BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Manusia yang
memiliki kemampuan sebagai seorang pendidik dan pengajar khususnya mata
pelajaran bahasa Indonesia, sudah selayaknya mengenali dan memahami, serta
mampu untuk mengadakan suatu inovasi dan perbaikan dalam hal pembelajaran di
dalam kelas baik di kelas rendah maupun di kelas lanjutan, untuk itu ada
beberapa masalah yang perlu dicarikan solusi pemecahannya, terutama yang
berhubungan dengan kebahasaan.
Kita semua
menyadari bahwa bahasa itu penting dalam kehidupan. Dengan bahasa, kita dapat
menyampaikan keinginan, pendapat, dan perasaan kita. Dengan bahasa pula kita
dapat memahami dan mengetahui apa yang terjadi di dunia dan lingkungan sekitar
kita. Bahasa bukanlah suatu bakat yang dimiliki oleh sebagian orang saja,
tetapi setiap orang memiliki kemampuan
berbahasa.
Anak-anak telah
belajar bahasa dan menguasai bahasa lisan dengan baik jauh sebelum mereka
sekolah. Sering kita jumpai anak yang pandai bercerita dengan susunan kalimat
yang benar sehingga orang yang mendengarkannya dapat memahami jalan cerita
tersebut, ternyata anak tersebut belum bersekolah. Dalam hal ini anak-anak
tidak mempunyai kesulitan dalam belajar bahasa secara nonformal/di rumah.
Namun
ketika anak mulai sekolah dan mendapat pelajaran bahasa, keadaan menjadi
terbalik. Bahasa yang semula merupakan hal yang mudah dan mengasyikan berubah
menjadi pelajaran yang sulit (Goodman, 1986).
Sering kita dengar orang tua mengeluh tentang anaknya mendapat nilai kurang
untuk pelajaran bahasa Indonesia, sementara nilai mata pelajaran lain,
matematika misalnya, mendapat nilai yang cukup baik. Pelajaran bahasa yang
seharusnya menyenangkan dan mengasyikan ternyata jauh ari harapan. Ini
disebabkan karena di sekolah, bahasa diajarkan secara terpisah-pisah. Pada umumnya
guru mengajarkan keterampilan berbahasa dan komponen bahasa secara terpisah.
Membaca diajarkan pada jam yang berbeda dengan menulis. Demikian pula pelajaran
tentang struktur bahasa dan kosakata atau kesusasteraan. Tidak jarang kita
temui siswa yang ditugasi emembuat kalimat-kalimat lepas untuk melatih pola
kalimat tertentu. Dengan system mengajar seperti ini, siswa tidak mendapatkan
pelajaran bahasa yang utuh seperti yang mereka pelajari sebelum mereka sekolah.
Dengan
mengajarkan bahasa secara terpisah-pisah, sangat sulit untuk memotivasi siswa
belajar bahasa karena siswa melihat apa yang dipelajarinya tidak ada
hubungannya dengan kehidupan mereka. Untuk memperbaiki pengajaran bahasa, di
beberapa negara seperti Inggris, Australia, New Zealand, Kanada, dan Amerika
Serikat mulai menerapkan pendekatan Whole
Language pada sekitar tahun delapan
puluhan (Routman, 1991).
Whole Language adalah suatu pendekatan pengajaran bahasa yang
menyajikan pengajaran bahasa secara utuh, tidak terpisah-pisah (Edelsky, 1991; Froeses, 1990; Goodman, 1986;
Weaver, 1992). Para ahli Whole
Language berkenyakinan bahwa bahasa merupakan satu kesatuan (Whole) yang tidak dapat dipisah-pisahkan
(Rigg, 1991). Oleh karena itu
pengajaran keterampilan berbahsa dan komponen bahasa seperti tata bahasa dan
kosakata disajikan secara utuh bermakna dan dalam situasi nyata atau otentik.
Pengajaran tentang penghitungan tanda baca seperti koma, semi-kolon, dan kolon
misalnya, diajarkan sehubungan dengan pelajaran menulis, jangan mengajarkan
penggunaan tanda baca tersebut hanya karena materi itu tertera dalam kurikulum.
Oleh
karena itu, kemampuan dan keterampilan membaca dalam hati pada anak perlu
dipupuk dan dilatihkan sejak anak usia dini supaya tidak berdampak negatif pada
perkembangan membacanya hingga menginjak usia dewasa kelak, dengan demikian
diharapkan anak-anak melakukan kegiatan membaca itu di lingkungan rumah, di
lingkungan sekolah, di perpustakaan dan di tempat-tempat lain yang
memungkinkan: waktu menunggu sesuatu misalnya, atau dalam perjalanan di kereta
api, mereka menggunakan sebagian waktu untuk membaca, sehingga membaca itu
terutama membaca dalam hati dilakukan dalam waktu yang cukup, baik lamanya
maupun keseringanya.
Atas dasar
itulah maka penulis berkeinginan untuk mencoba menerapkan salah satu
pembelajaran membaca dalam hati dengan pendekatan menyeluruh (whole language) yang dapat membantu
meningkatkan keterampilan teknik membaca pada siswa kelas v semester I
SDN 2 Rantau Selamat melalui Penelitian Tindakan Kelas yang berjudul: “Meningkatkan
Hasil Belajar Bahasa Indonesia Aspek Keterampilan Membaca Dalam Hati
Melalui Pendekatan Whole Language Pada Siswa Kelas V Semester I SD Negeri 2 Rantau
Selamat”. Dengan
harapan siswa dapat memperoleh
informasi dari suatu bacaan dengan memahami ini bahan secara tepat dan cermat,
karena keterampilan membaca dalam hati merupakan kunci bagi semua ilmu
pengetahuan.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan pada
latar belakang masalah di atas, dapat dikemukakan rumusan masalah yang akan
dipecahkan melalui penelitian tindakan kelas ini sebagai berikut: “Apakah Melalui
Pendekatan Whole Language Dapat Meningkatkan Hasil Belajar Bahasa
Indonesia Aspek Membaca Dalam
Hati Pada Siswa Kelas V
Semeter I SD
Negeri 2 Rantau Selamat ?
C.
Tujuan Penelitian
1.
Tujuan
Umum
Penelitian ini bertujuan meningkatkan kualitas membaca siswa pada pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah
dasar melalui pendekatan Whole Language.
2.
Tujuan
Khusus
a. Melalui penelitian tindakan kelas ini
diharapkan terjadinya peningkatan hasil belajar Bahasa Indonesia melalui
penggunaan metode pendekatan Whole
Language pada siswa kelas
V SD Negeri 2 Rantau Selamat Kecamatan Rantau Selamat Kabupaten Aceh Timur.
b. Untuk
memberikan kontribusi pada strategi pembelajaran Bahasa Indonesia berupa perubahan
paradigma pembelajaran yang tidak hanya mementingkan hasil pembelajarannya saja
tetapi juga mementingkan prosesnya.
D.
Manfaat
Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a.
Mendapatkan teori-teri baru tentang peningkatan hasil
belajar Bahasa Indonesia membaca dalam hati dengan
pendekatan Whole Language.
b.
Penelitian ini merupakan dasar bagi penelitian
selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis hasil penelitian tindakan kelas ini diharapkan bermanfaat bagi:
a. Bagi
siswa SD, hasil penelitian ini akan bermanfaat bagi siswa yang bermasalah, juga
dapat meningkatkan motivasi belajar siswa dan
akhirnya prestasi belajar siswa meningkat.
b. Bagi
guru, merupakan salah satu langkah untuk mengetahui strategi pembelajaran bahasa Indonesia yang relevan, sehingga
permasalahan-permasalahan yang timbul dapat dikurangi.
c. Bagi
peneliti, diharapkan dapat memperluas wawasan tentang pemecahan masalah membaca dalam pembelajaran bahasa Indonesia
d. Bagi
sekolah sebagai masukan dalam rangka pengektifan proses belajar mengajar dan
kualitas pembelajaran di kelas.
.
BAB II
LANDASAN
TEORI DAN PENGAJUAN HIPOTESIS
A.
Landasan
Teori
1.
