjukkan hubungan yang erat
antara tingkat kecerdasan dan hasil belajar di sekalah (Sumadi, 2006: 11).
3)
Bakat
Bakat merupakan kemampuan bawaan sebagai potensi yang
perlu dilatih dan dikembangkan agar dapat terwujud (Utami, 2002: 17). Bakat
memerlukan latihan dan pendidikan agar suatu tindakan dapat dilakukan pada masa
yang akan datang. Selain kecerdasan bakat merupakan faktor yang menentukan
berhasil tidaknya seseorang dalam belajar (Sumadi, 2006: 12). Belajar pada
bidang yang sesuai dengan bakatnya akan memperbesar kemungkinan seseorang untuk
berhasil.
4)
Motivasi
Motivasi merupakan dorongan yang ada pada diri siswa untuk
melakukan sesuatu tindakan. Besar kecilnya motivasi banyak dipengaruhi oleh
kebutuhan individu yang ingin dipenuhi (Suharsimi, 2003: 88). Ada dua macam
motivasi yaitu motivasi instrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi instrinsik
adalah motivasi yang ditimbulkan dari dalam diri orang yang bersangkutan.
Sedangkan, motivasi ekstrinsik adalah motivasi yang timbul oleh rangsangan dari
luar atau motivasi yang disebabkan oleh faktor-faktor dari luar situasi
belajar, misalnya angka, ijazah, tingkatan, hadiah, persaingan, pertentangan,
sindiran, cemoohan dan hukuman. Motivasi ini tetap diperlukan di sekolah karena
tidak semua pelajaran sesuai dengan minat dan kebutuhan siswa.
Dengan memiliki kemampuan pada suatu mata pelajaran,
baik itu pengetahuan, keterampilan dan sikap yang mampu dikembangkan, siswa
diharapkan dapat mengalih gunakan kemampuan-kemampuan tersebut dalam
mengahadapi masalah-masalah dalam berbagai bidang pelajaran. Kemampuan
bernalar, kemampuan memilih strategi yang cocok dengan permasalahannya, maupun
kemampuan menerima dan mengemukakan suatu informasi secara tetap dan cermat
merupakan kemampuan umum yang dapat digunakan dalam berbagai bidang.
c.
Ilmu Pengetahuan Sosial
Pengajaran IPS lebih bersifat perkenalan mengenai “Seni
Kehidupan”. Landasan pengkajian dari berbagai aspek kehidupan ini diambil dari
berbagai sumber ilmu social yaitu: Sosial Budaya, Geografi, Politik, Ekonomi,
Sosiologi, dan Sejarah. Pengajaran IPS kelas rendah disajikan dalam pendekatan tematik, sedangkan
IPS pelajaran mandiri mulai diprogram pada kelas 4 ke atas. Oleh karena itu
materi pengajaran IPS lebih banyak dititik beratkan kepada dunia siswa dan
lingkungannya.
Dalam Badan Standar Nasional Pendidikan ( BSNP, 2007: 18)
Mata pelajaran IPS bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan mengenal
konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya,
memiliki kemampuan dasar untuk berfikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri,
memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial, memiliki komitmen
dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan, serta memiliki
kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi dalam masyarakat yang
majemuk, di tingkat lokal, nasional dan global.Adapun ruang lingkup mata
pelajaran IPS meliputi aspek- aspek : manusia, tempat dan lingkungan, waktu,
keberlanjutan, dan perubahan sistem sosial dan budaya, dan perilaku ekonomi dan
kesejahteraan.
Pengajaran IPS SD diandalkan untuk membina generasi
penerus usia dini agar memahami potensi
dan peran dirinya dalam berbagai tata kehidupannya, menghayati tuntutan
keharusan dan pentingnya bermasyarakat dengan penuh rasa kebersamaan dan
kekeluargaan serta mahir berperan erat di lingkungannya sebagai
insan sosial dan warga negara yang baik ( BSNP, 2007:18)
d. Hasil
Belajar IPS
Hasil belajar IPS adalah hasil penilaian belajar siswa
mengenai yang telah dicapai dan dinyatakan dalam bentuk nilai angka yang dapat
mencerminkan hasil yang sudah dicapai oleh setiap siswa dalam priode tertentu
atau dalam satu kompetensi dasar dalam mata pelajaran IPS.
2.
Pembelajaran Cooperatif
Pengajaran kooperatif (Cooperatif Learning) memerlukan pendekatan pengajaran melalui
penggunaan kelompok kecil siswa untuk bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi
belajar dalam mencapai tujuan belajar (Houlobec, 2001).
a.
Pengertian
Pembelajaran Cooperatif
Manusia memiliki derajat potensi, latar belakang
histories, serta harapan masa depan yang berbeda-beda. Karena adanya perbedaan,
manusia dapat silih asah (saling
mencerdaskan). Pembelajaran kooperatif secara sadar menciptakan interaksi yang silih asah sehingga sumber belajar bagi
siswa bukan hanya guru dan buku ajar tetapi juga sesama siswa.
Manusia adalah makhluk individual, berbeda satu dengan
sama lain. Karena sifatnya yang individual maka manusia yang satu membutuhkan
manusia lainnya sehingga sebagai konsekuensi logisnya manusia harus menjadi
makhluk sosial, makhluk yang berinteraksi dengan sesamanya. Karena satu sama
lain saling membutuhkan maka harus ada interaksi yang silih asih (saling menyayangi atau saling mencintai). Pembelajaran
kooperatif merupakan pembelajaran yang secara sadar dan sengaja menciptakan
interaksi yang saling mengasihi antar sesama siswa.
Perbedaan antar manusia yang tidak terkelola secara
baik dapat menimbulkan ketersinggungan dan kesalahpahaman antar sesamanya. Agar
manusia terhindar dari ketersinggungan dan kesalahpahaman maka diperlukan
interaksi yang silih asuh (saling
tenggang rasa). Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang secara sadar
dan sengaja menciptakan interaksi yang silih asuh untuk menghindari
ketersinggungan dan kesalahpahaman yang dapat menimbulkan permusuhan. Dengan
ringkas Abdurrahman dan Bintoro (2000: 78) mengatakan bahwa “pembelajaran
kooperatif adalah pembelajaran yang secara sadar dan sistematis mengembangkan
interaksi yang silih asah, silih asih,
dan silih asuh antar sesama siswa sebagai latihan hidup di dalam masyarakat
nyata”.
b.
Unsur
Dasar Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif adalah suatu sistem yang di
dalamnya terdapat elemen-elemen yang saling terkait. Adapun berbagai elemen
dalam pembelajaran kooperatif adalah adanya: “1) saling ketergantungan positif;
2)interaksi tatap muka; 3)akuntabilitas individual, 4)keterampilan untuk
menjalin hubungan antar pribadi atau keterampilan sosial yang secara sengaja
diajarkan”(Abdurrahman & Bintoro,2000:78-79)
1) Saling
ketergantungan positif
Dalam pembelajaran kooperatif, guru menciptakan
suasana yang mendorong agar siswa merasa saling membutuhkan. Hubungan yang saling membutuhan inilah yang
dimaksud dengan saling memberikan motivasi ntuk meraih hasil belajar yang
optimal. Saling ketergantungan tersebut dapat dicapai melalui: (a) saling ketergantungan
pencapaian tujuan, (b) saling ketergantungan dalam menyelesaikan tugas, (c)
saling ketergantungan bahan atau sumber, (d) saling ketergantungan peran, dan
(e) saling ketergantungan hadiah.
