PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Pendidikan merupakan bagian integral
dalam pembangunan. Proses pendidikan tak dapat dipisahkan dari proses
pembangunan itu sendiri. Pembangunan diarahkan dan bertujuan untuk
mengembangkan sumber daya yang berkualitas. Manusia yang berkualitas dapat
dilihat dari segi pendidikan. Hal ini terkandung dalam tujuan pendidikan
nasional, bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya, selain beriman, bertakwa pada Tuhan
Yang Maha Esa serta sehat jasmani dan rohani, juga memiliki kemampuan dan
keterampilan.
Dengan penegasan di atas berarti
peningkatan kualitas sumber daya manusia haruslah dilakukan dalam konteks
peningkatan pengetahuan dan keterampilan melalui model pengajaran yang efektif
dan efisien serta mengikuti perkembangan zaman. Kemajuan di bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi memberikan dampak tertentu terhadap sistem
pengajaran. Pandangan mengenai konsep pengajaran terus-menerus mengalami
perkembangan sesuai dengan kemajauan ilmu dan teknologi.
Sejauh ini pendidikan masih didominasi oleh pandangan
bahwa pengetahuan sebagai perangkat fakta-fakta yang harus dihafal. Kelas masih
berfokus pada guru sebagai sumber utama pengetahuan, kemudian ceramah menjadi
pilihan utama strategi belajar. Untuk itu, diperlukan sebuah strategi belajar
‘baru’ yang lebih memberdayakan siswa. Sebuah strategi belajar yang tidak
mengharuskan siswa menghafal fakta-fakta, tetapi sebuah strategi yang mendorong
siswa mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri.
Ada kecenderungan dewasa ini untuk
kembali pada pemikiran bahwa anak akan belajar lebih baik jika lingkungan
belajar diciptakan alamiah. Belajar akan lebih bermakna jika anak mengalami apa
yang dipelajarinya, bukan mengetahuinya. Pembelajaran yang berorientasi target
penguasaan materi terbukti berhasil dalam kompetensi jangka pendek, tetapi
gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan dalam jangka panjang.
Berdasarkan data awal yang didapat menunjukkan bahwa hasil belajar
matematika kelas IV SD Negeri 1 Aramiah masih rendah. Belum semua siswa
mencapai ketuntasan belajar yang diinginkan. Dari 37 siswa hanya 9 (24,32 %) yang
mencapai kriteria ketuntasana minimum
(KKM) yang ditetapkan yaitu sebesar 65. Hal ini mungkin disebabkan kesulitan yang
dihadapi oleh para siswa adalah mereka kurang mampu mengaitkan konsep-konsep
matematika yang dipelajarinya dengan kegiatan kehidupan sehari-hari.
Dan pada umumnya siswa belajar dengan
menghafal konsep-konsep matematika bukan belajar untuk mengerti konsep-konsep
matematika. Selain itu, siswa kesulitan dalam memecahkan soal-soal matematika
yang berbentuk aplikasi, bahkan lebih jauh dari itu ada kesan siswa menganggap
pelajaran matematika hanya merupakan suatu beban, sehingga tidak heran jika
banyak siswa yang tidak menyenangi pelajaran matematika. Di sisi lain, metode
dan pendekatan yang diterapkan oleh guru umumnya masih menerapkan metode
ceramah atau ekspositori .
Oleh karena itu pendekatan pembelajaran
kontekstual merupakan strategi yang cocok diterapkan dalam mengatasi
masalah-masalah yang dihadapi siswa SD Negeri 1 Aramiah Kecamatan Birem Bayeun
Kabupaten Aceh Timur dalam proses belajar matematika. Proses pembelajaran
berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan
transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih
dipentingkan dari pada hasil.
Dalam konteks tersebut, siswa perlu
mengerti apa makna belajar, apa manfaatnya, dalam status apa mereka, dan
bagaimana mencapainya. Mereka sadar bahwa apa yang mereka pelajari berguna bagi
kehidupannya. Dengan demikian mereka memposisikan diri sebagai dirinya sendiri
yang memerlukan suatu bekal untuk masa depannya. Dengan pembelajaran berbasis
kontekstual diharapkan akan mempermudah dalam memahami dan memperdalam
matematika untuk meningkatkan motivasi belajar siswa sehingga dapat
meningkatkan hasil belajar.
Berangkat dari pemikiran di atas, maka penulis ingin melakukan
penelitian tindakan kelas dengan judul ” Melalui Pembelajaran
Berbasis Kontekstual Dapat Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Pada Materi Pecahan
di Kelas IV SD Negeri 1 Aramiah
Kecamatan Birem Bayeun Kabupaten
Aceh Timur”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, rumusan masalah
yang penulis ajukan dalam penelitian ini adalah: “ Apakah Pembelajaran Berbasis
Kontekstual Dapat Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Pada Materi Pecahan di
Kelas IV SD Negeri 1 Aramiah Kecamatan Birem Bayeun Kabupaten Aceh Timur?”
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan
permasalahan di atas, maka tujuan dilaksanakan penelitian ini adalah:
- Tujuan Umum
Mengimplementasikan pembelajaran
berbasis kontekstual terhadap pelajaran matematika pada materi pecahan di kelas
IV SD Negeri 1 Aramiah Kecamatan Birem Bayeun Kabupaten Aceh Timur
- Tujuan Khusus
Meningkatkan hasil belajar matematika
pada materi pecahan di Kelas IV SD Negeri 1 Aramiah Kecamatan Birem Bayeun
Kabupaten Aceh Timur melalui pembelajaran berbasis kontekstual.
D.
Manfaat
Hasil Penelitian
Manfaat teoritis maupun praktis yang diharapkan dari hasil
penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.
Manfaat Teoritis
Hasil
penelitian ini dapat memberikan informasi tentang pembelajaran berbasis kontekstual
dalam meningkatkan hasil belajar matematika.
2.
Manfaat
Praktis
a. Bagi siswa:
Dapat
mempermudah dalam memahami konsep-konsep matematika yang terlihat pada
peningkatan hasil belajar siswa .
b. Bagi guru:
Sebagai acuan dalam mendapatkan cara
yang efektif dalam penyajian pelajaran.
c. Bagi sekolah:
Sebagai masukan dalam upaya perbaikan
pembelajaran sehingga dapat menunjang tercapainya target kurikulum dan daya
serap siswa seperti yang diharapkan.
d. Bagi Penulis:
Sebagai
kegiatan pengembangan profesi untuk pengakuan angka kredit guna kenaikan
pangkat setingkat lebih tinggi.
BAB II
LANDASAN TEORI DAN PENGAJUAN HIPOTESISI
A.
Landasan Teori
1.
Pembelajaran Matematika di Sekolah
Dasar
Pembelajaran
matematika yang diajarkan di SD merupakan matematika sekolah yang terdiri dari
bagian-bagian matematika yang dipilih guna menumbuh kembangkan
kemampuan-kemampuan dan membentuk pribadi anak serta berpedoman kepada
perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Hal ini menunjukkan bahwa
matematika SD tetap memiliki ciri-ciri yang dimiliki matematika, yaitu: (1)
memiliki objek kajian yang abstrak (2) memiliki pola pikir deduktif konsisten
Suherman (2006: 55).