Hakekat Membaca
Membaca merupakan salah satu
keterampilan berbahasa, selain menyimak, mewicara dan menulis. Dalam membaca
seseorang dituntut untuk berinteraksi melalui teks (tulisan). Dengan membaca
seseorang dapat memperoleh pesan yang dituliskan dalam sistem tanda baca (graphonic knowledge). Apabila seseorang
tidak memiliki keterampilan membaca yang memadai, hampir dipastikan ia tidak
mampu berkomunikasi melalui teks, apabila itu dihubungkan dengan tuntutan
kehidupan saat ini, tentu orang tersebut akan mendapatkan hambatan dalam
memperoleh pesan (informasi) yang disampaikan melalui teks atau tulisan.
Membaca adalah interaksi dengan
bahasa yang sudah dialihkan kodekan dalam tulisan (teks). Menurut Ellis (1989), Reasing is the visual receptive component of communication. It is the
process of deriving meaning from the written worg. Children use their total
language ability when they read. Anak-anak menggunakan seluruh kemampuan
bahasa mereka bahasa mereka pada saat membaca. Hal itu dilakukan anak untuk
mengolah pesan yang terdapat dalam tulisan. Oleh karena itu, anak harus
memiliki keterampilan reseptif visual dalam
membaca.
Pembelajaran membaca adalah
suatu kegiatan peningkatan kemampuan siswa dalam keterampilan membaca. Menurut Heilman (1977) dalam Buku; “Principles And Practive of Teaching Reading.
Reading is interacting with language that has been coded into print”.
Membaca adalah interaksi dengan bahasa yang sudah dialih kodekan dalam tulisan.
Apabila seseorang dapat berinteraksi dengan bahasa yang sudah dikodekan dalam
tulisan. Apabila seseorang dapat berinteraksi dengan bahasa yang sudah
dikodekan dalam tulisan, orang tersebut dipandang memiliki keterampilan
membaca. Apabila itu dihubungkan dengan siswa di Sekolah Dasar, berarti tujuan
pembelajaran membaca adalah agar siswa memiliki keterampilan berinteraksi
dengan bahasa yang dialihkan kodekan dalam tulisan.
Menurut Nuttall, (1982) mengartikan membaca sebagai upaya menggali
informasi dari berbagai jenis teks, sesuai dengan tujuan membaca. Berupa
keterampilan-keterampilan mengenai kata dan keterampilan memanfaatkan teks itu
sendiri. Keterampilan menangani kata yang dimaksud tersebut adalah keterampilan
memanfaatkan konteks mulai dari berbagai pemakaian morfologis lingkungan kata
yang lazim disebut konteks, sampai dengna memanfaatkan konteks luar bahasa
untuk memahami makna dan nilai yang terdapat dalam teks.
Dari pandang di atas dapat
dinyatakan bahwa membaca dapat merupakan proses pengolahan bacaan atau teks
untuk menggali informasi yang terdapat dalam teks. Kegiatan membaca melibatkan
komponen kebahasaan, gagasan, nada, gaya, serta yang termasuk dalam kategori
konteks dan komponen konteks yang berada di luar komponen kebahasaan.
Adapun
pengertian membaca menurut Aminudun (2000 : 15) adalah “membaca sebagai
kegiatan memberikan reaksi karena dalam membaca seseorang terlebih dahulu
melaksanakan pengamatan terhadap huruf sebagai representasi bunyi ujaran maupun
tanda penulisan lainnya”.
Membaca merupakan aktivitas (kegiatan) memahami bahasa
tulis (teks). Ada 2 (dua) aktivitas oleh pembaca, yakni: Membaca sebagai proses
mengacu pada kegiatan fisik dan mental. Adapaun membaca sebagai produk mengacu
pada konsekuensi dari kegiatan yang dilakukan pada saat proses membaca,
misalnya pembaca menjadi mengetahui bahwa peningkatan keterampilan membaca itu
penting, atau setelah dia membaca berita pada koran, dia jadi mengetahui bahwa
landasan untuk pendaratan helicopter George
Bush di bangun dengan dana yang tidak sedikit meskipun itu tidak jadi
digunakan untuk pendaratan.
Menurut Harsiati (1994) menjelaskan ada tiga tahap
kegiatan yang dilakukan pembaca saat berinteraksi dengan penulis melalui teks.
Tahap-tahap itu adalah: (1) kegiatan pembaca sebelum membaca, (2) kegiatan
membaca dalam proses membaca, dan (3) kegiatan pembaca setelah membaca. Dari
masing-masing tahap, pembaca melakukan kegiatan yang berbeda-beda. Perbedaan
tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Tahap
sebelum membaca,
Kegiatan pembawa pada saat ini adalah:
a.
Pembaca
menggunakan pengetahuan (skemata)
topik, bahasa yang digunakan dalam teks, system tanda baca (grphonic knowledge) serta pola
retorik/struktur teks,
b.
Pembaca
sudah memiliki “bekal” untuk membaca, pengalaman membaca sebelumnya, penyajian
teks, tujuan membaca dan sasaran (focus)
untuk membaca.
2.
Tahap
dalam proses membaca,
Kegiatan pembaca pada tahap ini adalah melakukan kegiatan
(a) skiming dan scanning, (b) pencarian pengertian, (c) peramalan implikatur, (d)
pemaknaan kembali (rereading), (e)
pengujian hipotesis, dan (f) penyusunan kembali (melanjutkan) hasil bacaan.
3.
Tahap
setelah membaca,
Kegiatan pembaca pada tahap ini adalah pembaca (a)
merespons dalam berbagai cara (membicarakan, menuliskan, atau mengerjakan), (b)
merefleksi berdasarkan apa yang dibaca, (c) merasa sukses dan ingin membaca
lagi, dan (d) mengkreasikan apa yang dibaca.
Di sekolah dasar dikenal dua penggolongan besar bagi
pelajaran membaca, yakni: membaca permulaan, karena harus dilakukan di kelas I
dan kelas II) dan membaca lanjutan. Karena “membaca lanjutan” ini dilakukan
sejak kelas II Sekolah Dasar, maka bagian inilah yang akan diuraikan di sini.
Membaca lanjutkan dibedakan dalam:
1.
Membaca
teknik,
2.
Membaca
dalam hati,
3.
Membaca
cepat dan,
4.
Membaca
“bahasa”.
Adapun bahan untuk “membaca dalam hati” hendaknya dipilih
bahan baru maka untuk pelajaran “membaca cepat” hendaknya diberikan bahan
bacaan, yang sudah pernah dibaca oleh siswa. Tujuan yang hendak dicapai, ialah
“melatih mata siswa untuk secepat-cepatnya bergerak (ketika membaca) sambil
“menjangkau” sebanyak-banyaknya perkataan yang hendak dibaca itu”. Itulah
sebabnya maka diusahakan supaya kecepatan dan kemampuan mata jangan dihambat
perkembangannya dengan bahan yang belum dipahami siswa.
2.
Membaca
Dalam Hati
Membaca dalam
hati sebenarnya merupakan kegiatan membaca untuk orang dewasa. Di Sekolah Dasar
jenis membaca dalam hati belum dapat diberikan secara mutlak baru bersifat
pelatih. Pembelajaran membaca dalam hati di Sekolah Dasar bertujuan untuk
mendapatkan informasi dari suatu bacaan dengan memahami isi bacan secara tepat
dan cermat.
Untuk
mencapai sasaran membaca dalam hati siswa-siswa Sekolah Dasar hendaknya
menguasai keterampilan-keterampilan sebagai berikut: membaca tidak bersuara,
membaca tanpa disertai gerakan-gerakan anggota badan, membaca tidak merisaukan
isinya meskipun tidak cocok, berkonsentrasi fisik dan mental, dapat
mengungkapakan kembali isi bacaaan.
Adapun bahan
bacaan membaca dalam hati adalah dapat berupa koran, majalah, buku rujukan atau
bahan kepustakaan. Bahan bacaan membaca dalam hati sebaiknya bukan bahan yang
diambil dari buku paket, sebab kemungkinan ada diantara siswa yang sudah pernah
membaca bahan tersebut.
Jadi bahan
bacaan membaca dalam hati haruslah berupa bahan baru yaitu bahan yang belum
pernah diberikan secara resmi kepada siswa. Selain itu dalam suatu pelajaran
siswa dapat disuruh membacanya, tetapi dapat juga sebagian. Ketika siswa
melakukan membaca dalam hati, hendaknya guru pun turut juga membaca
pelajarannya dalam hati. Maksudnya ialah supaya guru dapat mengira-ngira
bebrapa waktu yang diperlukan siswa membaca bacaan itu. Guru pada umumnya 1,5
kali lebih cepat membaca dari pada muridnya. Kalau dia dapat menyelesaikan
bacaan itu dalam 4 menit, maka kiranya siswanya memerlukan rata-rata 6 menit.