2) Interaksi
tatap muka
Interaksi tatap muka menuntut para siswa dalam
kelompok dapat saling bertatap muka sehingga mereka dapat melakukan dialog,
tidak hanya dengan guru, tetapi juga dengan sesama siswa. Interaksi semacam itu
memungkinkan para siswa dapat saling menjadi sumber belajar sehingga sumber
belajar lebih bervariasi. Interaksi semacam itu sangat penting karena ada siswa
yang merasa lebih mudah belajar dari sesamanya.
3) Akuntabilitas
individual
Pembelajaran kooperatif menampilkan wujudnya dalam
belajar kelompok. Meskipun demikian, penilaian ditujukan untuk mengetahui
penguasaan siswa terhadap materi pelajaran secara individual. Hasil penilaian
secara individual tersebut selanjutnya disampaikan oleh guru kepada kelompok
agar semua anggota kelompok mengetahui siapa anggota kelompok mengetahui siapa
anggota yang memerluan bantuan dan siapa anggota kelompok yang dapat memberikan
bantuan. Nilai kelompok didasarkan atas rata-rata hasil belajar semua
anggotanya, dan karena itu tiap anggota kelompok harus memberikan urunan demi
kemajuan kelompok. Penilaian kelompok secara individual inilah yang dimaksudkan
dengan akuntabilitas individual.
4) Keterampilan
menjalin hubungan antar pribadi
Dalam pembelajaran kooperatif keterampilan sosial
seperti tenggang rasa, sikap sopan terhadap teman, mengkritik ide dan bukan
mengkritifk teman, berani mempertahankan pikiran logis, tidak mendominasi orang
lain, mandiri, dan berbagai sifat lain yang bermanfaat dalam menjalin hubungan
antar pribadi (interpersonal relationship)
tidak hanya diasumsikan tetapi secara sengaja diajarkan. Siswa yang tidak dapat
menjalin hubungan antar pribadi tidak hanya memperoleh teguran dari guru tapi
juga sesama siswa.
c.
Peran
Guru dalam Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif menuntut guru untuk berperan
relatif berbeda dari pembelajaran tradisional. Berbagai peran guru dalam
pembelajaran kooperatif tersebut dapat dikemukan sebagai berikut ini.
1) Merumuskan
tujuan pembelajaran. Ada dua tujuan pembelajaran yang perlu diperhatikan oleh
guru, tujaun akademik (academic
objectives) dan tujuan keterampilan bekerja sama (collaborative skill objectives).
2) Menentukan
jumlah anggota dalam kelompok belajar. Jumlah anggota dalam tiap kelompok
belajar tidak boleh terlalu besar, biasanya 2 hingga 6 siswa. Ada 3 faktor yang
menentukan jumlah anggota tiap kelompok belajar. Ketiga faktor tersebut adalah:
(1) taraf kemampuan siswa, (2) ketersediaan bahan, dan (3) ketersediaan waktu. Ada 4 pertanyaan yang
hendaknya dijawab oleh guru saat akan menempatkan siswa dalam kelompok. Keempat
pertanyaan tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:
a)
Pengelompokkan siswa
secara homogen atau heterogen? Pengelompokkan siswa hendaknya heterogen.
Keheterogenan kelompok mencakup jenis kelamin, ras, agama, (kalau mungkin),
tingkat kemampuan (tinggi, sedang, rendah), dan sebagainya.
b)
Bagimana menempatkan
siswa dalam kelompok? Ada dua jenis kelompok belajar kooperatif, yaitu (1) yang
berorientasi bukan pada tugas (non-task-orientied),
dan (2) yang berorientasi pada tugas (task
oriented).
c)
Siswa bebas memilih
teman atau ditentukan oleh guru. Anggota tiap kelompok belajar hendaknya
ditentukan secara acak oleh guru. Ada 3 teknik untuk menentukan anggota
kelompok secara acak yang dapat digunakan oleh guru. Ketiga teknik tersebut
dapat dikemukakan sebagai berikut.
(1) Berdasarkan
metode sosiometri. Melalui metode sosiometri guru dapat menentukan siswa yang
tergolong disukai oleh banyak teman (bintang kelas) hingga yang paling tidak
disukai atau tidak memiliki teman (terisolasi).
(2) Berdasarkan
kesamaan nomor. Jika jumlah siswa dalam kelas terdiri atas 30 siswa dan guru
ingin membentuk 10 kelompok belajar yang dari 1 hingga 10. Selanjutnya, para
siswa yang bernomor sama dikelompokkan sehingga terbentuklah 10 kelompok siswa
dengan masing-masing beranggotakan 3 orang siswa yang memiliki karakteristik
heterogen.
3) Menggunakan
teknik acak berstrata. Para siswa dalam kelas lebih dahulu dikelompokkan secara
homogen atas dasar jenis kelamin dan atas dasar kemampuannya (tinggi, sedang,
rendah), dan sebagainya.
4) Menetukan
tempat duduk siswa. Tempat duduk siswa hendaknya disusun agar tiap kelompok
dapat saling bertatap muka tetapi cukup terpisah antara kelompok yang satu
dengan kelompok lainnya. Susunan tempat duduk dapat dalam bentuk lingkaran atau
berhadap-hadapan.
5) Merancang
bahan untuk meningkatkan saling ketergantungan positif. Cara menyusun bahan
ajar dan penggunaannya dalam suatu kegiatan pembelajaran dapat menetukan tidak
hanya efektivitas pencapaian tujuan belajar siswa. Ada 3 macam cara untuk
meningkatkan saling ketergantungan positif. Ketiga macam cara tersebut dapat
dikemukakan sebagai berikut.
a) Saling
ketergantungan bahan. Tiap kelompok hanya diberi satu bahan ajar dan kelompok
harus bekerja sama untuk mempelajarinya.
b) Saling
ketergantungan informasi. Tiap anggota kelompok diberi bahan ajar yang berbeda
untuk selanjutnya disatukan untuk disintesiskan, sehingga dengan demikian tiap siswa
memiliki bagian dari bahan yang diperlukan untuk melengkapi atau menyelesaikan
tugas.
c) Saling
ketergantungan menghadapi lawan dari luar. Bahan ajar disusun dalam suatu
bentuk pertandingan antar kelompok yang memiliki kekuatan keseimbangan sebagai
dasar untuk meningkatkan saling ketergantungan positif antar anggota kelompok.
6) Menentukan
peran siswa untuk menunjang saling ketergantungan positif. Saling
ketergantungan positif dapat diciptakan melalui pembagian tugas kepada tiap
anggota kelompok dan mereka bekerja untuk saling melengkapi.
7) Menjelaskan
tugas akademik. Ada beberapa aspek yang perlu disadari oleh para guru dalam
menjelaskan tugas akademik kepada para siswa. Beberapa aspek tersebut dapat
dikemukakan sebagai berikut.
a) Menyusun
tugas sehingga siswa menjadi jelas mengenai tugas tersebut.
b)
Menjelaskan tujuan belajar dan mengaitkannya dengan
pengalaman siswa di masa lampau.
c)
Menjelaskan berbagai konsep atau pengertian atau
istilah, prosedur yang harus diikuti atau pengertian contoh kepada para siswa.
d)
Mengajukan berbagai pertanyaan khusus untuk mengetahui
pemahaman para siswa mengenai tugas mereka.