Matematika
sebagai studi tentang objek abstrak tentu saja sangat sulit untuk dapat
dipahami oleh siswa-siswa SD yang belum mampu berpikir formal, sebab
orientasinya masih terkait dengan benda-benda konkret. Ini tidak berarti bahwa
matematika tidak mungkin tidak diajarkan di jenjang pendidikan dasar, bahkan
pada hakekatnya matematika lebih baik diajarkan pada usia dini.
Mengingat
pentingnya matematika untuk siswa-siswa usia dini di SD, perlu dicari suatu
cara mengelola proses belajar-mengajar di SD sehingga matematika dapat dicerna
oleh siswa-siswa SD. Disamping itu, matematika juga harus bermanfaat dan
relevan dengan kehidupannya, karena itu pembelajaran matematika di jenjang
pendidikan dasar harus ditekankan pada penguasaan keterampilan dasar dari
matematika itu sendiri. Keterampilan yang menonjol adalah keterampilan terhadap
penguasaan operasi-operasi hitung dasar (penjumlahan, pengurangan, perkalian
dan pembagian).
Untuk itu dalam pembelajaran matematika terdapat dua aspek yang perlu
diperhatikan, yaitu: (1) matematika sebagai alat untuk menyelesaikan masalah,
dan (2) matematika merupakan sekumpulan keterampilan yang harus dipelajari.
Karena itu dua aspek matematika yang dikemukakan di atas, perlu mendapat
perhatian yang proporsional (Syamsuddin, 2003: 11). Konsep yang sudah diterima
dengan baik dalam benak siswa akan memudahkan pemahaman konsep-konsep
berikutnya. Untuk itu dalam penyajian topik-topik baru hendaknya dimulai pada
tahapan yang paling sederhana ketahapan yang lebih kompleks, dari yang konkret
menuju ke yang abstrak, dari lingkungan dekat anak ke lingkungan yang lebih
luas.
Kurikulum
matematika sekolah berbasis kompetensi (2004) memuat materi yang lebih ringkas
dan memuat hal-hal pokok yang mencakup tiga komponen : a) kemampuan dasar b)
materi standar c) indikator pencapaian hasil belajar. Penyusunan kurikulum
berbasis kompetensi mempertimbangkan kesinambungan tujuan antara jenjang
pendidikan yang lebih rendah ke jenjang yang lebih tinggi. Pada mata pelajaran
matematika manyajikan tujuan instruksional sebagai berikut :
a. Siswa mampu menggunakan matematika
sebagai alat untuk memecahkan masalah atau soal yang mencakup : kemampuan
memahami model matematika, operasi penyelesaian model, dan penafsiran solusi
model terhadap masalah semula.
b. Menggunakan matematika sebagai cara
bernalar dan untuk mengkomunikasikan gagasan secara lisan dan tertulis,
misalnya menyajikan masalah ke bentuk model matematika.
Tujuan
umum matematika sekolah ini selanjutnya dijabarkan berkesinambungan pada setiap
jenjang pendidikan yaitu SD, SLTP, dan SMU. Berikut ini merupakan tujuan matematika
pada jenjang pendidikan Sekolah Dasar.
Siswa mampu :
a. Melakukan operasi hitung :
penjumlahan, pengurangan, perkalian, pembagian, beserta operasi campurannya
termasuk yang melibatkan pecahan.
b. Menentukan sifat dan unsur suatu
bangun datar dan bangun ruang sederhana, termasuk penggunaan sudut, keliling,
luas dan volume.
c. Menentukan sifat simetri, kesebangunan
dan sistem koordinat.
d. Menggunakan pengukuran, satuan,
kesetaraan antar satuan, dan penaksiran pengukuran.
e. Menentukan dan menafsirkan data
sederhana seperti ukuran tertinggi, terendah, rata-rata, modus, serta
mengumpulkan dan menyajikan data.
2.
Pengertian Hasil Belajar
Hasil belajar adalah
sebuah kalimat yang terdiri dari dua kata yaitu hasil dan belajar. Antara kata hasil
dan belajar mempunyai arti yang berbeda. Hasil adalah dari suatu kegiatan yang
telah dikerjakan, diciptakan baik secara individu maupun secara kelompok
(Djamarah, 2004:19). Sedangkan menurut Mas’ud Hasan Abdul Dahar dalam Djamarah
(2004:21) bahwa hasil adalah apa yang telah dapat diciptakan, hasil pekerjaan,
hasil yang menyenangkan hati yang diperoleh dengan jalan keuletan kerja.
Dari
pengertian yang dikemukakan tersebut di atas, jelas terlihat perbedaan pada
kata-kata tertentu sebagai penekanan, namun intinya sama yaitu hasil yang
dicapai dari suatu kegiatan. Untuk itu, dapat dipahami bahwa prestasi adalah
hasil dari suatu kegiatan yang telah dikerjakan, diciptakan, yang menyenangkan
hati, yang diperoleh dengan jalan keuletan kerja, baik secara individual maupun
secara kelompok dalam bidang kegiatan tertentu.
Menurut
Slameto (2005 : 2) bahwa belajar
adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu
perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil
pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Secara sederhana
dari pengertian belajar
sebagaimana yang dikemukakan oleh pendapat di atas, dapat diambil suatu
pemahaman tentang hakekat dari aktivitas belajar adalah suatu perubahan yang
terjadi dalam diri individu. Sedangkan menurut Nurkencana (2006 : 62)
mengemukakan bahwa hasil belajar adalah
hasil yang telah dicapai atau diperoleh anak berupa nilai mata pelajaran.
Ditambahkan bahwa hasil belajar merupakan hasil yang mengakibatkan perubahan
dalam diri individu sebagai hasil dari aktivitas dalam belajar.
Setelah
menelusuri uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa hasil belajar adalah taraf kemampuan yang telah dicapai siswa
setelah mengikuti proses belajar mengajar dalam waktu tertentu baik berupa
perubahan tingkah laku, keterampilan dan pengetahuan dan kemudian akan diukur
dan dinilai yang kemudian diwujudkan dalam angka atau pernyataan.
3. Definisi Pembelajaran Kontekstual (CTL)
Definisi Pembelajaran Kontekstual atau CTL menurut para ahli. Ada tiga ahli pendidikan yang
diambil kafeilmu.com untuk
mendefinisikan pembelajaran kontekstual ini (CTL). Definisi tersebut antara
lain. Elaine B. Johnson mendefinisikan
pengertian pembelajaran kontekstual sebagai berikut: Contextual
Teaching and Learning (CTL) atau disebut secara lengkap dengan Sistem
Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah: sebuah proses pendidikan
yang bertujuan menolong para siswa melihat makna didalam materi akademik yang
mereka pelajari dengan cara menghubungkan subjek-subjek akademik dengan konteks
dalam kehidupan keseharian mereka, yaitu dengan konteks keadaan pribadi,
sosial, dan budaya mereka.