Tarigan (1984:30)
berpendapat bahwa “membaca dalam hati secara garis besar menjadi dua bagian
yaitu membaca ekstensif dan membaca intensif”.
Membaca
ekstensif berarti membaca secara luas suatu teks dalam waktu yang sesingkat
mungkin, kegiatan membaca ekstensif adalah kegiatan membaca untuk memahami isi
yang penting dengan cepat dan efisien dalam suatu bacaan. Kegiatan membaca
ekstensif meliputi: membaca survey, membaca seluas dan membaca dangkal (Broughton et.al). dalam Tarigan,
(1984:35).
Menurut Brooks dalam Tarigan (1984:35)
Membaca
intensif adalah “Stdi seksama, telaah isi, dan penanganan terperinci yang
dilaksanakan di dalam kelas terhadap suatu tugas yang pendek dua sampai empat
halaman setiap hari. Kegiatan membaca intensif meliputi: membaca telaah isi,
dan membaca telaah bahasa.
Penulis dapat
mengungkapkan bahwa anak tersebut belajar secara terpisah untuk membaca,
menulis, mendengar, dan berbicara. Padahal apabila kita cermati secara seksama
pembelajaran bahasa adalah menyeluruh. Artinya bila anak tersebut belajar
membaca maka secara tidak langsung anak tersebut belajar mendengarkan,
berbicara serta menulis. Pembelajaran bahasa yang dipaket dalam satu kemasan
dengan memusat pada satu tema adalah pembelajaran yang menarik bagi siswa.
Model pembelajaran tersebut dikenal dengan Model Whole Language Approachi.
Whole
Language Approachi adalah suatu pendekatan terhadap
pembelajaran bahasa secara utuh. Artinya dalam pengajaran bahasa kita
mengajarkannya kontekstual, logis, kronologis, dan komunikatif serta menggunakan
setting yang riil dan bermakna. Pendekatan Whole
Language Approachi terdapat hubungan yang intraktif antara mendengar,
berbicara, membaca, dan menulis. Belajar bahasa harus terinteraksi ke dalam
bahan terpisah dari semua aspek kurikulum. Artinya pembelajaran bahasa yang
terpadu dengan perkembangan motorik, social, emosional, dan kognitif juga
pengalaman anak, media, dan lingkunan anak, media, dan lingkungan anak.
Rusyana
(2004:35) mengatakan bahwa “pada waktu seseorang berkomunikasi dengan
menggunakan bahasa, ia memaknai keterampilan berbahasa, ia memaknai
keterampilan berbahasa berupa berbicara, mendengarkan, menulis dan membaca”.
Dalam
berkomunikasi pembicara berpasangan dengan pendengar dan terjadi pergantian
peran bolak-balik. Pada waktu berkomuniksi dengan bahasa terjadi pula
penggunaan keterampilan yang beragam, baik dalam pasangan maupun dalam
urutannya seperti:
Melalui
pendekatan Whole Language Approach kemampuan
dan keterampilan anak dalam berbicara, mendengar, membaca, menulis, dapat
dikembangkan secara operasional dan menyeluruh. Yang dimaksud keterampilan
berbahasa, mendengar, berbicara, membaca, menulis akan diuraikan dibawah ini.
Kemampuan
mendengar meliputi: kemampuan untuk meramalkan dan memahami apa yang didengar,
kemampuan untuk membedakan suara-suara yang dideangarnya, kemampuan untuk
menggabungkan suara-suara/kata-kata dengan pengalaman, objek, ide atau
perasaan, kemampuan mengenal dan membuat kata-kata dari irama yang berupa
sajak-sajak.
Berbicara, anak
belajar berbicara dengan cara berinteraksi dengan lingkungannya. Selain itu
lingkungan memberikan pelajaran pula terhadap tingkah laku, ekspresi, dan
penambahan pembendaharaan kata. Kemampuan berbicara dipengaruhi oleh
perkembangan anak. Anak usia TK membutuhkan perbaikan dan pengembangan untuk
berbicara. Oleh karena itu, guru harus menghargai dan menerima bahasa anak dan
memberikan contoh sehingga pendengar yang baik. Mendengar dan berbicara adalah
hal yang tidak dipisahkan oleh karena itu banyak cara yang dapat diterapkan.
Membaca
adalah menterjemahkan symbol ke dalam suara yang dikombinasi dengan kata-kata,
sehingga kita dapat belajar memahaminya dan kita dapat membuat catalog. Belajar
membaca adalah suatu perkembangan yang alami apabila anak mempunyai banyak
pengalaman menyenangkan dengan membaca, memahami bahwa ide-ide dan kejadian
penting waktunya di rekam dalam cetakan, memahami orang lain dapat membagi
pengalamannya melalui cetakan dan mereka
dapat membagi pengalaman dengan orang lain, senang dengan ide-ide dari suatu
teks dan bahasa yang bermain ide-ide dari suatu teks dan bahasa tersebut
diekspresikan. Bahan untuk membaca awal harus sesuai dengan bahasa dan
pengalaman anak. Belajar membaca terjadi ketika anak menulis, mengamati,
berpikir, berkata, bermain, bekerja, membaca, mendengarkan dengan anak lain.
Menulis
memerlukan kemampuan motorik halus, koordinasi mata dan tangan cara memegang
peralatan menulis, cara dasar penulisan persepsi huruf dan bahasa cetak. Ada empat tahapan
perkembangan menulis yaitu tahap pertama, anak belajar bahwa huruf-huruf itu
membentuk kata-kata untuk keperluan berkomunikasi, anak tetap saja menulis
sekalipun orang tua menganggapnya main-main, sebab hal ini merupakan upaya
anak-anak untuk berkomunikasi melalui tulisan sekalipun tidak dipahami orang
lain. Tahap kedua, anak mulai memahami huruf, bunyi dengan konsonan dalam
posisinya sebuah kata. Pembaca dapat memahaminya apabila anak membacakan apa
yang telah dia tulis. Tahap ketiga, anak mulai mengeja bunyi kata menurut
struktur kata. Tahap keempat, periode transisi dimana anak mulai mengikuti
aturan-aturan bagi standar ejaan. Setelah itu anak akan mendemonstrasikan
pengetahuuannya tentang ketatabahasaan dan standar ejaan.
3.
Pendekatan Whole Language
Pendekatan Whole Language merupakan salah satu
pendekataan pembelajaran bahasa yang mulai diperkenalkan di Indonesia. Keampuhan pendekataan
ini telah banyak dibuktikan oleh beberapa negara yang menggunakan di kelas.
Menurut Brenner (1990) berpendapat bahwa Whole Language adalah cara mengajarkan
prapembaca, membaca dan keterampilan bahasa lainnya melalui keseluruhan proses
yang melibatkan bahasa, menulis, berbicara, mendengarkan cerita, mengarang
cerita karya seni, bermain drama, maupun melalui cara-cara yang lebih
tradisional.
Berdasarkan
pendapat tokoh di atas, maka pembelajaran bahasa berdasarkan pendekatan bahasa
menyeluruh mempunyai ciri-ciri: menyeluruh (Whole/Cooperative
Eksperances), bermakna (Meaningfull),
berfungsi (Function), alamiah (Natural / Authentic),
Pendekatan Whole Language adalah suatu pendekatan
untuk mengembangkan pengajaran bahasa yang dilaksanakan secara menyeluruh,
meliputi: mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Keterampilan tersebut
memiliki hubungan yang interaktif yang tidak terpisah-pisah dengan aspek
kebahasaan: fonem, kata, ejaan, kalimat, wacana, dan sastra. Disamping itu
pendekatan ini juga mementingkan multimedia, lingkungan, dan pengalaman belajar
anak.
Pendekatan Whole Language juga merupakan sebagai
sebuah pandangan terhadap hakikat proses belajar bahasa dikembangkan
berdasarkan wawasan dan hasil penelitian dari berbagai bidang ilmu, diantaranya
pemerolehan bahasa psikolinguistik, sosiolinguistik, kognitif, psikologi
perkembangan, antropologi, dan pendidikan. Pendekatan menyeluruh dikembangkan berdasarkan
pengalaman praktis guru-guru yang telah melaksanakan pembelajaran di kelas
berdasarkan pandangan dan wawasan dari berbagai ilmu tersebut. Pendekatan
menyeluruh merupakan sinergisitas antara teori dengan praktek belajar bahasa.