8) Menjelaskan
kepada siswa mengenai tujuan dan keharusan bekerja sama. Menjelaskan tujaun dan
keharusan bekerja sama kepada para siswa dilakukan dengan contoh sebagai
berikut.
a) Meminta
kepada kelompok untuk menghasilkan suatu karya atau produk tertentu.
b) Menyediakan
hadiah bagi kelompok. Pemberian hadiah merupakan salah satu cara untuk
mendorong kelompok menjalin kerja sama sehingga terjalin pula rasa kebersamaan
antar anggota kelompok.
9) Menyusun
akuntabilitas individual. Suatu kelompok belajar tidak dapat dikatakan
benar-benar kooperatif jika memperbolehkan adanya anggota kelompok yang
mengerjakan seluruh pekerjan. Suatu kelompok belajar juga tidak dapat dikatakan
benar-benar kooperatif jika memperbolehkn adanya anggota yang tidak melakukan
apa pun demi kelompok.
10) Menyusun
kerja sama antar kelompok. Hasil positif yang ditemukan dalam suatu kelompok
belajar kooperatif dapat diperluas ke seluruh kelas dengan menciptakan kerja
sama antar kelompok.
11) Menjelaskan
kriteria keberhasilan. Penilaian dalam pembelajaran kooperatif bertolak dari
penilaian acuan patokan (criterion
referenced).
12) Menjelaskan
perilaku siswa yang diharapkan. Perkataan kerja sama atau gotong royong sereing
memiliki konotasi dan penggunaan yang bermacam-macam. Jika kelompok mulai
berfungsi secara efektif, perilaku yang diharapkan dapat mencakup hal-hal
sebagai berikut.
a)
Tiap anggota kelompok
menjelaskan bagaimana memperoleh jawaban.
b)
Meminta kepada tiap
anggota kelompok untuk mengaitkan pelajaran baru dengan yang telah dipelajari
sebelumnya.
c)
Memeriksa untuk
meyakinkan bahwa semua anggota kelompok memahami bahan yang dipelajari dan
menyetujui jawaban-jawabannya.
d)
Mendorong semua anggota
kelompok agar berpartisipasi dalam menyelesaikan tugas.
e)
Memperhatikan dengan
sungguh-sungguh mengenai apa yang dikatakan oleh anggota lain.
f)
Jangan mengubah pikiran
karena berbeda dari pikiran anggota lain tanpa penjelasan yang logis.
g)
Memberikan kritik
kepada ide, bukan kepada pribadi.
13) Memantau
perilaku siswa. Setelah semua kelompok mulai bekerja, guru harus menggunakan
sebagian besar waktunya untuk memantau kegiatan siswa.
14)
Memberikan bantuan
kepada siswa dalam menyelesaian tugas. Pada saat melakukan pemantauan, guru
harus menjelaskan pelajaran, mengulang prosedur atau strategi untuk
menyelesaikan tugas, menjawab pertanyaan, dan mengajarkan keterampilan
menyelesaikan tugas kalau perlu.
15)
Melakukan intervensi
untuk mengajarkan keterampilan bekerja sama. Pada saat memantau
kelompok-kelompok yang sedang belajar, guru kadang-kadang menemukan siswa yang
tidak memiliki keterampilan untuk menjalin kerja sama yang cukup dan adanya
kelompok yang memiliki masalah dalam menjalin kerja sama.
16)
Menutup pelajaran. Pada
saat pelajaran berakhir, guru perlu meringkas pokok-pokok pelajaran, meminta
kepada siswa untuk mengemukakan ide atau contoh, dan menjawab pertanyaan dan
hsil belajar mereka.
17) Menilai
kualitas pekerjaan atau hasil belajar siswa. Guru menilai kualitas pekerjaan
atau hasil belajar para siswa berdasarkan penilaian acuan patokan.
18)
Menilai kualitas kerja
sama antar anggota kelompok. Meskipun waktu belajar di kelas terbatas,
diperlukan waktu untuk berdiskusi dengan para siswa untuk membahas kualitas
kerja sama antar anggota kelompok pada hari itu.
3. Model Group Investigation
Ide model pembelajaran geroup
investigation bermula dari perpsektif filosofis terhadap konsep belajar. Untuk dapat
belajar, seseorang harus memiliki pasangan atau teman. Pada tahun 1916, John Dewey, menulis
sebuah buku Democracy and Education (Arends, 2002). Dalam
buku itu, Dewey menggagas konsep pendidikan, bahwa kelas seharusnya merupakan cermin masyarakat dan
berfungsi sebagai laboratorium untuk belajar
tentang kehidupan nyata. Pemikiran Dewey yang utama tentang pendidikan (Jacob, et al., 1996),
adalah: (1) siswa hendaknya aktif, learning by doing; (2) belajar
hendaknya didasari
motivasi intrinsik; (3) pengetahuan adalah berkembang, tidak bersifat tetap; (4) kegiatan belajar hendaknya sesuai dengan
kebutuhan dan minat siswa; (5) pendidikan harus
mencakup kegiatan belajar dengan prinsip saling memahami dan saling menghormati satu sama lain, artinya prosedur demokratis
sangat penting; (6) kegiatan belajar hendaknya berhubungan dengan dunia nyata.
Gagasan-gagasan Dewey akhirnya diwujudkan
dalam model group-investigation yang
kemudian dikembangkan oleh Herbert Thelen. Thelen menyatakan bahwa kelas hendaknya merupakan miniatur demokrasi yang
bertujuan mengkaji masalah-masalah sosial
antar pribadi (Arends, 2002). Model group-investigation
memiliki enam langkah pembelajaran
(Slavin, 1995), yaitu: (1) grouping (menetapkan jumlah anggota kelompok, menentukan sumber, memilih topik,
merumuskan permasalahan), (2) planning (menetapkan apa yang akan dipelajari,
bagaimana mempelajari, siapa melakukan apa, apa tujuannya), (3) investigation (saling
tukar informasi dan ide, berdiskusi, klarifikasi, mengumpulkan informasi, menganalisis data,
membuat inferensi), (4) organizing (anggota kelompok menulis laporan, merencanakan
presentasi laporan, penentuan penyaji, moderator,
dan notulis), (5) presenting (salah satu kelompok menyajikan, kelompok
lain mengamati, mengevaluasi,
mengklarifikasi, mengajukan pertanyaan atau tanggapan), dan (6) evaluating (masing-masing
siswa melakukan koreksi terhadap laporan masing-masing berdasarkan hasil diskusi kelas, siswa dan
guru berkolaborasi mengevaluasi pembelajaran yang dilakukan, melakukan penilaian hasil
belajar yang difokuskan pada pencapaian pemahaman.