Dengan
pengertian tentang pembelajaran kontekstual diatas, diperlukan usaha dan
strategi pengajaran yang tepat, sehingga dapat dicapai tujuan untuk
mengantarkan guru dan murid dalam sebuah pendidikan yang kontekstual. Untuk
mencapai tujuan ini, sistem pembelajaran kontekstual mempunyai delapan komponen
utama. Komponen pembelajaran kontekstual tersebut adalah sebagai
berikut:
1.
membuat
keterkaitan-keterkaitan yang bermakna,
2.
melakukan
pekerjaan yang berarti,
3.
melakukan
pembelajaran yang diatur sendiri,
7.
mencapai
standar yang tinggi,
Contextual
Teaching and Learning adalah suatu konsep mengajar dan belajar yang membantu
guru mengaitkan antara materi pembelajaran dengan situasi dunia nyata siswa,
dan mendorong siswa membentuk hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya
dengan penerapannya dalam kehidupan nyata mereka sehari-hari. Pengetahuan dan
ketrampilan siswa diperoleh dari usaha siswa mengkonstruksi sendiri pengetahuan
dan ketrampilan baru ketika belajar.
Akhmad
sudrajat, mendefinisikan Contextual Teaching and Learning (CTL) sebagai
berikut:Contextual Teaching and Learning (CTL) Merupakan suatu proses
pendidikan yang holistik dan bertujuan memotivasi siswa untuk memahami makna
materi pelajaran yang dipelajarinya dengan mengkaitkan materi tersebut dengan
konteks kehidupan mereka sehari-hari (konteks pribadi, sosial, dan kultural)
sehingga siswa memiliki pengetahuan/ keterampilan yang secara fleksibel dapat
diterapkan (ditransfer) dari satu permasalahan /konteks ke permasalahan/
konteks lainnya.
Departemen
Pendidikan Nasional mendefinisikan Contextual
Teaching and Learning (CTL) sebagai berikut: Kontekstual (Contextual Teaching and Learning) adalah
konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan
dengan situasi dunia nyata dan mendorong siswa membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimilikinya dengan perencanaan dalam kehidupan mereka
sehari-hari. http://kafeilmu.com/2011/05/definisi-pembelajaran-kontekstual-ctl.html
4. Pembelajaran
Matematika Berbasis Kontekstual
Pembelajaran berbasis CTL melibatkan tujuh komponen
utama pembelajaran produktif, yakni: konstruktivisme (Constructivism), bertanya
(Questioning), menemukan (Inquiry), masyarakat belajar (Learning community),
pemodelan (Modeling), refleksi (reflection), dan penilaian sebenarnya
(Authentic Assessment) (Depdiknas, 2002: 26). Selain itu, dalam pembelajaran
kontekstual siswa diharapkan untuk memiliki kemampuan berpikir kritis dan
terlibat penuh dalam proses pembelajaran yang efektif. Sedangkan guru
mengupayakan dan bertanggung jawab atas terjadinya proses pembelajaran yang
efektif tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa ada
kesenjangan antara tujuan pembelajaran matematika yang ingin dicapai, di
antaranya yaitu memiliki kemampuan berpikir kritis, dan kenyataan yang ada di
lapangan. Juga dapat kita cermati bahwa agar kemampuan berpikir kritis siswa
dapat dikembangkan dengan baik, maka proses pembelajaran yang dilaksanakan
harus melibatkan siswa secara aktif. Di lain pihak, mengingat komponen-komponen
yang dimiliki CTL, pembelajaran matematika dengan pendekatan kontekstual dapat
dicoba sebagai salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk melatih siswa
dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritisnya dalam matematika.
Untuk beradaptasi dengan perkembangan kebutuhan
masyarakat dan teknologi, pembelajaran matematika di SD/MI perlu terus
ditingkatkan kualitasnya. Kita melihat dan merasakan bahwa informasi yang harus
diketahui oleh manusia setiap hari begitu beraneka, baik dari segi kualitas
maupun kuantitasnya, sehingga tidak mungkin kita memilih dan memahami sebagian
kecilpun dari informasi tersebut tanpa memanfaatkan cara atau strategi tertentu
untuk memperolehnya.
Pendefinisian pembelajaran dengan pendekatan
kontekstual yang dikemukakan oleh ahli sangatlah beragam, namun pada dasarnya
memuat faktor-faktor yang sama. Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual
(Contextual Teaching and Learning, CTL) adalah suatu pendekatan pembelajaran
yang dimulai dengan mengambil, mensimulasikan, menceritakan, berdialog,
bertanya jawab atau berdiskusi pada kejadian dunia nyata kehidupan sehari-hari
yang dialami siswa, kemudian diangkat kedalam konsep yang akan dipelajari dan
dibahas.
Melalui pendekatan ini, memungkinkan terjadinya
proses belajar yang di dalamnya siswa mengeksplorasikan pemahaman serta
kemampuan akademiknya dalam berbagai variasi konteks, di dalam ataupun di luar
kelas, untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya baik secara
mandiri ataupun berkelompok. Hal tersebut sesuai dengan yang dikemukakan Berns
dan Ericson (2001), yang menyatakan bahwa pembelajaran dengan pendekatan kontekstual
adalah suatu konsep pembelajaran yang dapat membantu guru menghubungkan materi
pelajaran dengan situasi nyata, dan memotivasi siswa untuk membuat koneksi
antara pengetahuan dan penerapannya dikehidupan sehari-hari dalam peran mereka
sebagai anggota keluarga, warga negara dan pekerja, sehingga mendorong motivasi
mereka untuk bekerja keras dalam menerapkan hasil belajarnya.
Dengan demikian pembelajaran kontekstual merupakan
suatu sistem pembelajaran yang didasarkan pada penelitian kognitif, afektif dan
psikomotor, sehingga guru harus merencanakan pengajaran yang cocok dengan tahap
perkembangan siswa, baik itu mengenai kelompok belajar siswa, memfasilitasi
pengaturan belajar siswa, mempertimbangkan latar belakang dan keragaman
pengetahuan siswa, serta mempersiapkan cara-teknik pertanyaan dan pelaksanaan
assessmen otentiknya, sehingga pembelajaran mengarah pada peningkatan
kecerdasan siswa secara menyeluruh untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang
dihadapinya.
Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual merupakan
salah satu pendekatan konstruktivisme baru dalam pembelajaran matematika, yang
pertama-tama dikembangkan di negara Amerika, yaitu dengan dibentuknya
Washington State Consortium for Contextual oleh Departemen Pendidikan Amerika
Serikat.
Menurut Owens (2001) bahwa pada tahun 1997 sampai
dengan tahun 2001 diselenggarakan tujuh proyek besar yang bertujuan untuk
mengembangkan, menguji, serta melihat efektivitas penyelenggaraan pengajaran
matematika secara kontekstual. Proyek tersebut melibatkan 11 perguruan tinggi,
18 sekolah, 85 orang guru dan profesor serta 75 orang guru yang sebelumnya
sudah diberikan pembekalan pembelajaran kontekstual.
Selanjutnya penyelenggaraan program ini berhasil dengan sangat baik untuk level
perguruan tinggi dan hasilnya direkomendasikan untuk segera disebarluaskan
pelaksanaannya. Hasil penelitian untuk tingkat sekolah, yakni secara signifikan
terdapat peningkatan ketertarikan siswa untuk belajar, dan meningkatkan secara
utuh partisipasi aktif siswa dalam proses belajar mengajar.