Pendekatan Whole Language dalam pengajaran bahasa
menyikapi bahasa sebagai plural yang mempunyai keutuhan. Sebab itu dalam
pembelajaran bahasa harus diajarkan secara utuh, padu dan harus memiliki
pertalian secara jelas, sehingga hasil belajarnya membuahkan pengalaman belajar
dan pemahaman secara utuh dan padu. Keutuhan dan keterpaduan pengalaman belajar
secara reseptif maupun produktif, terutama dalam pembelajaran membaca. Dalam
konteks yang lebih luas juga dikenal adanya pendekatan menyangkut perencanaan
dan pembelajaran secara terpadu. Pendekatan demikian dilandasi konsepsi bahwa
pemahaman dan keterampilan yang perlu dimiliki anak antara satu dengan yang
lain seharusnya memiliki hubungan. Sebab itu berbagai materi yang mereka terima
di sekolah sebenarnya memiliki hubungan saling ketergantungan. Alasan demikian
juga diperkuat kenyataan bahwa dalam mengisi kehidupannya, anak dituntut untuk
mengembangkan kemampuan secara interdisipliner. Dua terminology yang lazim
dihubungkan dengan perencanaan dan pembelajaran terpadu adalah proses dan
produk yang dicapai anak. Dalam pembelajaran membaca, siswa dituntut untuk
memadukan proses dan produk membaca.
Pembelajaran
terpadu berisi konsepsi bahwa berbagai disiplin atau pembelajaran antara satu
dengan yang lain idealnya memiliki kesinambungan. Sebab itu isi pembelajarannya
tidak harus dibatasi secara ketat karena ditinjau dari prosses belajar dan
berpikirannya, pemahaman isi pembelajaran pada disiplin yang satu dengan
disiplin yang lain seharusnya mampu membentuk keutuhan. Bagi de Vries dan Crawford, Unlike many approaches to curriculum planning, the integrated
curriculum is inetrdiciplinary and demonstrates the interdependent nature of
the subject disciplines (de Vries and Crawford, 1989). Dengan kata lain,
pengembangan pembelajaran membaca dengan pendekatan terpadu bersifat
interdisipliner dalam menghubungkan isi pembelajaran dengan potensi siswa serta
proses pembelajaran. Hal ini menjadi salah satu pertimbangan dalam
mengembangkan pembelajaran membaca di SD.
Whole Language
adalah cara untuk menyatukan pandangan tentang bahasa, tentang pembelajaran dan
tentang orang-orang yang dimaksud adalah siswa yang terlibat dalam
pembelajaran. Dalam hal ini orang-orang yang dimaksud adalah siswa dan guru. Whole Language dimulai dengan
menumbuhkan lingkungan dimana bahasa diajarkan secara utuh dan keterampilan
bahasa (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis) diajarkan secara terpadu.
Menerapkan Whole Language memang agak
sulit karena tidak ada acuan yang benar-benar mengaturnya.
Menurut Routman (1991) dan Froese (1991) ada delapan
komponen Whole Language yaitu reading aloud, journal writing, sustained
silent reading, shared reading, shared reading,, guided reading, guided
writing, independent writing. Namun sesuai dengan definisi Whole Language yaitu pembelajaran bahasa
yang disajikan secar utuh dan tidak terpisah-pisah, maka dalam menerapkan
setiap komponen Whole Language di
kelas guru harus pula melibatkan semua unsur bahasa dalam kegiatan
pembelajaran. Adapun kedelapan komponen tersebut adalah:
a.
Reading Aloud
Reading Aloud adalah
kegiatan membaca yang dilakukan oleh guru untuk siswanya. Guru dapat
mengggunakan bacaan yang terdapat dalam buku teks atau buku cerita lainnya dan
membacakan dengan suara keras dan intonasi yang baik sehingga setiap siswa dapat
mendengarkan dan menikmati ceritanya. Kegiatan ini sangat bermanfaat terutama
jika dilakukukan di kelas rendah. Manfaat dari yang didapat dari Reading Aloud antara lain meningkatkan
keterampilan menyimak, memperkaya kosakata, meningkatkan membaca pemahaman, dan
yang tidak kalah penting adalah menumbuhkan minat baca pada siswa. Guru hanya
menggunakan waktu beberapa menit saja (10 menit) utnuk membacakan cerita.
Kegiatan ini juga membantu guru untuk mengajak siswa memasuki suasana belajar.
b.
Journal Writing
Bagi guru yang akan menerapkan whole language, menulis jurnal adalah komponen yang dapat dengan
mudah diterapkan. Jurnal merupakan sarana yang aman bagi siswa untuk
mengungkapkan perasaannya, menceritakan kejadian di sekitarnya, membeberkan
hasil belajarnya, dan menggunakan bahasa dalam bentuk tulisan.
Kita tahu banyak sebenarnya anak-anak dari berbagai
macam latar belakang memiliki banyak cerita, namun umumnya mereka tidak sadar
bahwa mereka mempunyai cerita yang menarik untuk diungkapkan. Tugas guru adalah
untuk mendorong siswa agar mau mengungkapkan cerita yang dimilikinya. Menulis
jurnal bukanlah tugas yang harus dinilai namun guru berkewajiban untuk membaca
jurnal yang ditulis anak dan memberi komentar atau respon terhadap tulisan
tersebut, sehingga ada dialog anatara guru dan siswa.
c.
Sustained Silent Reading
Komponen Whole
Language yang ketiga adalah Sustained
Silent Reading (SSR). SSR adalah kegiatan membaca dalam
hati yang dilkakukan oleh siswa. Dalam kegiatan ini siswa diberi kesempatan
untuk memilih sendiri buku atau materi yang akan dibacanya. Biarkan siswa untuk
memilih materi bacaan yang sesuai dengan kemampuannya sehingga mereka dapat
menyelesaikan membaca bacaan tersebut. Oleh karena itu guru sedapat mungkin
menyediakan bahan bacaan yang menarik dari berbagai buku atau sumber sehingga
memungkinkan siswa memilih materi bacaan. Guru dapat memberi contoh sikap
membaca dalam hati yang baik sehingga mereka dapat meningkatkan kemampuan
membaca dalam hati untuk waktu yang cukup lama. Pesan yang ingin disampaikan
kepada siswa melalui kegiatan ini adalah: membaca adalah kegiatan penting yang menyenangkan, membaca dapat dilakukan
oleh siapapun, membaca berarti kita berkomunikasi dengan pengarang buku
tersebut, siswa dapat membaca dan berkonsentrasi pada bacaanya dalam waktu yang
cukup lama, guru percaya bahwa siswa memahami apa yang mereka baca, siswa dapat
berbagi pengetahuan yang menarik dan materi yang dibacanya setelah SSR berakhir.
d.
Shared Reading
Komponen Whole
Language yang keempat adalah Shared Reading. Shared Reading ini
adalah kegaitan membaca bersama antara guru dan siswa, dimana setiap orang
mempunyai buku yang sedang dibacanya. Kegiatan ini dapat dilakukan baik di
kelas rendah maupun di kelas tinggi. Ada beberapa cara melakukan kegiatan ini
yaitu: guru membaca dan siswa
mengikutinya (untuk kelas rendah), guru membaca dan siswa menyimak sambil
melihat bacaan yang tertera pada buku, dan siswa membaca bergiliran, sambil
melihat tulisan, siswa berkesempatan untuk memperhatikan guru membaca sebagai
model, memberikan kesempatan untuk memperlihatkan keterampilan membacanya, dan siswa
yang masih kurang terampil dalam membaca mendapat contoh membaca yang benar.
e.
Guided Reading
Komponen Whole
Language yang kelima adalah guided
reading. Tidak seperti pada shared
reading, dimana guru lebih berperan sebagai model dalam membaca, dalam guided reading atau disebut juga membaca
terbimbing guru menjadi pengamat dan fasilitator. Dalam membaca terbimbing
penekanannya bukan dalam cara membaca itu sendiri tetapi lebih pada membaca
pemahaman. Dalam guided reading semua
siswa membaca dan mendiskusikan buku yang sama. Guru melemparkan pertanyaan
yang memita siswa menjawab dengan kritis, bukan sekedar pertanyanaan pemahaman.
Kegiatan ini merupakan kegiatan membaca yang penting dilakukan di kelas.
f.