Sistem sosial yang berkembang adalah
minimnya arahan guru, demokratis, guru dan siswa
memiliki status yang sama yaitu menghadapi masalah, interaksi dilandasi oleh kesepakatan. Prinsip reaksi yang dikembangkan adalah
guru lebih berperan sebagai konselor, konsultan,
sumber kritik yang konstruktif. Peran tersebut ditampilkan dalam proses pemecahan masalah, pengelolaan kelas, dan
pemaknaan perseorangan. Peranan guru terkait dengan proses pemecahan masalah berkenaan
dengan kemampuan meneliti apa hakikat dan fokus
masalah. Pengelolaan ditampilkan berkenaan dengan kiat menentukan informasi yang diperlukan dan pengorganisasian
kelompok untuk memperoleh informasi tersebut. Pemaknaan perseorangan berkenaan dengan
inferensi yang diorganisasi oleh kelompok dan
bagaimana membedakan kemampuan perseorangan.
Sarana pendukung model pembelajaran ini
adalah: lembaran kerja siswa, bahan ajar,
panduan bahan ajar untuk siswa dan untuk guru, peralatan penelitian yang
sesuai, meja dan
korsi yang mudah dimobilisasi atau ruangan kelas yang sudah ditata untuk itu.
Sebagai dampak pembelajaran adalah
pandangan konstruktivistik tentang pengetahuan,
penelitian yang berdisiplin, proses pembelajaran yang efektif, pemahaman yang mendalam.
Dalam
pembelajaran model group investigation,
interaksi sosial menjadi salah satu faktor penting bagi perkembangan skema
mental yang baru. Dimana dalam pembelajaran ini memberi kebebasan kepada
pembelajar untuk berfikir secara analitis, kritis, kreatif, reflektif dan
produktif. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan dengan mengambil tema yang
berkaitan dengan model pembelajaran dengan maksud untuk mengoptimalkan hasil belajar siswa pada pembelajaran
IPS khususnya materi sumber daya alam. Disamping itu kerja sama yang kompak
antar sesama anggota kelompok dalam mengidentifikasi suatu masalah sangat
dibutuhkan
Adapun langkah-langkah pembelajaran model group investigation
adalah sebagai berikut;
1. Guru
membagi kelas dalam beberapa kelompok secara heteogen
2. Guru
menjelaskan maksud pembelajaran dan tugas kelompok
3. Guru
memanggil ketua kelompok dan setiap kelompok mendapat tugas satu materi/tugas
yang berbeda dari kelompok lain
4. Masing-masing
kelompok membahas materi yang sudah ada secara kooperatif yang bersifat penemuan
5. Setelah
selesai diskusi, juru bicara kelompok menyampaikan hasil pembahasan kelompok
6. Guru
memberikan penjelasan singkat sekaligus memberi kesimpulan
7. Pada
akhir pembelajaran guru memberikan evaluasi
8. Penutup
B. Kerangka Berfikir
Untuk mendapatkan hasil belajar yang optimal dan anak dapat memahami materi
sumber daya alam dalam pelajaran IPS pada kelas IV sebaiknya menerapkan
pembelajaran Cooperativ model Group Investigation.
Secara Skematis uraian digambarkan kerangka
pemikirannya sebagai berikut:
Guru:
Pembelajaran
Konvensional
|
Siklus I:
Pembelajaran Cooperativ Model GI dengan LKS
|
Menerapkan Pembelajaran Cooperativ
Model GI
|
Diduga melalui pembelajaran
Cooperativ Model Group Investigation dapat mengoptimalkan hasil belajar IPS
materi sumber daya alam di kelas IV
|
Siklus II:
Pembelajaran Cooperativ Model GI dengan Quiz
|
Gambar 2.1 Skema Kerangka Berfikir
C. Hipotesis
Tindakan
Berdasarkan landasan teori dan kerangka
berfikir di atas, maka hipotesis tindakan yang peneliti ajukan sebagai berikut:
"Jika
Proses Belajar Mengajar Siswa Kelas IV SD Negeri 1 Aramiah menerapkan metode
pembelajaran Coopeative model Group
Investigation terhadap mata pelajaran IPS pada materi sumber daya alam, maka
dimungkinkan hasil belajar siswa menjadi lebih optimal dibandingkan dengan
proses belajar mengajar yang dilakukan secara konvensional”
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A.
Setting Penelitian
1.
Waktu Penelitian
Waktu
penelitian dimulai pada bulan Juli sampai dengan Oktober 2010
pada semester I tahun pelajaran 2010/2011.
Adapun jadwal penelitian tercantum pada lampiran.
2. Tempat
Penelitian
Penelitian
ini dilaksanakan di kelas IV SD
Negeri 1 Aramiah. SD Negeri 1 Aramiah terletak
di jalan Medan – Banda Aceh Gampong Aramiah Kecamatan Birem Bayeun Kabupaten Aceh Timur.
B. Subjek
Penelitian
Subjek dalam penelitian tindakan kelas ini adalah siswa-siswi kelas IV Sekolah Dasar Negeri 1 Aramiah dengan jumlah siswa sebanyak 37
orang yang terdiri dari 17 laki
laki dan 20 perempuan.
C.
Sumber Data
Sumber data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah hasil tes formatif siklus I dan
siklus II serta catatan pengamatan lapangan pada kondisi awal, siklus I dan
siklus II serta hasil pengamatan kelas.
D.
Teknik Dan Alat Pengumpulan Data
1. Tekhnik
Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini
pengumpulan data menggunakan teknik tes
dan non tes. Tes tertulis digunakan pada akhir siklus I dan siklus II, yang terdiri atas materi sumber daya alam. Sedangkan Teknik non tes
meliputi teknik observasi dan dokumentasi. Observasi digunakan pada saat pelaksanaan penelitian tindakan
kelas kemampuan memahami materi sumber daya alam pada siklus I dan siklus II. Sedangkan
teknik dokumentasi digunakan untuk mengumpulkan data khususnya nilai mata
pelajaran IPS.
2. Alat
Pengumpulan Data
Alat
pengumpulan data meliputi:
a.
Tes
tertulis, terdiri atas 10 butir soal.
b.
Non
tes, meliputi lembar observasi dan dokumen
E. Validasi
Data
Validasi data meliputi
validasi hasil belajar dan validasi proses pembelajaran.
1. Validasi
hasil belajar
Validasi
hasil belajar dikenakan pada instrumen penelitian yang berupa tes. Validasi ini meliputi validasi teoretis
dan validasi empiris. Validasi teoretis artinya mengadakan analisis instrumen
yang terdiri atas face validity
(tampilan tes), content validity
(validitas isi) dan construct validity
(validitas kostruksi).
Validitas
empiris artinya analisis terhadap butir-butir tes, yang dimulai dari pembuatan
kisi-kisi soal, penulisan butir-butis soal, kunci jawaban dan kriteria
pemberian skor.
2. Validasi
proses pembelajaran
Validasi
proses pembelajaran dilakukan dengan teknik triangulasi yang meliputi triangulasi
sumber dan triangulasi metode. Triangulasi sumber dilakukan dengan observasi
terhadap subyek penelitian yaitu siswa kelas IV dan kolaborasi dengan observer/pengamat
berasal dari teman sejawat.
Triangulasi
metode dilakukan dengan penggunaan metode dokumentasi selain metode observasi.