Selanjutnya Northwest Regional Education
Laboratories dengan proyek yang sama, melaporkan bahwa pengajaran kontekstual
dapat menciptakan kebermaknaan pengalaman belajar dan meningkatkan prestasi
akademik siswa. Demikian pula Owens (2001) menyatakan bahwa pengajaran
konteksual secara praktis menjanjikan peningkatan minat, ketertarikan belajar
siswa dari berbagai latar belakang serta meningkatkan partisipasi siswa dengan
mendorong secara aktif dalam memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengkoneksikan
dan mengaplikasikan pengetahuan yang telah mereka peroleh.
Pendapat lain mengenai komponen-komponen utama dari
pengajaran kontekstual yaitu menurut Johnson (2002), yang menyatakan bahwa
pengajaran kontekstual berarti membuat koneksi untuk menemukan makna, melakukan
pekerjaan yang signifikan, mendorong siswa untuk aktif, pengaturan belajar
sendiri, bekerja sama dalam kelompok, menekankan berpikir kreatif dan kritis,
pengelolaan secara individual, menggapai standar tinggi, dan menggunakan
asesmen otentik.
Menurut Zahorik (Nurhadi,2002:7) ada lima elemen
yang harus diperhatikan dalam praktek pembelajaran kontekstual, yaitu :
a. Pengaktifan
pengetahuan yang sudah ada (activating knowledge)
b. Pemerolehan
pengetahuan baru (acquiring knowledge) dengan cara mempelajari secara
keseluruhan dulu, kemudian memperhatikan detailnya.
c. Pemahaman
pengetahuan (understanding knowledge), yaitu dengan cara menyusun (a) Konsep
sementara (hipotesis), (b) melakukan sharing kepada orang lain agar mendapat
tanggapan (validisasi) dan atas dasar tanggapan itu (c) konsep tersebut
direvisi dan dikembangkan.
d. Mempraktekan
pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying knowledge)
e. Melakukan
refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan
tersebut.
B. Kerangka
Berfikir
Untuk mendapatkan hasil belajar yang optimal dan anak dapat memahami materi
pecahan dalam pelajaran matematika pada kelas siswa IV, sebaiknya menerapkan
pembelajaran berbasis kontekstual. Karena dengan pembelajaran kontekstual dapat
melibatkan siswa pada situasi dunia nyata sebagai sumber maupun terapan materi
pelajaran
Secara Skematis uraian
digambarkan kerangka pemikirannya sebagai berikut:
Secara Skematis uraian
digambarkan kerangka pemikirannya sebagai berikut:
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Siklus I:
Pembelajaran berbasis kontekstual dengan LKS
|
|
|
|
|
|
|
Siklus I:
Pembelajaran berbasis kontekstual dengan Quiz
|
|
|
|
|
|
|
Gambar 2.1 Skema Kerangka
Berfikir
C.
Hipotesis Tindakan
Berdasarkan landasan teori dan kerangka berfikir di atas,
maka hipotesis tindakan yang peneliti ajukan sebagai berikut: "Jika Proses Belajar Mengajar Siswa
Kelas IV SD Negeri 1 Aramiah menerapkan pembelajaran berbasis kontekstual terhadap
mata pelajaran matamtika pada materi pecahan,
maka dimungkinkan hasil belajar siswa menjadi lebih meningkat dibandingkan
dengan proses belajar mengajar yang dilakukan secara konvensional”
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A.
Setting Penelitian
1.
Waktu Penelitian
Waktu
penelitian dimulai pada bulan Januari sampai dengan April 2011 pada semester II
tahun pelajaran 2010/2011. Adapun jadwal penelitian tercantum pada lampiran.
2.
Tempat
Penelitian
Penelitian ini
dilaksanakan di kelas IV SD Negeri 1 Aramiah. SD Negeri 1 Aramiah terletak di
jalan Medan – Banda Aceh Gampong Aramiah
Kecamatan Birem Bayeun Kabupaten Aceh Timur.
B.
Subjek
Penelitian
Subjek dalam penelitian tindakan kelas ini adalah siswa-siswi kelas IV Sekolah Dasar Negeri 1 Aramiah dengan jumlah siswa sebanyak 37 orang yang terdiri dari 17 laki laki dan 20 perempuan.
C.
Sumber
Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah hasil tes formatif siklus I dan siklus II serta catatan pengamatan
lapangan pada kondisi awal, siklus I dan siklus II serta hasil pengamatan
kelas.
D. Teknik Dan Alat Pengumpulan Data
1.
Tekhnik
Pengumpulan Data
Dalam penelitian
ini pengumpulan data menggunakan teknik
tes dan non tes. Tes tertulis digunakan pada akhir siklus I dan siklus II, yang
terdiri atas materi pengukuran.
Sedangkan Teknik non tes meliputi teknik observasi dan dokumentasi. Observasi
digunakan pada saat pelaksanaan
penelitian tindakan kelas kemampuan memahami konsep pada materi pecahan pada
siklus I dan siklus II. Sedangkan teknik dokumentasi digunakan untuk
mengumpulkan data khususnya nilai mata pelajaran matematika.
2. Alat
Pengumpulan Data
Alat pengumpulan
data meliputi:
a.
Tes
tertulis, terdiri atas 10 butir soal.
b.
Non
tes, meliputi lembar observasi dan dokumen
E.
Validasi
Data
Validasi data meliputi validasi hasil belajar dan validasi proses
pembelajaran.
1. Validasi
hasil belajar
Validasi hasil
belajar dikenakan pada instrumen penelitian yang berupa tes. Validasi ini
meliputi validasi teoretis dan validasi empiris. Validasi teoretis artinya
mengadakan analisis instrumen yang terdiri atas face validity (tampilan tes), content
validity (validitas isi) dan construct
validity (validitas kostruksi).
Validitas empiris
artinya analisis terhadap butir-butir tes, yang dimulai dari pembuatan
kisi-kisi soal, penulisan butir-butis soal, kunci jawaban dan kriteria
pemberian skor.
2. Validasi
proses pembelajaran
Validasi proses
pembelajaran dilakukan dengan teknik triangulasi yang meliputi triangulasi
sumber dan triangulasi metode. Triangulasi sumber dilakukan dengan observasi
terhadap subyek penelitian yaitu siswa kelas IV dan kolaborasi dengan
observer/pengamat berasal dari teman sejawat.
Triangulasi metode
dilakukan dengan penggunaan metode dokumentasi selain metode observasi. Metode
dokumentasi digunakan untuk memperoleh data pendukung yang diperlukan dalam
proses pembelajaran matematika.
F.
Analisis
Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis
dekskriptif, yang meliputi:
- Analisis deskriptif komparatif hasil belajar dengan
cara membandingkan hasil belajar pada siklus I dengan siklus II dan
membandingkan hasil belajar dengan indikator pada siklus I dan siklus II.
- Analisis deskriptif kualitatif hasil observasi
dengan cara membandingkan hasil observasi dan refleksi pada siklus I dan siklus
II.
G.
Indikator
Kinerja
Yang menjadi indikator keberhasilan kinerja pada tindakan kelas ini adalah jika terjadi perubahan
peningkatan pemahaman siswa pada mata pelajaran matematika melalui pembelajaran berbasis kontekstual. Secara kuantitatif dapat di indikasikan jika 75 %
dari seluruh siswa terlihat
pemahaman terhadap mata pelajaran matematika berubah lebih baik. Hal ini diwujudkan dengan adanya
kemampuan siswa 75 % dalam menjawab soal dengan benar.