Guided Writing
Komponen Whole
Language yang keenam adalah guided
wriring atau menulis terbimbing. Seperti dalam membaca terbimbing, dalam
menulis terbimbing peran guru adalah sebagai fasilitator, membantu siswa
menemukan apa yang ingin ditulisnya dan bagaimana menulisnya dengan jelas,
sistematis, dan menarik. Guru bertindak sebagai pendorong bukan pengatur,
sebagai pemberi sarana bukan pemberi petunjuk. Dalam kegiatan ini proses writing seperti memilih topik, membuat
draf, memperbaiki, dan mengedit dilakukan sendiri oleh siswa.
g.
Independent Reading
Komponen Whole Language yang ketujuh adalah independent reading. Independent reading atau membaca bebas
adalah kegiatan membaca, dimana siswa berkesempatan untuk menentukan sendiri
materi yang ingin dibacanya. Membaca bebas merupakan bagian integral dari whole language. Dalam independent reading siswa bertanggung
jawab terhadap bacan yang dipilihnya sehingga peran guru pun berubah dari
seorang pemeraksasa, model, dan pemberi tuntunan menjadi seorang pengamat,
fasilitator, dan pemberi respon.
Menurut
penelitian yang dilakukan Anderson dkk
(1988), membaca bebas yang diberikan secara rutin walaupun 10 menit sehari
dapat meningkatkan kemampuan membaca pada siswa.
Jika guru
menerapkan independent reading, maka
guru sebaiknya menyiapkan bacaan yang diperlukan untuk siswa kita. Bacaan
tersebut dapat berupa fiksi maupun nonfisik. Pada awal penerapan independent reading, guru dapat membantu
siswa memilih buku yang akan dibacanya dengan memperkenalkan buku-buku
tersebut. Misalnya guru membacakan sinopsisnya atau ringkasan buku yang
terdapat pada halaman sampul. Atau jika guru pernah membaca buku tersebut.
Dengan mengetahui sekelumit tentang cerita, siswa akan termotivasi untuk
memilih buku dan membacanya sendiri. Demikian juga ketika guru mempunyai buku
baru, sebaiknya buku tersebut diperkenalkan agar siswa dapat mempertimbangkan
untuk membaca atau tidak.
Dalam
memperkenalkan buku, sebaiknya guru juga membahas tentang pengarang dan
illustrator yang biasanya tertulis di halaman terakhir. Jika tidak ada
keterangan tertulis tentang pengarang atau illustrator, paling tidak guru dapat
menyebutkan mereka atau tambahan sedikit informasi, hal ini penting dilakukan
agar siswa sadar, bahwa sesungguhnya buku itu ditulis oleh manusia bukan mesin.
Buku yang
dibaca siswa untuk independent reading tidak selalu harus di dapat dari perpustakaan
sekolah atau kelas atau disiapkan guru. Siswa dapat saja mendapatkan buku dari
berbagai sumber seperti perpustakaan kota/kabupaten, buku-buku yang ada di
rumah, di toko buku, pinjam teman atau dari sumber lainya. Inti dari independent reading adalah membantu
siswa meningkatkan kemampuan pemahamannya, mengembangkan kosakata, melancarkan
membaca, dan secara keseluruhan memfasilitasi membaca.
h.
Independent writing
Komponen Whole
Language yang kedelapan adalah independent
writing. Independent writing atau menulis bebas bertujuan untuk
meningkatkan kemampuan menulis, meningkatkan kebiasaan menulis, dan
meningkatkan kemampuan berfikir kritis dalam menulis bebas siswa mempunyai kesempatan untuk menulis tanpa ada
intervensi dari guru. Siswa bertanggung jawab sepenuhnya dalam proses menulis.
Jenis menulis yang ditermasuk dalam independent
writing antara lain
menulis jurnal, dan menulis respon.
Menurut
Anderson (1985), mengingatkan bahwa perubahan menjadi kelas Whole Language memerlukan waktu yang
cukup lama karena perubahan harus dilakukan dengan hati-hati dan perlahan agar
menghasilkan kelas whole language yang
diinginkan.
4.
Hasil Belajar
Darmansyah
(2006:13) menyatakan bahwa hasil belajar adalah hasil penilaian terhadap
kemampuan siswa yang ditentukan dalam bentuk angka. Dari pendapat di atas dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan hasil belajar adalah hasil penilaian
terhadap kemampuan siswa setelah menjalani proses pembelajaran.
Hasil
belajar merupakan suatu prestasi yang dicapai seseorang dalam mengikuti proses
pembelajaran, dengan kata
lain hasil belajar merupakan perubahan yang terjadi dalam diri individu yang
belajar. Perubahan yang diperoleh dari hasil belajar adalah perubahan secara
menyeluruh terhadap tingkah laku yang ada pada diri individu. Hasil belajar itu
mencakup ranah kognitif, afektif dan psikomotor. Sesuai menurut Bloom yang
dikutip Djaafar (2001:83) menyatakan hasil belajar dibagi dalam tiga ranah atau
kawasan yaitu (1) Ranah Kognitif, (2) Ranah Afektif dan (3) Ranah Psikomotor.
Masing-masing
ranah menghasilkan kemampuan tertentu. Hasil belajar ranah kognitif
berorientasi kepada kemampuan “berpikir” yang mencakup kemampuan memecahkan
suatu masalah. Hasil belajar ranah afektif berhubungan dengan perasaan, emosi,
sistem nilai dan sikap hati-hati yang menunjukkan penerimaan atau penolakkan
terhadap sesuatu. Sedangkan hasil belajar ranah psikomotorik yang berhubungan
dengan anggota tubuh atau tindakan yang memerlukan koordinasi antara syaraf dan
otak.
Menurut
Gagne yang dikutip Djaafar (2001:82) hasil belajar merupakan kapabilitas atau
kemampuan yang diperoleh dari proses belajar yang dapat dikategorikan dalam
lima macam, yaitu: (1) informasi verbal, (2) keterampilan intelektual, (3)
Strategi kognitif, (4) Sikap, dan (5). Keterampilan motorik. Hasil belajar dapat
diperoleh dari interkasi siswa dengan guru atau interaksi siswa dengan
lingkungan belajarnya yang sengaja dirancang dan direncanakan guru dalam
perbuatan mengajar. Sudjana (2004 : 54) menyatakan hasil belajar yang dicapai siswa dipengaruhi oleh dua
faktor utama yaitu faktor dari dalam diri dan dari lingkungan
B.
Kerangka
Berfikir
Berdasarkan uraian landasan teori di atas fungsi pendekatan whole language dalam pembelajaran bahasa indonesia adalah untuk
meningkatkan hasil belajar bahasa Indonesia. Dengan kata lain, penggunaan pendekatan whole language dalam pembelajaran bahasa indonesia dapat memperbesar
minat dan perhatian siswa dalam membaca.

Secara skematis uraian digambarkan
kerangka pemikirannya sebagai berikut:
Menerapkan whole
language
|
|



Gambar 2.1 Skema
Kerangka Berfikir
C. Hipotesis Tindakan
Berdasarkan landasan teori dan kerangka berfikir diatas, hipotesis
tindakan yang penulis ajukan dalam penelitian ini adalah “ Diduga Melalui Pendekatan
Whole Language Dapat Meningkatkan Hasil
Belajar Bahasa Indonesia Aspek Membaca Dalam Hati Pada Siswa Kelas V Semeter I SD
Negeri 2 Rantau Selamat.”
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A.
Setting
Penelitian
1.
Waktu
Adapaun waktu
penelitian berlangsung selama lebih kurang 4 bulan yang dimulai bulan Juli sampai dengan Oktober pada semester I tahun pelajaran 2009/2010
2. Tempat
Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan di kelas V pada SD
Negeri 2 Rantau Selamat terletak di
Jalan alue Raya Desa Rantau Panjang Kecamatan Ranto Selamat Kabupaten Aceh
Timur.
B.
Subjek Penelitian
Subjek
penelitian adalah siswa kelas V dengan Jumlah siswa 25 orang yang terdiri dari 12 siswa laki laki dan 13 siswi perempuan.
C. Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber
dari;
1.
Catatan pengamatan lapangan dari observer/pengamat yang
berasal dari teman sejawat/guru
2.
Kondisi awal serta hasil tes formatif siklus I dan
siklus II
3.
Hasil wawancara
D. Teknik dan Alat Pengumpulan Data
1. Teknik Pengumpulan Data
a.
Melalui pemberian tes untuk memperoleh data mengenai
hasil belajar yang dicapai siswa setelah mengikuti pembelajaran.
b.