Metode dokumentasi digunakan untuk memperoleh data pendukung yang diperlukan
dalam proses pembelajaran Ilmu
Pengetahuan Sosial
F. Analisis
Data
Analisis data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah teknik analisis dekskriptif, yang meliputi:
- Analisis
deskriptif komparatif hasil belajar dengan cara membandingkan hasil
belajar pada siklus I dengan siklus II dan membandingkan hasil belajar
dengan indikator pada siklus I dan siklus II.
- Analisis
deskriptif kualitatif hasil observasi dengan cara membandingkan hasil observasi
dan refleksi pada siklus I dan siklus II.
G.
Indikator
Kinerja
Yang menjadi indikator
keberhasilan kinerja pada tindakan
kelas ini adalah jika terjadi perubahan peningkatan pemahaman siswa pada mata
pelajaran IPS melalui
pembelajaran Cooperatif model
Group Investigation. Secara
kuantitatif dapat di indikasikan jika 75 % dari seluruh siswa terlihat pemahaman terhadap mata
pelajaran IPS berubah lebih
baik. Hal ini diwujudkan dengan adanya kemampuan siswa 90% dalam menjawab soal
dengan benar.
Disamping itu juga 75% siswa
terlibat aktif dalam pembelajaran Cooperatif model Group Investigation, kemampuan guru untuk mengimplementasikan pendekatan pembelajaran Cooperatif model Group Investigation dapat terlaksana dengan baik.
H.
Prosedur Penelitian
Penelitian ini merupakan
penelitian tindakan kelas (classroom
action research) yang ditandai dengan adanya siklus, adapun dalam
penelitian ini terdiri atas II siklus. Setiap siklus terdiri atas perencanaan,
pelaksanaan, pengamatan dan refleksi. Prosedur penelitian diatas
digambarkan dengan skema sebagai berikut;
Siklus I
Siklus II
Gambar 3.1 Alur PTK
Penjelasan
Alur di atas merupakan prosedur penelitian yang dapat penulis diuraikan sebagai
berikut;
1.
Siklus I
a. Perencanaan (planning), terdiri atas kegiatan:
1) penyusunan rencana pelaksanaan
pembelajaran (RPP);
2) penyiapan skenario pembelajaran.
b. Pelaksanaan (acting), terdiri atas kegiatan;
1) pelaksanaan program pembelajaran sesuai
dengan jadwal,
2) proses pembelajaran dengan menerapkan
pembelajran Cooperatif
model Group Investigation pada pertemuan I dengan materi
”Jenis-Jenis Sumber Daya Alam” sedangkan pertemuan ke II dengan materi ”
Persebaran Sumber Daya Alam”
3) secara klasikal menjelaskan strategi dalam
pembelajaran Cooperatif
model Group Investigation dan dilengkapi lembar kerja siswa,
4) memodelkan strategi dan langkah-langkah
pembelajaran Cooperatif model Group Investigation
5) mengadakan observasi tentang proses
pembelajaran,
6)
mengadakan tes tertulis,
7)
penilaian hasil tes tertulis.
- Pengamatan (observing),
yaitu mengamati proses pembelajaran dan menilai hasil tes sehingga
diketahui hasilnya. Atas dasar hasil tersebut digunakan untuk merencanakan
tindak lanjut pada siklus berikutnya.
- Refleksi (reflecting),
yaitu menyimpulkan pelaksanaan hasil tindakan pada siklus I.
2.
Siklus II
- Perencanaan
(planning), terdiri atas
kegiatan:
a. penyusunan rencana pelaksanaan
pembelajaran (RPP);
b. penyiapan skenario pembelajaran.
- Pelaksanaan
(acting), terdiri atas kegiatan;
a. pelaksanaan program pembelajaran sesuai
dengan jadwal,
b. pembelajaran Cooperatif model Group Investigation pada pertemuan I dengan materi ”Pemanfaatan Sumber Daya Alam Untuk
Kegiatan Ekonomi” sedangkan pada pertemuan ke II dengan materi ”Usaha
Pelestarian Sumber Daya Alam”
c.
siswa untuk menerapkan strategi pembelajaran Cooperatif model Group Investigation, diikuti kegiatan kuis
d. mengadakan observasi tentang proses
pembelajaran,
e.
mengadakan tes tertulis,
f.
penilaian hasil tes tertulis.
- Pengamatan (observing),
yaitu mengamati proses pembelajaran dan menilai hasil tes sehingga diketahui
hasilnya,
- Refleksi (reflecting),
yaitu menyimpulkan pelaksanaan hasil tindakan pada siklus II.
BAB IV
HASIL
PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Kondisi Awal
Pembelajaran pada kondisi awal menunjukan bahwa proses kegiatan belajar
mengajar di kelas IV SD Negeri 1 Aramiah, belum efektif dikarenakan pembelajaran
masih berpusat pada guru artinya guru masih banyak berperan. Dan peserta didik
kurang terlibat dalam kegiatan belajar mengajar. Banyak peserta didik yang
mengobrol, tidak memperhatikan pelajaran, bercanda dengan teman, dan guru tidak
dapat mengkondisikan kelas dengan baik
sehingga berdampak pada rendahnya hasil belajar siswa.
Hasil penelitian awal rata-rata mendapatkan nilai di
bawah nilai KKM yang sudah ditentukan sekolah yaitu 70, dan ini sangat
membuat peneliti tidak puas.
Berikut ketuntasan belajar pada kondisi awal penulis
paparkan pada tabel di bawah ini.
Tabel 4.1 Ketuntasan Belajar Siswa Hasil Tes Kondisi Awal
No
|
Ketuntasan Belajar
|
Kondisi Awal
|
Jumlah
|
Persen
|
1
|
Tuntas
|
11
|
29,73 %
|
2
|
Belum Tuntas
|
26
|
70,27 %
|
Jumlah
|
37
|
100 %
|
Berdasarkan data pada tabel 4.1
tersebut di atas, diketahui bahwa siswa kelas IV yang memiliki nilai
kurang dari KKM 70, sebanyak 26 siswa. Dengan demikian persentase jumlah siswa yang belum
mencapai ketuntasan belajar minimum untuk materi sumber daya alam sebesar
(70,27 %). Sedangkan yang telah mencapai ketuntasan hanya sebanyak 11 siswa
(27,93 %) , hal dapat dilihat pada
grafik dibawah ini.
Gambar 4.1 Grafik Ketuntasan Belajar Kondisi
Awal
Hasil nilai rata-rata yang diperoleh
dari tes pada kondisi awal dapat ditunjukan seperti dalam tabel
berikut ini:
Tabel 4.2. Rata-rata Hasil Tes Kondisi Awal
No
|
Keterangan
|
Nilai
|
1
|
Nilai Tertinggi
|
7
|
2
|
Nilai Terendah
|
4
|
3
|
Jumlah Nilai
|
214
|
4
|
Nilai Rata-Rata
|
5,78
|
B. Deskripsi Tindakan Dan Hasil Penelitian Siklus I
1. Perencanaan Tindakan
a.
Pemilihan
materi dan sub materi untuk penyusunan RPP
Materi
yang dipilih adalah ”Sumber Daya Alam” dengan sub materi yang dipilih pada
pertemuan I adalah ”Jenis-jenis Sumber Daya Alam” sedangkan pertemuan ke II sub
materinya adalah ”Peresebaran Sumber daya Alam”. Berdasarkan sub materi yang
dipilih tersebut, kemudian disusun ke dalam rencana pelaksanaan pembelajaran
(RPP). Masing-masing RPP diberikan alokasi waktu sebanyak 2 x 35 menit, artinya
setiap RPP disampaikan dalam 1 kali tatap muka. Dengan demikian,
selama siklus I terjadi 2 kali tatap muka.
b.