Disamping
itu juga 75% siswa terlibat aktif dalam pembelajaran berbasis
kontekstual, kemampuan guru
untuk mengimplementasikan pendekatan pembelajaran berbasis
kontekstual dapat terlaksana dengan baik.
H.
Prosedur
Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (classroom action research) yang ditandai
dengan adanya siklus, adapun dalam penelitian ini terdiri atas II siklus.
Setiap siklus terdiri atas perencanaan, pelaksanaan, pengamatan dan refleksi. Prosedur
penelitian diatas digambarkan dengan skema sebagai berikut;
Gambar 3.1 Alur PTK
Penjelasan Alur di atas merupakan
prosedur penelitian yang dapat penulis diuraikan sebagai berikut;
1. Siklus
I
a.
Perencanaan
(planning), terdiri atas kegiatan:
1)
penyusunan
rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP);
2)
penyiapan
skenario pembelajaran.
b.
Pelaksanaan
(acting), terdiri atas kegiatan;
1)
pelaksanaan
program pembelajaran sesuai dengan jadwal,
2)
proses
pembelajaran dengan menerapkan pembelajaran
berbasis
kontekstual pada pertemuan I dengan sub materi ”Menyatakan Pecahan
Dalam Gambar” sedangkan pertemuan ke II dengan sub materi ” Pecahan Sebagai
operasi Pembagian ”
3)
secara
klasikal menjelaskan strategi dalam pembelajaran berbasis
kontekstual dan dilengkapi lembar kerja siswa,
4)
memodelkan
strategi dan langkah-langkah pembelajaran berbasis kontekstual.
5)
mengadakan
observasi tentang proses pembelajaran,
6) mengadakan
tes tertulis,
7) penilaian
hasil tes tertulis.
- Pengamatan
(observing), yaitu mengamati
proses pembelajaran dan menilai hasil tes sehingga diketahui hasilnya.
Atas dasar hasil tersebut digunakan untuk merencanakan tindak lanjut pada
siklus berikutnya.
- Refleksi
(reflecting), yaitu menyimpulkan
pelaksanaan hasil tindakan pada siklus I.
2. Siklus
II
- Perencanaan (planning),
terdiri atas kegiatan:
a.
penyusunan
rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP);
b.
penyiapan
skenario pembelajaran.
- Pelaksanaan (acting),
terdiri atas kegiatan;
a.
pelaksanaan
program pembelajaran sesuai dengan jadwal,
b.
pembelajaran
berbasis
kontekstual pada pertemuan I dengan sub materi ” Membandingkan
Pecahan Berpenyebut Sama” sedangkan pada pertemuan ke II dengan sub materi ”Mengurutkan
Pecahan Berpenyebut Sama”
c. siswa
untuk menerapkan strategi pembelajaran berbasis kontekstual, diikuti kegiatan
kuis.
d.
mengadakan
observasi tentang proses pembelajaran,
e. mengadakan
tes tertulis,
f. penilaian
hasil tes tertulis.
- Pengamatan
(observing), yaitu mengamati
proses pembelajaran dan menilai hasil tes sehingga diketahui hasilnya,
- Refleksi
(reflecting), yaitu menyimpulkan
pelaksanaan hasil tindakan pada siklus II.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.
Deskripsi Kondisi Awal
Proses pembelajaran pada kondisi awal hanya dengan menghafal konsep-konsep
matematika bukan belajar untuk mengerti konsep-konsep matematika. Selain itu,
siswa kesulitan dalam memecahkan soal-soal matematika yang berbentuk aplikasi,
bahkan lebih jauh dari itu ada kesan siswa menganggap pelajaran matematika
hanya merupakan suatu beban, sehingga tidak heran jika banyak siswa yang tidak
menyenangi pelajaran matematika. Di sisi
lain, metode dan pendekatan yang diterapkan oleh guru umum masih menerapkan
metode ceramah atau ekspositori .
Hasil pengamatan pada kondisi awal menunjukkan bahwa hasil belajar
matematika kelas IV SD Negeri 1 Aramiah masih rendah. Dari 37 siswa hanya 9 (24,32
%) yang mencapai kriteria ketuntasana
minimum (KKM) yang ditetapkan untuk materi pecahan yaitu sebesar 65.
Berikut
ketuntasan belajar pada kondisi awal penulis paparkan pada tabel di bawah ini.
Tabel 4.1 Ketuntasan
Belajar Siswa Hasil Tes Kondisi Awal
No
|
Ketuntasan Belajar
|
Kondisi Awal
|
Jumlah
|
Persen
|
1
|
Tuntas
|
9
|
24,32 %
|
2
|
Belum Tuntas
|
28
|
75,68 %
|
Jumlah
|
37
|
100 %
|
Berdasarkan
data pada tabel 4.1 tersebut di atas,
diketahui bahwa siswa kelas IV yang memiliki nilai kurang dari KKM 65, sebanyak
28 siswa. Dengan demikian persentase
siswa yang belum mencapai KKM adalah sebesar
(75,68 %). Sedangkan yang telah mencapai
ketuntasan hanya sebanyak 9 siswa atau sebesar (24,32 %) , hal dapat dilihat pada grafik dibawah ini.
Gambar
4.1 Grafik Ketuntasan Belajar Kondisi Awal
Grafik
diatas menunjukkan jumlah siswa yang mengalami ketuntasan hanya sebanyak 9 orang atau sebesar (24,32 %) sedangkan yang
belum mencapai ketuntasan belajar yaitu sebanyak 28 siswa atau sebesar (75,68
%).
Hasil nilai rata-rata yang diperoleh dari tes pada kondisi awal dapat
ditunjukan seperti dalam tabel berikut ini:
Tabel 4.2.
Rata-rata Hasil Tes Kondisi Awal
No
|
Keterangan
|
Nilai
|
1
|
Nilai
Tertinggi
|
7
|
2
|
Nilai
Terendah
|
3
|
3
|
Jumlah
Nilai
|
209
|
4
|
Nilai
Rata-Rata
|
5,64
|
B.
Deskripsi Tindakan Dan Hasil Penelitian Siklus I
1.
Perencanaan Tindakan
a.
Pemilihan
materi dan sub materi untuk penyusunan RPP
Materi
yang dipilih adalah ”Pecahan” dengan sub materi yang dipilih pada pertemuan I
adalah ”Menyatakan Pecahan Dalam Gambar” sedangkan pertemuan ke II sub
materinya adalah ”Pecahan Sebagai Operasi Pembagian”. Berdasarkan sub materi
yang dipilih tersebut, kemudian disusun ke dalam rencana pelaksanaan
pembelajaran (RPP). Masing-masing RPP diberikan alokasi waktu sebanyak 2 x 35
menit, artinya setiap RPP disampaikan dalam 1 kali tatap muka. Dengan demikian,
selama siklus I terjadi 2 kali tatap muka.
b.
Pembentukan
kelompok-kelompok belajar
Pada siklus I, siswa dalam satu kelas dibagi menjadi 7 kelompok kecil dengan memperhatikan heterogenitas baik kemampuan dan gender.
2. Pelaksanaan
Tindakan
a.
Pelaksanaan
Tatap Muka
Tatap muka I dan II dilaksanakan dengan menerapkan pembelajaran berbasis kontekstual dengan panduan Lembar Kerja Siswa ( LKS). Adapun langkah-langkahnya
sebagai berikut;
1)
Guru
secara klasikal menjelaskan strategi pembelajaran yang harus dilaksanakan
siswa.