Melalui observasi oleh pengamat untuk memperoleh data
mengenai aktivitas guru dan siswa serta gejala-gejala yang muncul pada tingkah
laku siswa saat berlangsungnya proses pembelajaran dengan metode resitasi.
c.
Melakukan wawancara untuk mengetahui sikap dan pendapat
siswa tentang proses pembelajaran yang telah berlangsung dengan menggunakan
metode resitasi.
2. Alat Pengumpulan Data
a.
Butir soal tes siklus I dan siklus II
b.
Lembar observasi siklus Idan siklus II
c.
Panduan wawancara
E. Validasi Data
1.
Validasi hasil belajar
Validasi
hasil belajar dikenakan pada instrumen penelitian yang berupa tes. Validasi ini
meliputi validasi teoretis dan validasi empiris. Validasi teoretis artinya
mengadakan analisis instrumen yang terdiri atas tampilan tes, validitas isi dan
validitas kostruksi.
Validitas
empiris artinya analisis terhadap butir-butir tes, yang dimulai dari pembuatan
kisi-kisi soal, penulisan butir-butis soal, kunci jawaban dan kriteria
pemberian skor.
2.
Validasi proses pembelajaran
Validasi
proses pembelajaran dilakukan dengan teknik triangulasi yang meliputi yaitu
triangulasi sumber dan triangulasi metode. Triangulasi sumber dilakukan dengan
observasi terhadap subyek penelitian yaitu siswa kelas V SD Negeri 2 Rantau
Selamat Labu dan kolaborasi dengan guru kelas.
Triangulasi
metode dilakukan dengan penggunaan metode dokumentasi selain metode observasi.
Metode dokumentasi digunakan untuk memperoleh data pendukung yang diperlukan
dalam proses pembelajaran.
F. Analisis Data
Analisis
data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis dekskriptif,
yang meliputi:
- Analisis
deskriptif komparatif hasil belajar dengan cara membandingkan hasil
belajar pada siklus I dengan siklus II dan membandingkan hasil belajar
dengan indikator pada siklus I dan siklus II.
- Analisis
deskriptif kualitatif hasil observasi dengan cara membandingkan hasil
observasi dan refleksi pada siklus I dan siklus II
G. Indikator Kinerja
Kesimpulan diambil setelah peneliti melakukan proses
pembelajaran di kelas sesuai dengan materi yang diajarakan.
Adapun indikator kinerjanya adalah sebagai berikut.
1.
Apabila rata-rata keaktifan dan kerjasama siswa serta
nilai tes formatif lebih dari 7,0 (70 %), pembelajaran dapat dikatakan
berhasil.
2.
Apabila rata-rata keaktifan dan kerjasama siswa
serta nilai tes formatif kurang dari 7,0
(70 %), pembelajaran dianggap belum berhasil sehingga perlu dilakukan remedial.
3.
Nilai rata-rata adalah jumlah nilai seluruhnya dibagi
banyaknya siswa yang diteliti.
4.
Prosentase nilai rata-rata adalah jumlah nilai
seluruhnya dibagi banyaknya siswa yang diteliti dan hasilnya dikalikan seratus
persen
H. Prosedur Penelitian
Agar penelitian ini dapat mencapai sasaran dengan maksimal, maka prosedur penelitian mengacu kepada model siklus
spiral PTK Kemmis S.
and Mc. Taggart yang melalui beberapa langkah yaitu perencanaan,
pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi. Keempat langkah tersebut merupakan satu
siklus atau putaran, dimana sesudah langkah keempat, lalu kembali lagi kesatu
dan seterusnya sampai tujuan tercapai.
Siklus spiral dari tahap-tahap penelitian dilihat pada
gambar berikut.
Perencanaan
Tindakan
Oservasi
Refleksi Perencanaan yang direvisi
Tindakan
Observasi
Refleksi
Gambar 3.1. Alur
Penelitian
Langkah-langkah PTK pada
gambar di atas dapat diuraikan sebagai berikut:
- Siklus I
a.
Perencanaan
Menyediakan perangkat
penelitian meliputi:
1)
Rencana
pembelajaran yang berisikan tentang : (a). Standar Kompetensi, Kompetensi Dasar
(b). Tujuan Pembelajaran (c). Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) (d). Sumber /
Alat / Metode (e). Penilaian
2)
Lembar
Observasi murid
3)
Lembar
Kerja Siswa
b. Pelaksanaan Tindakan
1)
Membacakan
cerita sambil siswa membaca di dalam
hati
2)
Beberapa
orang siswa mengerjakan soal di papan tulis.
3)
Siswa
mengerjakan soal yang berkaitan dengan isi bacaan teks cerita
c.
Observasi
Pengamatan yang dilakukan pada
siswa dalam menggunakan metode resitasi adalah dengan menyediakan lembar
pengamatan tentang :
1)
Kegiatan
Siswa, pada :
a) Pendahuluan
Meliputi :
(1) Melengkapi alat tulis
(2) Mengerjakan PR
b) Kegiatan inti
Meliputi :
(1) Memperhatikan uraian guru
(2) Mengerjakan latihan
tepat waktu
(3)
Mengerjakan latihan dengan memahami rumus
(4) Berani bertanya
(5) Berani menjawab
pertanyaan guru
(6) Kurang memperhatikan seperti bercanda, minta
izin.
c) Penutup
Meliputi :
merangkum pelajaran.
2)
Hasil
Belajar
Observasi yang dilakukan
terhadap hasil belajar siswa adalah :
a) Mendata hasil belajar siswa yang sudah
mencapai hasil ≥ 70 dan yang
belum mencapai 70.
b) Menemukan kesulitan siswa dalam memahami
dan menyelesaikan soal cerita yang berkaitan dengan perkalian dan pembagian.
3)
Analisa
Bedasarkan kegiatan siswa dan
hasil belajar siswa, maka hasil analisa peneliti dapat digambarkan pada
refleksi.
d. Refleksi
Berkaitan dengan hasil
observasi tentang kegiatan dan hasil belajar siswa di atas maka penelitian
berkolaborasi dengan pengamat dan menetapkan :
1) Apa yang telah dicapai siswa dalam memahami
isi cerita dengan membaca teks cerita di dalam hati .
2) Apa yang belum dicapai siswa dalam
memahami memahami isi cerita dengan membaca teks cerita di dalam hati .
3) Apa yang perlu diperbaiki dalam
pembelajaran dalam siklus berikutnya.
- Siklus II
a. Perencanaan
Menyediakan
perangkat penelitian meliputi:
1) Rencana pembelajaran yang berisikan
tentang : (a). Standar Kompetensi, Kompetensi Dasar (b). Tujuan Pembelajaran
(c). Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) (d). Sumber / Alat / Metode (e). Penilaian
2) Lembar Observasi murid
3) Lembar Kerja Siswa
b. Pelaksanakan Tindakan
1) Siswa memilih bacaan yang di senangi
2) Siswa menuliskan kesimpulan tentang bacaan
yang telah dibaca dengan membaca di dalam hati
3) Siswa menceritan kembali isi teks cerita
4) Guru membimbing siswa dalam membacakan isi
teks cerita beserta kesimpulannya.
c. Observasi
Pengamatan yang dilakukan pada
siswa dalam membaca dalam hati dengan pendekatan whole language adalah dengan menyediakan lembar pengamatan tentang
:
Kegiatan Siswa, pada :
1) Pendahuluan
Meliputi : (1) Melengkapi alat tulis
(2)
Mengerjakan PR
2) Kegiatan inti
Meliputi : (1) Memperhatikan
uraian guru
(2)
Mengerjakan latihan tepat waktu
(3)
Mengerjakan latihan dengan memahami rumus
(4)
Berani bertanya
(5)
Berani menjawab pertanyaan guru
(6) Kurang memperhatikan seperti bercanda, minta
izin.
3) Penutup
Meliputi :
merangkum pelajaran.
d. Refleksi
Melalui hasil kolaborasi
peneliti dengan pengamat serta hasil observasi maka peneliti menetapkan langkah
berikutnya.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.