Pembentukan
kelompok-kelompok belajar
Pada siklus I, siswa dalam
satu kelas dibagi menjadi 7 kelompok
kecil dengan memperhatikan heterogenitas baik kemampuan dan gender.
2. Pelaksanaan
Tindakan
a. Pelaksanaan Tatap Muka
Tatap muka I dan II dilaksanakan
dengan metode pembelajaran yang digunakan adalah Cooperatif model Group Investigation dengan panduan Lembar Kerja
Siswa ( LKS). Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut;
1) Guru
membagi kelas dalam beberapa kelompok secara heteogen
2) Guru
menjelaskan maksud pembelajaran dan tugas kelompok
3) Guru
memanggil ketua kelompok dan setiap kelompok mendapat tugas satu materi/tugas
yang berbeda dari kelompok lain
melalui LKS
4) Masing-masing
kelompok melakukan investigasi
terhadap jenis-jenis sumber daya alam kemudian membahasnya pada LKS secara
kooperatif yang bersifat penemuan.
5) Setelah
selesai diskusi, juru bicara kelompok menyampaikan hasil pembahasan kelompok
6) Guru
memberikan penjelasan singkat sekaligus memberi kesimpulan
7) Pada
akhir pembelajaran guru memberikan evaluasi
8) Penutup
Dalam kegiatan ini mereka
saling bekerja sama dan bertanggung
jawab untuk bersaing dengan kelompok lain dalam menyelesaikan lembar kerja
siswa. Suasana pembelajaran lebih menyenangkan nampak semua siswa bergairah
dalam mengikuti pelajaran.
b. Wawancara
Kegiatan wawancara
dilaksanakan oleh guru terhadap beberapa anggota kelompok. Wawancara diperlukan
untuk mengetahui sejauh mana perasaan siswa dalam memahami materi sumber daya
alam dengan menggunakan pembelajaran Cooperatif model Group Investigation ini. Hasil wawancara juga digunakan sebagai bahan
refleksi.
3. Observasi
Observasi
dilaksanakan pada keseluruhan kegiatan tatap muka, dalam hal ini observasi
dilakukan oleh 2 (dua) observer yaitu guru kelas (teman sejawat) pada SD Negeri 1 Aramiah. Observasi dilaksanakan untuk mengetahui secara
detail keaktifan, kerjasama, kecepatan dan ketepatan siswa dalam
memahami materi sumber daya alam. Hasil observasi digunakan sebagai
bahan refleksi dan untuk merencanakan tindakan pada siklus II.
4. Refleksi
Berdasarkan pelaksanaan tindakan pada siklus I terdapat
peningkatan hasil belajar dibandingkan dengan kondisi awal. Pada kondisi awal
jumlah siswa yang dibawah KKM sebanyak
26 anak sedangkan pada akhir siklus I berkurang menjadi 17 anak. Disamping itu perolehan nilai rata-rata kelas
meningkat dari 5,78 menjadi 6,89. Hasil belajar pada kondisi awal jika
dibandingkan dengan siklus I, dapat disajikan dalam tabel berikut.
Tabel 4.3 Perbandingan Ketuntasan Belajar Kondisi Awal
dengan Siklus I
No
|
Ketuntasan
|
Jumlah Siswa
|
Kondisi Awal
|
Siklus I
|
Jumlah
|
Persen
|
Jumlah
|
Persen
|
1
|
Tuntas
|
11
|
29,73 %
|
20
|
54,05 %
|
2
|
Belum Tuntas
|
26
|
70,27 %
|
17
|
45,95 %
|
Jumlah
|
37
|
100 %
|
37
|
100 %
|
|
|
|
|
|
|
|
Tabel perbandingan ketuntasan
belajar kondisi awal dengan siklus I dapat diperjelas dengan diagram batang
dibawah ini;
Gambar 4.2 Grafik Ketuntasan Belajar Kondisi Awal dan Siklus I
Perbandingan
hasil nilai rata-rata yang diperoleh dari tes pada kondisi awal dengan Siklus I
dapat ditunjukan seperti dalam
tabel berikut ini:
Tabel 4. 4. Perbandingan Nilai Rata-rata Kondisi Awal dan Siklus I
No
|
Keterangan
|
Kondisi Awal
|
Siklus I
|
1
|
Nilai Tertinggi
|
7
|
9
|
2
|
Nilai Terendah
|
4
|
5
|
3
|
Jumlah Nilai
|
214
|
255
|
4
|
Nilai Rata-Rata
|
5,78
|
6,89
|
Berdasarkan data pada tabel di atas, dapat disimpulkan
bahwa pembelajaran Cooperatif
model Group Investigation mampu meningkatkan hasil belajar, khususnya pada materi “Sumber Daya
Alam” . Disamping itu, rata-rata
kelas pun mengalami kenaikan menjadi 6,89. Walaupun sudah terjadi kenaikan
seperti tersebut di atas, namun hasil tersebut belum optimal. Hal ini dapat
terlihat dari hasil observasi bahwa dalam kegiatan pembelajaran masih terdapat
beberapa siswa yang kurang aktif dalam melakukan kegiatan pembelajaran, karena
sebagian siswa beranggapan bahwa kegiatan secara kelompok akan mendapat
prestasi yang sama. Oleh karena itu, diperlukan upaya perbaikan pembelajaran
pada siklus II.
C. Deskripsi Tindakan Dan Hasil Penelitian Siklus II
Berdasarkan hasil refleksi pada siklus I, maka
pelaksanaan tindakan pada siklus II dapat dideskripsikan sebagai berikut.
1. Perencanaan Tindakan
a.
Pemilihan
materi dan sub materi untuk penyusunan RPP
Materi
yang dipilih adalah ”Sumber Daya Alam” dengan sub materi yang dipilih pada
pertemuan I adalah ”Pemanfaatan Sumber Daya Alam Untuk Kegiatan Ekonomi”
sedangkan pertemuan ke II sub materinya adalah ”Usaha Pelestarian Sumber Daya
Alam”. Berdasarkan sub materi yang dipilih tersebut, kemudian disusun ke dalam
rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Masing-masing RPP diberikan alokasi
waktu sebanyak 2 x 35 menit, artinya setiap RPP disampaikan dalam 1 kali tatap
muka. Dengan demikian, selama siklus II terjadi 2 kali
tatap muka.
b.
Pembentukan
kelompok siswa
Pada siklus II, strategi
pembelajaran yang digunakan adalah pembelajaran Cooperatif model Group Investigation dan dikemas dalam bentuk kuis yang
dikompetisikan antar kelompok, sehingga siswa yang dibagi menjadi 7 kelompok
akan bersaing untuk mennjadi yang terbaik.
2. Pelaksanaan Tindakan
a.
Pelaksanaan
Tatap Muka
1) Guru memberikan evaluasi atas kegiatan
pembelajaran pada siklus I.