2)
Guru menyajikan materi sesuai dengan
rencana pembelajaran yang telah dibuat
sebelumnya.
3)
Guru mengelompokkan siswa yang anggota
kelompoknya terdiri dari berbagai ragam
( heterogen )
4)
Guru membagikan lembar materi berupa
gambar yang menyatakan pecahan kepada masing-masing kelompok,dengan materi yang
sama, agar dipahami oleh kelompok siswa tersebut.
5)
Secara
kelompok siswa bekerja untuk mengidentifikasi banyaknya bagian dari satu benda
utuh yang dibagi menjadi bagian-bagian yang sama besar.
6)
Secara
kelompok siswa berdiskusi menyelesaikan LKS.
7)
Secara
kelompok siswa bertanya jawab antar kelompok untuk mempresentasikan hasil
kerjanya.
8)
Guru
memberi umpan balik hasil pemahaman siswa terhadap materi yang dipelajari
dengan mengadakan evaluasi berupa tes.
9)
Guru
menilai hasil evaluasi.
10) Guru memberikan tindak lanjut.
Dalam kegiatan ini mereka saling bekerja sama dan bertanggung jawab untuk bersaing dengan
kelompok lain dalam menyelesaikan lembar kerja siswa. Suasana pembelajaran
lebih menyenangkan nampak semua siswa bergairah dalam mengikuti pelajaran.
b. Wawancara
Kegiatan wawancara dilaksanakan oleh guru terhadap
beberapa anggota kelompok. Wawancara diperlukan untuk mengetahui sejauh mana
perasaan siswa dalam memahami materi pecahan dengan menggunakan pembelajaran berbasis
kontekstual ini. Hasil wawancara juga digunakan sebagai bahan
refleksi.
3. Observasi
Observasi
dilaksanakan pada keseluruhan kegiatan tatap muka, dalam hal ini observasi
dilakukan oleh 2 (dua) observer yaitu guru kelas (teman sejawat) pada SD Negeri 1 Aramiah. Observasi dilaksanakan untuk mengetahui secara detail
keaktifan, kerjasama, kecepatan dan ketepatan
siswa dalam mengerjakan soal yang
berkaitan dengan pengkuran. Hasil observasi digunakan sebagai bahan refleksi
dan untuk merencanakan tindakan pada siklus II.
4. Refleksi
Berdasarkan pelaksanaan tindakan pada siklus I terdapat
peningkatan hasil belajar dibandingkan dengan kondisi awal. Pada kondisi awal
jumlah siswa yang dibawah KKM sebanyak
28 anak sedangkan pada akhir siklus I berkurang menjadi 14 anak. Disamping itu perolehan nilai rata-rata kelas
meningkat dari 5,64 menjadi 6,86. Namun hasil yang dicapai belum begitu
memuaskan, hal ini menjadi bahan evaluasi pagi peneliti untuk
merencanakan dan mempersiapkan menjadi lebih matang pada tindakan siklus berikutnya.
Hasil belajar pada kondisi awal jika dibandingkan dengan
siklus I, dapat disajikan dalam tabel
berikut.
Tabel
4.3
Perbandingan Ketuntasan Belajar Kondisi Awal dengan Siklus I
No
|
Ketuntasan
|
Jumlah Siswa
|
Kondisi Awal
|
Siklus I
|
Jumlah
|
Persen
|
Jumlah
|
Persen
|
1
|
Tuntas
|
9
|
24,32 %
|
23
|
62,16 %
|
2
|
Belum Tuntas
|
28
|
75,68 %
|
14
|
37,84 %
|
Jumlah
|
37
|
100 %
|
37
|
100 %
|
|
|
|
|
|
|
|
Tabel perbandingan ketuntasan belajar kondisi awal dengan
siklus I dapat diperjelas dengan diagram batang dibawah ini;
Gambar
4.2 Grafik Ketuntasan Belajar Kondisi
Awal dan Siklus I
Perbandingan
hasil nilai rata-rata yang diperoleh dari tes pada kondisi awal dengan Siklus I
dapat ditunjukan seperti dalam
tabel berikut ini:
Tabel 4. 4. Perbandingan Nilai Rata-rata
Kondisi Awal dan Siklus I
No
|
Keterangan
|
Kondisi Awal
|
Siklus I
|
1
|
Nilai Tertinggi
|
7
|
9
|
2
|
Nilai Terendah
|
3
|
5
|
3
|
Jumlah Nilai
|
209
|
254
|
4
|
Nilai Rata-Rata
|
5,64
|
6,86
|
Berdasarkan data pada tabel di atas, dapat
disimpulkan bahwa pembelajaran berbasis kontekstual mampu meningkatkan hasil belajar,
khususnya pada materi “Pecahan”. Disamping
itu, rata-rata kelas pun mengalami kenaikan menjadi 6,86. Walaupun sudah
terjadi kenaikan seperti tersebut di atas, namun hasil tersebut belum optimal.
Hal ini dapat terlihat dari hasil observasi bahwa dalam kegiatan pembelajaran
masih terdapat beberapa siswa yang kurang aktif dalam melakukan kegiatan
pembelajaran, karena sebagian siswa beranggapan bahwa kegiatan secara kelompok
akan mendapat prestasi yang sama. Oleh karena itu, diperlukan upaya perbaikan
pembelajaran pada siklus II.
C.
Deskripsi Tindakan Dan Hasil Penelitian Siklus II
Berdasarkan hasil refleksi pada siklus I, maka
pelaksanaan tindakan pada siklus II dapat dideskripsikan sebagai berikut.
1.
Perencanaan Tindakan
a.
Pemilihan
materi dan sub materi untuk penyusunan RPP Materi yang dipilih adalah ”Pecahan” dengan
sub materi yang dipilih pada pertemuan I adalah ”Membandingkan Pecahan
Berpenyebut Sama” sedangkan pertemuan ke II sub materinya adalah ”Mengurutkan
Pecahan Berpenyebut Sama”. Berdasarkan sub materi yang dipilih tersebut,
kemudian disusun ke dalam rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Masing-masing
RPP diberikan alokasi waktu sebanyak 2 x 35 menit, artinya setiap RPP
disampaikan dalam 1 kali tatap muka. Dengan demikian, selama siklus II
terjadi 2 kali tatap muka.
b.
Pembentukan
kelompok siswa
Pada
siklus II, strategi pembelajaran yang digunakan adalah pembelajaran berbasis
kontekstual dan dikemas dalam bentuk kuis yang dikompetisikan antar
kelompok, sehingga siswa yang dibagi menjadi 7 kelompok akan bersaing untuk menjadi
yang terbaik.
2.
Pelaksanaan Tindakan
a.
Pelaksanaan
Tatap Muka
1)
Guru
memberikan evaluasi terhadap kegiatan pembelajaran pada siklus I.
2)
Guru memberikan motivasi kepada kelompok
siswa agar lebih
aktif lagi dalam pembelajaran.
3)
Lebih intensif membimbing kelompok siswa
yang mengalami kesulitan dalam pembelajaran.
4)
Membimbing siswa untuk merangkum
pelajaran.
5)
Guru
memberikan evaluasi dengan tes.
6)
Guru menilai hasil evaluasi.