Deskripsi
Kondisi Awal
Proses pembelajaran sebelum
pelaksanaan tindakan kelas, guru mengajar secara konvensional. Guru cenderung menstransfer ilmu pada siswa,
sehingga siswa pasif, kurang kreatif, bahkan cenderung bosan. Disamping itu
dalam menyampaikan materi guru tanpa menggunakan metode yang tepat dan efektif
Melihat kondisi pembelajaran
yang monoton, suasana pembelajaran tampak kaku, berdampak pada nilai yang
diperoleh siswa kelas V materi membaca cerita. Hampir semua siswa belum
mencapai pada ketuntasan belajar minimal dalam mempelajari materi
tersebut. Hal ini diindikasikan pada capaian nilai hasil
belajar di bawah kriteria ketuntasan minimal (KKM) sebesar 6,5 .
Hasil belajar pada
kondisi awal dapat dilihat pada tabel
dibawah ini :
Tabel 4.1. Ketuntasan Belajar
Hasil Tes Kondisi Awal
No
|
Hasil Tes akhir
|
Jumlah
|
Presentase
|
1.
|
Siswa yang tuntas
|
5
|
20
%
|
2.
|
Siswa yang tidak tuntas
|
20
|
80
%
|
Table 4.2 Nilai Hasil Tes Kondisi Awal
No
|
Keterangan
|
Nilai
|
1
|
Nilai Tertinggi
|
70
|
2
|
Nilai Terendah
|
40
|
3
|
Jumlah Nilai
|
1410
|
4
|
Nilai
Rata-rata
|
56,2
|
Berdasarkan data pada tabel di atas, diketahui bahwa siswa kelas V yang belum
mencapai ketuntasan belajar minimum (KKM) dari 6,5 untuk materi operasi hitung
bilangan sebanyak 20 siswa ( 80 %) .Sedangkan yang telah mencapai ketuntasan hanya
5 siswa ( 20 %) , hal dapat dilihat pada
grafik dibawah ini:




Gambar 4.1. Grafik Ketuntasan Belajar
Kondisi Awal
B. Deskripsi Tindakan dan Hasil Penelitian
Siklus I
1.
Perencanaan
Perencanaan pembelajaran
siklus I terdiri dari 2 x pertemuan. Sub materi yang
dipilih adalah memahami teks. Komponen-komponen
dalam perencanaan mencakup :
a.
Waktu
Pembelajaran pada siklus I dilaksanakan 2 x pertemuan, masing-masing pertemuan dilaksanakan
dalam waktu 2 x 35 menit. Artinya
setiap RP disampaikan dalam 1 kali tatap
muka. Dengan demikian, selama siklus I terjadi 2 kali
tatap muka.
b. Tujuan Pembelajaran
Tujuan
Pembelajaran terdiri dari :
1) Tujuan pembelajaran umum yakni : Memahami
teks dengan membaca teks percakapan, membaca cepat 75 kata/menit, dan membaca
puisi
2) Tujuan pembelajaran khusus yakni siswa
dapat :
a.
Mendengarkan cerita suatu teks secara lisan
b.
Membaca teks dalam hati
c. Kegiatan belajar mengajar terbagi 4 bagian
yakni :
1) Pra KBM : Siswa membaca selama 10 menit.
2) Kegiatan awal, meliputi (a). Menyiapkan
kondisi kelas, (b) Mengambil absen, (c) Apersepsi, serta (d) Menjelaskan kegiatan yang akan dilaksanakan.
3) Kegiatan inti, meliputi (a) Guru membagikan lembaran kerja siswa, (b) guru membacakan
cerita rakyat ”Asal Usul Danau Toba”, (c) Guru mengajak siswa mendiskusikan
teks cerita rakyat ”Asal Usul Danau Toba”. (d) guru memotivasi siswa agar
terlibat aktif dalam mengerjakan soal sendiri tanpa menyontek pada temanya. Guru memberi waktu kepada siswa
untuk bertanya, (e) Mengadakan evaluasi
4) Kegiatan
penutup, meliputi (a) menyimpulkan pelajaran (b) menyampaikan pesan moral.
d. Materi Pembelajaran, Media dan Sumber
1) Materi pembelajaran adalah berdasarkan
kurikulum KTSP 2006 dan mata pelajaran Bahasa Indonesia kelas V
tentang Memahami teks
2) Media pembelajaran yang digunakan adalah : Teks Cerita
3) Buku sumber adalah: Warsidi, Edi. 2008. Bahasa Indonesia
Membuatku Cerdas untuk kelas V. Jakarta:
Depdiknas
e. LKS
LKS yang
diberikan pada siswa masing-masing terdiri dari 10 buah soal dikelas V dalam waktu 20 menit.
2.
Pelaksanaan Tindakan
a. Pelaksanaan
tatap muka
Pelaksanaan
tatap muka pada tindakan
siklus I merupakan usaha
pemberian tugas dalam membaca dalam hati yang berkaitan dengan memahami taks.
Adapun hal-hal yang dilakukan pada pelaksanaan tindakan ini adalah: (1) Secara
klasikal menjelaskan strategi yang harus dilaksanakan siswa (2) Pembentukan
kelompok berdasarkan heterogen (3) Memberikan
teks bacaan yang berisikan cerita, siswa mengerjakannya sebagai pre test. (4) Siswa memnbaca di dalam hati dengan
dibatasi waktu (5) Di akhir
jam pelajaran guru memberikan post test.
b.
Wawancara
Wawancara
dilaksanakan pada saat kegiatan tatap muka setelah selesai diskusi. Kegiatan
wawancara dilaksanakan oleh guru terhadap beberapa anggota kelompok. Wawancara
diperlukan untuk mengetahui sejauh mana perasaan siswa dalam memahami materi
operasi perkalian dan pembagian dengan
menggunakan metode resitasi. Hasil
wawancara juga digunakan sebagai bahan refleksi
- Observasi
Observasi
pada siklus I yang diamati :
a. Kegiatan Siswa
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap kegiatan siswa dapat dilihat masih ada siswa yang tidak
melengkapi alat tulisnya dan tidak membuat PR. Hanya sedikit siswa yang
memperhatikan uraian guru,
mengerjakan latihan tidak tepat
waktu, mengerjakan latihan dengan tidak memahami rumus, tidak berani
bertanya, dan yang berani
menjawab pertanyaan masih rendah. Terdapatnya siswa yang bercanda, minta izin,
dan mengantuk.
b. Hasil Belajar
Hasil
belajar yang diamati adalah yang tuntas dan yang tidak tuntas. Untuk memperjelas data hasil tes siklus I dapat dilihat pada
tabel berikut ini:
Tabel 4.3. Ketuntasan Belajar Hasil Tes Siklus I
No
|
Hasil Tes akhir
|
Jumlah
|
Presentase
|
1.
|
Siswa yang tuntas
|
17
|
68
%
|
2.
|
Siswa yang tidak tuntas
|
8
|
32
%
|
Table 4.4 Nilai Hasil Tes Siklus I
No
|
Keterangan
|
Nilai
|
1
|
Nilai Tertinggi
|
80
|
2
|
Nilai Terendah
|
50
|
3
|
Jumlah Nilai
|
1720
|
4
|
Nilai
Rata-rata
|
68,8
|
Dari hasil
tes akhir siklus I pada tabel
diatas dapat dilihat, dari 25 orang siswa, 17 orang atau (68 % ) sudah tuntas belajarnya dan 8 orang atau (32 %) belum tuntas belajarnya. Rata-rata hasil belajar 68,8 Ketuntasan belajar siswa siklus I dapat dilihat
pada grafik dibawah ini:




Gambar 4.2. Grafik Ketuntasan Belajar
Siklus I
- Refleksi
Dari hasil
observasi dan kolaborasi peneliti dengan pengamat serta hasil tes akhir siklus
(ulangan harian ) maka disimpulkan :
1) Hasil belajar siswa pada siklus I rata-ratanya hampir mencapai standar
ketuntasan belajar.
2) Cerita yang diberikan harus lebih menarik
minat membaca siswa
3) Siswa dalam membaca kekurangan waktu.
4) Perlu diadakan tindakan berikutnya untuk
meningkatkan hasil belajar siswa tentang membaca berkaitan dengan memahami teks
dalam hal: (a) Pikiran siswa harus rileks. (b) Menumbuhkan suasana gembira
sebelum membaca (c) Membaca dengan hati tanpa mengeluarkan suara (d)
memfokuskan bacaan (e) membaca sambil membayangnkan isi bacaannya..
Berdasarkan hasil tes kemampuan pada kondisi awal dengan
hasil tes kemampuan siklus I dapat dilihat adanya pengurangan jumlah siswa yang
masih di bawah Kriteria ketuntasan Minimal. Pada kondisi awal jumlah siswa yang
dibawah KKM sebanyak 20 siswa dan pada
akhir siklus I berkurang menjadi 8 siswa.