2) Guru memberikan motivasi tentang bagaimana
usaha yang bisa dilakukan untuk melestarikan sumber daya alam
3) Guru melatih siswa untuk menyikapi tentang
beberapa peristiwa yang terdapat pada gambar di lembar kerja siswa (LKS)
4) Guru memberikan perhatian terhadap siswa
yang agak lemah
5) Membimbing
siswa untuk merangkum pelajaran.
6) Guru memberikan evaluasi dengan tes.
7) Guru
menilai hasil evaluasi.
Pelaksanaan pembelajaran pada
siklus II siswa masih belajar secara
kelompok, namun dalam kegiatan kelompok ini siswa tertantang untuk lebih
mandiri dalam menguasai materi. Karena disamping belajar secara kelompok, namun
mereka antar individu harus berkompetisi secara pribadi .
b.
Wawancara
Wawancara
dilaksanakan pada saat siswa melakukan kegiatan pembelajaran. Wawancara
diperlukan untuk mengetahui sejauh mana kemampuan siswa dalam memahami,
memadukan dengan mata pelajaran lain. Disamping itu, wawancara digunakan untuk mengidentifikasi
kesulitan-kesulitan yang dialami oleh siswa. Hasil wawancara digunakan sebagai bahan refleksi.
3. Observasi
Observasi dilaksanakan pada keseluruhan kegiatan tatap
muka, dalam hal ini observasi dilakukan oleh
2 (dua) observer yang berasal dari teman sejawat yaitu guru pada SD
Negeri 1 Aramiah.
Observasi dilaksanakan untuk mengetahui aktivitas siswa secara langsung dalam
proses pembelajaran. Hasil observasi digunakan sebagai bahan refleksi.
4.
Refleksi
Berdasarkan pelaksanaan tindakan pada siklus II, terdapat
peningkatan hasil belajar yang cukup signifikan dibandingkan dengan tindakan
pada siklus I. Pada siklus I jumlah siswa
yang dibawah KKM sebanyak 17 anak sedangkan
pada akhir siklus II hanya sebanyak 2 anak. Disamping itu perolehan nilai rata-rata
kelas meningkat tajam dari 6,89 menjadi 8,02. Hasil belajar pada siklus I jika dibandingkan
dengan siklus II, dapat disajikan dalam tabel
berikut.
Tabel 4.5 Perbandingan Ketuntasan Belajar Siklus I dengan
Siklus II
No
|
Ketuntasan
|
Jumlah Siswa
|
Siklus I
|
Siklus II
|
Jumlah
|
Persen
|
Jumlah
|
Persen
|
1
|
Tuntas
|
20
|
54,05 %
|
35
|
94,59 %
|
2
|
Belum Tuntas
|
17
|
45,95 %
|
2
|
5,41 %
|
Jumlah
|
37
|
100 %
|
37
|
100 %
|
|
|
|
|
|
|
|
Berdasarkan
data tabel di atas dapat digambarkan pada grafik diagram batang di bawah ini:
Gambar 4.3 Grafik Ketuntasan Belajar Siklus I dan Siklus II
Berdasarkan
paparan data tersebut di atas diketahui bahwa siswa yang mencapai ketuntasan
belajar pada siklus II sebanyak 35 siswa ( 94,59 %) yang berarti sudah ada
peningkatan yang sangat signifikan dibanding dengan tindakan pada siklus I. Rata-rata
kelas pun menjadi meningkat tajam.
Perbandingan
hasil nilai rata-rata yang diperoleh dari tes pada Siklus I dengan Siklus II dapat ditunjukan
seperti dalam tabel berikut ini:
Tabel 4. 6. Perbandingan Nilai Rata-rata Siklus I dan Siklus II
No
|
Keterangan
|
Siklus I
|
Siklus II
|
1
|
Nilai Tertinggi
|
9
|
10
|
2
|
Nilai Terendah
|
5
|
6
|
3
|
Jumlah Nilai
|
255
|
297
|
4
|
Nilai Rata-Rata
|
6,89
|
8,02
|
Jika
dibandingkan antara keadaan kondisi awal, Siklus I dan Siklus II dapat dilihat
bahwa saat kondisi awal nilai rata- rata kelas sebesar 5,78 , sedangkan nilai
rata- rata kelas siklus I sudah ada peningkatan
menjadi 6,89 dan pada siklus II meningkat tajam menjadi 8,02. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel dan diagram dibawah ini :
Tabel 4.7.Perbandingan Ketuntasan Belajar Kondisi
Awal, Siklus I dan Siklus II
No
|
Ketuntasan
|
Jumlah Siswa
|
Kondisi Awal
|
Siklus I
|
Siklus II
|
Jlh
|
Persen
|
Jlh
|
Persen
|
Jlh
|
Persen
|
1
|
Tuntas
|
11
|
29,73 %
|
20
|
54,05 %
|
35
|
94,59 %
|
2
|
Belum Tuntas
|
26
|
70,27 %
|
17
|
45,95 %
|
2
|
5,41 %
|
Jumlah
|
37
|
100 %
|
37
|
100 %
|
37
|
100 %
|
Berdasarkan
data tabel di atas dapat digambarkan pada grafik diagram batang di bawah ini:
Gambar 4.4 Grafik Perbandingan Ketuntasan Kondisi Awal, Siklus I dan Siklus II
Perbandingan
hasil nilai rata-rata yang diperoleh dari tes kondisi awal Siklus I dengan Siklus II dapat ditunjukan seperti dalam tabel
berikut
Tabel 4. 8. Perbandingan Nilai Rata-rata Kondisi Awal, Siklus I dan Siklus II
No
|
Keterangan
|
Kondisi Awal
|
Siklus I
|
Siklus II
|
1
|
Nilai Tertinggi
|
7
|
9
|
10
|
2
|
Nilai Terendah
|
4
|
5
|
6
|
3
|
Jumlah Nilai
|
5,78
|
255
|
297
|
4
|
Nilai Rata-Rata
|
214
|
6,89
|
8,02
|
Berdasarkan informasi data pada tabel di atas, dapat
disimpulkan bahwa pembelajaran Cooperatif
model Group Investigation mampu mengoptimalkan hasil belajar IPS ,
khususnya pada materi “Sumber Daya Alam” di kelas IV SD Negeri 1 Aramiah.
Dengan demikian penlitian sianggap berhasil dan berhenti pada Siklus II.
D. Pembahasan
Tiap Siklus Dan Antar Siklus
Berdasarkan hasil penelitian dapat dinyatakan bahwa
penerapan pembelajaran Cooperatif
model Group
Investigation dapat mengoptimalkan hasil belajar IPS khususnya
penguasaan materi ”Sumber Daya Alam” pada siswa kelas IV semester I tahun
pelajaran 2010/2011. Hal tersebut dapat dianalisis dan dibahas sebagai berikut;
1. Hasil
Belajar Kondisi Awal
Pada kondisi awal nilai rata-rata siswa kelas IV pelajaran
IPS rendah khususnya pada materi sumber daya alam. Penyebabnya adalah luasnya
kompetensi yang harus dikuasainya dan perlu daya ingat yang setia sehingga
mampu menghafal dalam jangka waktu lama. Sebelum dilakukan tindakan guru
memberi tes, ternyata dari sejumlah 37 siswa hanya terdapat 11 siswa (29,73 %)
yang baru mencapai ketuntasan belajar sesuai dengan Kriteria Ketuntasan Minimal
(KKM) yaitu sebesar 7,0. Sedangkan 26
siswa atau (70,27 %) belum mencapai
kriteria ketuntasan minimal. Perolehan nilai tertinggi pada kondisi awal adalah
7 dan yang terendah adalah 4 dengan rata-rata kelas 5,78.