Pelaksanaan pembelajaran pada siklus II siswa masih belajar secara kelompok, namun dalam
kegiatan kelompok ini siswa tertantang untuk lebih mandiri dalam menguasai
materi. Karena disamping belajar secara kelompok, namun mereka antar individu
harus berkompetisi secara pribadi .
b.
Wawancara
Wawancara
dilaksanakan pada saat siswa melakukan kegiatan pembelajaran. Wawancara
diperlukan untuk mengetahui sejauh mana kemampuan siswa dalam memahami,
memadukan dengan mata pelajaran lain. Disamping itu, wawancara digunakan untuk
mengidentifikasi kesulitan-kesulitan yang dialami oleh siswa. Hasil wawancara digunakan sebagai bahan refleksi.
3. Observasi
Observasi dilaksanakan pada keseluruhan kegiatan tatap
muka, dalam hal ini observasi dilakukan oleh
2 (dua) observer yang berasal dari teman sejawat yaitu guru pada SD
Negeri 1 Aramiah. Observasi dilaksanakan untuk mengetahui aktivitas siswa
secara langsung dalam proses pembelajaran. Hasil observasi digunakan sebagai
bahan refleksi.
4.
Refleksi
Berdasarkan pelaksanaan tindakan pada siklus II, terdapat
peningkatan hasil belajar yang cukup signifikan dibandingkan dengan tindakan
pada siklus I. Pada siklus I jumlah siswa
yang dibawah KKM sebanyak 14 anak
sedangkan pada akhir siklus II hanya sebanyak 1 anak. Disamping itu perolehan
nilai rata-rata kelas meningkat tajam dari
6,86 menjadi 7,97 Hasil belajar
pada siklus I jika dibandingkan dengan siklus II, dapat disajikan dalam
tabel berikut.
Tabel 4.5
Perbandingan Ketuntasan Belajar Siklus I dengan Siklus II
No
|
Ketuntasan
|
Jumlah Siswa
|
Siklus I
|
Siklus II
|
Jumlah
|
Persen
|
Jumlah
|
Persen
|
1
|
Tuntas
|
23
|
62,16 %
|
36
|
97,30 %
|
2
|
Belum Tuntas
|
14
|
37,84 %
|
1
|
2,70 %
|
Jumlah
|
37
|
100 %
|
37
|
100 %
|
|
|
|
|
|
|
|
Berdasarkan
data tabel di atas dapat digambarkan pada grafik diagram batang di bawah ini:
Gambar
4.3 Grafik Ketuntasan Belajar Siklus I dan
Siklus II
Berdasarkan paparan
data tersebut di atas diketahui bahwa siswa yang mencapai ketuntasan belajar
pada siklus II sebanyak 36 siswa ( 97,30 %) yang berarti sudah ada peningkatan
yang sangat signifikan dibanding dengan tindakan pada siklus I. Rata-rata kelas
pun menjadi meningkat tajam.
Perbandingan hasil
nilai rata-rata yang diperoleh dari tes pada Siklus I dengan Siklus II dapat ditunjukan
seperti dalam tabel berikut ini:
Tabel 4. 6. Perbandingan Nilai Rata-rata
Siklus I dan Siklus II
No
|
Keterangan
|
Siklus I
|
Siklus II
|
1
|
Nilai
Tertinggi
|
9
|
10
|
2
|
Nilai
Terendah
|
5
|
6
|
3
|
Jumlah Nilai
|
254
|
295
|
4
|
Nilai
Rata-Rata
|
6,86
|
7,97
|
Jika dibandingkan
antara keadaan kondisi awal, Siklus I dan Siklus II dapat dilihat bahwa saat
kondisi awal nilai rata- rata kelas sebesar 5,64, sedangkan nilai rata- rata
kelas siklus I sudah ada peningkatan menjadi
6,86 dan pada siklus II meningkat tajam menjadi 7,97. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada tabel dan diagram dibawah ini :
Tabel
4.7.Perbandingan
Ketuntasan Belajar Kondisi Awal, Siklus I dan Siklus II
No
|
Ketuntasan
|
Jumlah Siswa
|
Kondisi Awal
|
Siklus I
|
Siklus II
|
Jlh
|
Persen
|
Jlh
|
Persen
|
Jlh
|
Persen
|
1
|
Tuntas
|
9
|
24,32 %
|
23
|
62,16 %
|
36
|
97,30 %
|
2
|
Belum Tuntas
|
28
|
75,68 %
|
14
|
37,84 %
|
1
|
2,70 %
|
Jumlah
|
37
|
100 %
|
37
|
100 %
|
37
|
100 %
|
Berdasarkan
data tabel di atas dapat digambarkan pada grafik diagram batang di bawah ini:
Gambar 4.4 Grafik Perbandingan
Ketuntasan Kondisi Awal, Siklus I dan Siklus
II
Perbandingan hasil
nilai rata-rata yang diperoleh dari tes kondisi awal, Siklus I dengan Siklus II
dapat ditunjukan seperti dalam
tabel berikut
Tabel 4. 8. Perbandingan Nilai Rata-rata Kondisi Awal, Siklus I dan Siklus II
No
|
Keterangan
|
Kondisi Awal
|
Siklus I
|
Siklus II
|
1
|
Nilai
Tertinggi
|
7
|
9
|
10
|
2
|
Nilai
Terendah
|
3
|
5
|
6
|
3
|
Jumlah Nilai
|
209
|
254
|
295
|
4
|
Nilai
Rata-Rata
|
5,64
|
6,86
|
7,97
|
Berdasarkan informasi data pada tabel di
atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran berbasis kontekstual mampu meningkatkan
hasil belajar matematika, khususnya pada materi “Pecahan” di kelas IV SD Negeri
1 Aramiah. Dengan demikian penlitian dianggap berhasil dan berhenti pada Siklus
II.
D. Pembahasan
Tiap Siklus Dan Antar Siklus
Berdasarkan hasil penelitian dapat dinyatakan bahwa
penerapan pembelajaran berbasis kontekstual dapat meningkatkan hasil belajar matematika khususnya
penguasaan materi ”Pecahan” pada siswa kelas IV semester II tahun pelajaran
2009/2010. Hal tersebut dapat dianalisis dan dibahas sebagai berikut;
1. Hasil
Belajar Kondisi Awal
Hasil belajar pada kondisi awal nilai rata-rata siswa
kelas IV pelajaran matematika rendah khususnya pada materi pecahan. Penyebabnya
siswa kesulitan
dalam memecahkan soal-soal matematika yang berbentuk aplikasi. Sebelum dilakukan tindakan guru memberi tes, ternyata
dari sejumlah 37 siswa hanya terdapat 9 siswa (24,32 %) yang baru mencapai
ketuntasan belajar sesuai dengan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yaitu
sebesar 65. Sedangkan 28 siswa atau (75,68 %) belum mencapai kriteria ketuntasan
minimal. Perolehan nilai tertinggi pada kondisi awal adalah 7 dan yang terendah
adalah 3 dengan rata-rata kelas 5,64.
Suasana pembelajaran pada kondisi awal menunjukkan bahwa
siswa masih kurang tertarik dan hanya bersikap pasif. Siswa belum bekerja
secara maksimal, disamping itu proses pembelajaran hanya bersifat verbal dengan
metode pembelajaran yang bersifat konvensional. Siswa tidak dilibatkan secara
langsung dalam proses pembelajaran yang bersifat aplikasi dalam kehidupan
sehari-hari, hal inilah menjadikan siswa merasa jenuh dan bosan sehingga
berimbas pada hasil belajar matematika menjadi rendah.
2. Hasil
Belajar Siklus I
Dari hasil tes
siklus I, menunjukkan bahwa yang memperoleh nilai 9 sebanyak 2 siswa (5,40 %),
sedangkan yang mendapat nilai 8 sebanyak
7 siswa atau (18,92 %), yang
mendapatkan 7 sebanyak 14 siswa (37,84 %) , yang mendapat nilai 6 sebanyak 12 siswa (32,44 %) dan yang
mendapat nilai terendah yaitu 5 hanya 2 siswa ( 5,40 %).
Berdasarkan ketuntasan belajar siswa dari sejumlah 37
siswa terdapat 23 atau 62,16 % yang
sudah mencapai ketuntasan belajar. Sedangkan 14 siswa atau 37,84 % belum
mencapai ketuntasan. Adapun dari Hasil nilai
siklus I dapat dijelaskan bahwa
perolehan nilai tertinggi adalah 9 , nilai terendah 5, dengan nilai
rata-rata kelas sebesar 6,86
Proses pembelajaran
pada siklus I sudah menunjukkan adanya pembelajaran berbasis kontekstual,
meskipun belum semua siswa terlibat aktif dalam kegiatan pembelajaran. Hal ini
dikarenakan kegiatan yang bersifat kelompok ada anggapan bahwa prestasi maupun
nilai yang di dapat secara kelompok . Dari hasil pengamatan telah terjadi
kreatifitas dan keaktifan siswa secara mental maupun motorik, karena kegiatan
pembelajaran yang dilakukan dengan pengamatan langsung dilapangan serta perlu
kecermatan dan ketepatan. Ada interaksi antar siswa secara individu maupun
kelompok , serta antar kelompok. Masing-masing siswa ada peningkatan latihan
bertanya dan menjawab antar kelompok, sehingga terlatih ketrampilan bertanya
jawab. Terjalin kerja sama inter dan antar kelompok. Ada persaingan positif
antar kelompok mereka saling berkompetisi untuk memperoleh penghargaan dan
menunjukkan untuk jati diri pada siswa.
3. Hasil
Belajar Siklus II
Hasil belajar pada pelaksanan
tindakan siklus II dapat diketahui bahwa yang mendapatkan nilai tertinggi yaitu
10 sebanyak 2 siswa (5,40 %) yang mendapat nilai 9 sebanyak 8 siswa (21,62 %),
yang mendapat nilai 8 sebanyak 15 siswa (40,55 %), yang mendapat nilai 7
sebanyak 11 (29,73 %), sementara yang mendapat nilai terendah yaitu 6 hanya 1
siswa saja (2,70 %). Sedangkan nilai
rata-rata kelas 7,97
Berdasarkan ketuntasan belajar siswa dari sejumlah 37
siswa terdapat 36 siswa atau (97,30 % ), artinya hapir semua siswa sudah
mengalami ketuntasan belajar pada materi pecahan. Sementara sisanya 1 siswa
atau (2,70 %) belum mencapai ketuntasan.
Adapun dari Hasil nilai siklus II dapat
dijelaskan bahwa perolehan nilai tertinggi adalah 10 sedangkan nilai terendah
adalah 6, dengan nilai rata-rata kelas sebesar 7,97.
Suasana pembelajaran
pada siklus II sudah menunjukkan semua siswa terlibat
aktif dalam kegiatan pembelajaran. Peneliti
lebih banyak mengadakan bimbingan dan berkeliling melihat hasil pekerajan siswa. Dari wajah siswa terpancar mereka senang dengan
bekerja. Sikap optimis dari siswa terlihat, dari cara mereka berebut untuk menjawab pertanyaan. Pada saat
ulangan harian dilaksanakan mereka bekerja dengan tenang dan penuh percaya diri.
Pada siklus kedua ini terbukti, bahwa hasil
belajar siswa meningkat dengan
menerapkan
pembelajaran berbasis kontekstual.
BAB
V
SIMPULAN
DAN SARAN
A.
Simpulan
Berdasarkan hasil analisis data pada bab sebelumnya,
terkait dengan pengaruh pembelajaran berbasis kontekstual terhadap hasil
belajar siswa, maka diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.
Penerapan pembelajaran berbasis
kontekstual dapat meningkatkan hasil belajar matematika pada materi pecahan di
kelas IV SD Negeri 1 Aramiah Kecamatan Birem Bayeun Kabupaten Aceh Timur.
2.
Adanya peningkatan nilai rata-rata tes
hasil belajar siswa jika dibandingkan pada kondisi awal hanya sebesar 5,64
dengan ketuntasan belajar hanya mencapai 23,32 % setelah diberi tindakan nilai
rara-rata siswa pada siklus I sebesar 6,86 dengan ketuntasan belajar mencapai
62,16 %. Sedangkan pada siklus II nilai rata-rata mencapai 7,97 dengan
ketuntasan belajar mencapai 97,30 %.
3.
Penerapan pembelajaran berbasis
kontekstual dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada aspek psikomotor atau
kemampuan keterampilan proses matematika aspek, mengajukan pertanyaan,
menggunakan alat bahan dan menginterpretasi data.
B.
Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka penulis
mengajukan beberapa saran agar menjadi masukan yang berguna, diantaranya:
1.
Diharapkan para pendidik dalam kegiatan belajar
mengajar dapat memilih pendekatan pembelajaran yang tepat agar memicu semangat
dan aktifitas belajar siswa, seperti pembelajaran berbasis kontekstual yang
dapat menciptakan suasana belajar yang aktif.
2.
Diharapkan guru untuk dapat menerapkan
pembelajaran berbasis kontekstual pada materi-materi yang dianggap sesuai untuk
menggunakan pendekatan pembelajaran tersebut karena dapat meningkatkan hasil
belajar siswa.
DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas,
2006. Kurikulum KTSP Standar Kopetensi Mata
Pelajaran Matematika Untuk SD/MI, Jakarta.
Djamarah,
Syaiful Bahri.2004. Hasil Belajardan kompetensi Guru.
Surabaya: Usaha Nasional.
Mas’ud
Abdul Dahar, 2004. Pengembangan Kurikulum
dan Pembelajaran Matematika. JICA: UNIMA
Nurhadi,
2002. Pengembangan Pembelajaran
Matematika Berdasarkan Kurikulum Berbasis Kompetensi, Malang JICA IMSTEP
FPMIPA UPI.
Nurkencana.
2006. Evaluasi Hasil Belajar Mengajar. Surabaya: Usaha Nasional.
Slameto.
2005. Belajar dan Faktor-Faktor yang
Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta. font-size:100px
Suherman,
2006. Evaluasi Pembelajaran Matematika,
Bandung : JICA FPMIPA UPI.
Syamsuddin,
2003. Apa, Bagaimana dan Mengapa CTL.
Makalah disajikan pada Pelatihan
Matematika bagi Guru-Guru SD Provinsi Jabar, Bandung
http://kafeilmu.com/2011/05/definisi-pembelajaran-kontekstual-ctl.html