Proses pembelajaran pada kondisi awal menunjukkan bahwa
siswa masih pasif, karena tidak diberi respon yang menantang. Siswa masih
bekerja secara individual, tidak tampak kreatifitas siswa maupun gagasan yang
muncul. Siswa terlihat jenuh dan bosan tanpa gairah karena pembelajaran selalu
monoton sehingga terkesan tidak bermakna.
2. Hasil
Belajar Siklus I
Pada
tindakan siklus I proses pembelajaran melalui penerapan Cooperatif model Group Investigation . Hasil Tindakan pembelajaran pada siklus I, berupa
hasil tes dan non tes. Dari hasil tes siklus I, menunjukkan bahwa siswa yang
memperoleh nilai 9 sebanyak 2 siswa (5,40 %), sedangkan yang mendapat nilai 8
adalah 11 siswa atau (29,72 %), yang mendapat nilai 7 sebanyak 7 siswa atau (18,91
%), yang mendapatkan nilai 6 ada 15 siswa
atau (40,54 %), sedangkan nilai terendah yaitu 5 diperoleh oleh 2 siswa atau (5,40
%).
Berdasarkan ketuntasan belajar siswa dari sejumlah 37
siswa terdapat 20 siswa atau (54,05 % ) yang sudah mencapai ketuntasan belajar
yaitu memperoleh nilai 7 ke atas. Sementara sisanya 11 siswa atau (45,95
%) belum mencapai ketuntasan. Adapun
dari Hasil nilai siklus I dapat
dijelaskan bahwa perolehan nilai tertinggi adalah 9, sedangkan nilai terendah
adalah 5, dengan nilai rata-rata kelas sebesar 6,78.
Proses pembelajaran pada siklus I
sudah menunjukkan adanya perubahan, meskipun belum semua siswa terlibat aktif
dalam kegiatan pembelajaran . Hal ini dikarenakan kegiatan yang bersifat
kelompok ada anggapan bahwa prestasi maupun nilai yang di dapat secara kelompok
. Ada interaksi antar siswa secara individu maupun kelompok, serta antar
kelompok. Masing-masing siswa ada peningkatan latihan bertanya dan menjawab
antar kelompok, sehingga terlatih ketrampilan bertanya jawab. Terjalin
kerjasama inter dan antar kelompok. Ada persaingan positif antar kelompok
mereka saling berkompetisi untuk memperoleh penghargaan dan menunjukkan untuk
jati diri pada siswa.
3. Hasil
Belajar Siklus II
Pada
tindakan siklus II proses pembelajaran melalui penerapan Cooperatif model Group Investigation. Dari pelaksanan
tindakan siklus II dapat diketahui bahwa siswa yang mendapatkan nilai sangat
baik yaitu 10 sebanyak 2 siswa atau (5,40 %),
yang mendapat nilai 9 sebanyak 11 siswa atau (45,95 %) yang meperoleh
nilai 8 sebanyak 12 siswa atau (32,43 %) yang memperoleh nilai 7 sebanyak 10
siswa atau (27,02 %) sedangkan yang mendapat nilai terendah yaitu 6 sebanyak 2
siswa atau (5,40 %). Nilai rata-rata kelas adalah sebesar 8,02 dengan
ketuntasan belajar sebesar 94,59 %.
Proses pembelajaran pada siklus II sudah menunjukkan
semua siswa terlibat aktif dalam kegiatan pembelajaran . Hal ini
dikarenakan sekalipun kegiatan bersifat
kelompok namun ada tugas individual yang harus dipertanggung jawabkan, karena ada kompetisi kelompok maupun
kompetisi individu. Ada interaksi antar siswa secara individu maupun kelompok ,
serta antar kelompok. Masing- masing siswa ada peningkatan latihan bertanya
jawab dan bisa mengkaitkan dengan mata pelajaran lain maupun pengetahuan umum,
sehingga disamping terlatih ketrampilan
bertanya jawab, siswa terlatih berargumentasi. Ada persaingan positif antar
kelompok untuk penghargaan dan
menunjukkan jati diri pada siswa
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan temuan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penerapan
pembelajaran Cooperatif model Group Investigation dapat mengoptimalkan
hasil belajar IPS pada materi “Sumber Daya Alam” di kelas IV SD Negeri 1 Aramiah Kecamatan
Birem Bayeun Kabupaten Aceh Timur. Hal
ini ditandai adanya beberapa temuan dalam penelitian tindakan kelas ini yaitu:
- Perolehan nilai rata-rata hasil belajar siswa terhadap materi
“Sumber Daya Alam”, mengalami peningkatan yaitu pada kondisi awal sebesar
5,78 dan pada tindakan siklus I meningkat sebesar 6,78 sedangkan pada tindakan
siklus II meningkat secara signifikan yaitu sebesar 8,02
- Skor
ketuntasan belajar siswa juga mengalami peningkatan yaitu pada kondisi
awal hanya sebesar 29,73 %, setelah diberi tindakan pada siklus I menjadi
54,05 % sedangkan pada siklus II ketuntasan belajar juga mengalami
peningkatan yang signifikan yaitu sebesar
94,59 %.
B.
Saran
Berdasarkan simpulan dan temuan-temuan diatas, dapat
diasarankan agar:
- Dalam pembelajaran
IPS hendaknya dapat menerapkan pembelajaran Cooperatif model Group Investigation salah satu
alternatif dalam mengoptimalkan
hasil belajar siswa di Sekolah Dasar.
-
Melalui pembelajaran Cooperatif model Group
Investigation, guru dapat dengan mudah merespon potensi atau modalitas
siswa dalam setiap kelompok belajar. Dengan demikian seorang guru yang
profesional dapat lebih efektif dapat melakukan kegiatan proses belajar
mengajar, serta dengan mudah dapat merespon perbedaan perbedaan potensi
yang dimiliki peserta didiknya
DAFTAR PUSTAKA
Abdurahman &
Bintoro. 2000. Perencanaan Pengajaran. Jakarta: Rineka. Jakarta:
Bumi Aksara. Sanjaya, Wina. 2006. Strategi Pembelajaran. Jakarta: Media
Arikunto, Suharsimi,
, 2003, Penelitian Tindakan Kelas,
Jakarta, Bina Aksara
BNSP, 2007. Standar
Kompetensi dan kompeternsi Dasar . Jakarta. Depdiknas
Marimba, 2003.
Metode Belajar dan Kesulitan-Kesulitan Belajar. Bandung:
Nawawi. 2001. Berbagai
Pendekatan dalam Proses Belajar dan Menga-jar
Sadly,2005. Peningkatan Kemampuan
guru dalam mengorganisasi Cooperatipe
Learning Jakarta Grasindo.
Sumadi,
2006. Coorperative Learning. Jakarta
Grasindo
Tim Penyusun
Buku SPG, 1989. Model- model Pembelajaran
dan Penilaian. Dinas Prop Jatim
Utami, 2002. Strategi
Pembelajaran di SD . Jakarata. Universitas Terbuka