Nilai rata-rata kelas meningkat dari 56,4 menjadi 68,8
Walaupun
sudah terjadi kenaikan seperti tersebut di atas, namun hasil tersebut belum
optimal. Hal ini dapat terlihat dari hasil observasi bahwa dalam kegiatan
pembelajaran masih terdapat beberapa siswa yang kurang aktif dalam melakukan
kegiatan pembelajaran, karena sebagian siswa belum terbiasa dengan metode
resitasi yang diterapkan oleh guru. Oleh karena itu, diperlukan upaya perbaikan
pembelajaran pada pelaksanaan tindakan siklus II.
C. Deskripsi Tindakan dan Hasil Penelitian Siklus
II
1.
Perencanaan
Perencanaan pembelajaran
siklus I terdiri dari 2 x pertemuan. Sub materi yang
dipilih adalah memahami teks. Komponen-komponen
dalam perencanaan mencakup
a. Waktu
Pembelajaran pada siklus II dilaksanakan 2 x pertemuan, masing-masing pertemuan dilaksanakan
dalam waktu 2 x 35 menit. Artinya
setiap RP disampaikan dalam 1 kali tatap
muka. Dengan demikian, selama siklus II terjadi 2 kali
tatap muka.
b. Tujuan Pembelajaran
Tujuan
pembelajaran terdiri atas :
1) Tujuan pembelajaran umum yakni: Siswa mampu
memahami teks, membaca cepat 75 kata/menit, dan membaca puisi
2) Tujuan Pembelajaran khusus yakni siswa
dapat :
a. Membacakan
teks dalam hati
b. Menceritakan
kembali teks bacaan
c. Menuliskan
karangan berupa teks dengan bahasa yang santun
c. Kegiatan Belajar Mengajar dibagi atas 4
yakni :
1) Pra KBM : Siswa menceritakan pengalamannya
dalam berbelanja makanan (jajan).
2) Kegiatan awal meliputi: (a) Menyiapkan kondisi kelas, (b)
Mengambil absen, (c) Apersepsi, serta (d) Menjelaskan tujuan dan kegiatan yang
akan dilaksanakan.
3) Kegiatan inti meliputi : (1) Memahami soal cerita dengan membaca
soal dengan baik, (2) Menentukan apa yang diketahui dalam soal cerita, (3)
Menentukan apa yang ditanya dalam soal cerita, (4) Menentukan bentuk
penyelesaian soal dalam kalimat matematika, (5) Menarik kesimpulan.
4) Kegiatan
penutup meliputi (a) menyimpulkan pelajaran (b) menyampaikan pesan moral.
d. Materi Pembelajaran
1) Materi pembelajaran tentang memahami
teks berdasarkan kurikulum KTSP
2006 dan pelajaran bahasa Indonesia kelas V.
2) Media yang digunakan adalah : teks cerita,
3) Sumber adalah :kurikulum kelas V Tahun 2006.
b. LKS
LKS adalah yang diberikan pada
siswa masing-masing terdiri dari 5 soal dengan waktu 20
menit.
2.
Pelaksanaan Tindakan
a.
Pelaksanaan Tatap Muka
Pelaksanaan
tatap muka pada tindakan
siklus II merupakan usaha
membangun pemahaman siswa terhadap memahami teks bacaan dengan membaca dalam hati dan
menceritakan kembali isi bacaannya. Adapun hal-hal yang dilakukan pada
pelaksanaan tindakan dalam soal cerita adalah: (1) Memilih bacaan yang
disenangi, (2) Membaca teks di dalam hati (3) Menuliskan kembali isi cerita (4)
menceritakan kembahli hasil bacaan yang telah dibaca.
b.
Wawancara
Wawancara
dilaksanakan pada saat siswa melakukan kegiatan pembelajaran. Wawancara
diperlukan untuk mengetahui sejauh mana kemampuan siswa dalam memahami,
memadukan dengan mata pelajaran lain. Disamping itu, wawancara digunakan untuk
mengidentifikasi kesulitan-kesulitan yang dialami oleh siswa. Hasil wawancara digunakan sebagai bahan
refleksi.
3.
Observasi
Observasi pada siklus II yang
diamati:
a. Kegiatan Siswa
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap kegiatan siswa dapat dilihat bahwa: (1)siswa sudah memahami soal yang diberikan guru dengan baik
melalui tugas-tugas yang diberikan, (2) Terjadinya peningkatan yang
sangat signifikan pada siswa dalam
mengerjakan tugas yang diberikan guru, mengerjakan LKS dengan benar, tepat
waktu, berani bertanya dan menjawab pertanyaan serta meningkatnya persentase merangkum
pelajaran, (3) Menurunnya persentase siswa yang bercanda, minta izin dan
mengantuk.
b. Hasil Belajar
Hasil
belajar siklus II yang
diamati adalah yang tuntas dan yang tidak tuntas. Untuk memperjelas data hasil tes siklus II dapat
dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 4.5. Ketuntasan Belajar
Hasil Tes Siklus II
No
|
Hasil Tes akhir
|
Jumlah
|
Presentase
|
1.
|
Siswa yang tuntas
|
23
|
92
%
|
2.
|
Siswa yang tidak tuntas
|
2
|
8
%
|
Table 4.6. Nilai Hasil
Tes Siklus II
No
|
Keterangan
|
Nilai
|
1
|
Nilai Tertinggi
|
100
|
2
|
Nilai Terendah
|
60
|
3
|
Jumlah Nilai
|
2100
|
4
|
Nilai
Rata-rata
|
84
|
Dari hasil tes siklus
II pada tabel diatas dapat dilihat,
dari 25 orang siswa, 23 orang (92 %) sudah tuntas belajarnya dan hanya 1 orang (8%) belum tuntas
belajarnya. Rata-rata hasil belajar adalah 84 Ketuntasan belajar siklus
I dapat dilihat pada grafik dibawah ini:




4.
Refleksi
Dari kolaborasi peneliti dengan pengamat, maka disimpulkan : Hasil belajar
siswa pada siklus II rata-ratanya sudah mencapai standar ketuntasan belajar.
Hal ini dikarenakan: (a) Siswa betul-betul mengerjakan tugas yang diberikan
oleh guru, (b) Siswa mengerjakan tugas ke depan kelas secara bergantian.
Hasil refleksi yang peneliti lakukan dengan pengamat, memutuskan bahwa penerapan metode resitasi dalam meningkatkan hasil belajar siswa dianggap berhasil dan berhenti pada siklus II
D.
Pembahasan Tiap Siklus Dan Antar
Siklus
Dari dua siklus yang telah
dilakukan, hasil belajar siswa sudah mencapai
ketuntasan belajar yang diharapkan. Pembelajaran Bahasa Indonesia materi
memahami teks sudah mencapai
ketuntasan yang diharapkan, yang terjadi pada siklus II. Pada kondisi awal nilai rata-rata siswa
pada pelajaran Bahasa Indonesia khususnya pada materi memahami teks sangat
rendah, hanya mencapai 56,4 dengan ketuntsan belajar hanya sebesar 20% .
Pada siklus I, terlihat bahwa dari catatan peneliti dan
pengamat suasana kelas belum begitu kondusif. Siswa banyak terlihat kurang bergairah. Hal ini terjadi karena
penelitian pada siklus I ini masih
banyak siswa yang belum bisa menjawab pertanyaan dengan baik dan benar
disamping itu siswa belum terbiasa dengan whole
language yang diterapkan pada proses pembelajaran. Peneliti sudah berusaha membangkitkan gairah
siswa dengan bertanya, menggali ide, menyuruh siswa kedepan kelas, dan
memberikan soal-soal yang lebih banyak agar siswa terlatih menyelesaikan tugas.
Hasil yang diperoleh pada siklus I ini masih kurang memuaskan karena dari 25
orang siswa, yang tuntas hanya 12 orang siswa saja (48 %) sedangkan nilai rata-rata nya hanya 64.
Berdasarkan hasil observasi
peneliti dengan pengamat atas hasil belajar siswa, maka peneliti dan pengamat
kembali merencanakan untuk melanjutkan pada tindakan siklus II dengan terlebih dahulu melakukan
perbaikan. Dengan demikian
kelemahan-kelemahan yang terjadi pada siklus I mengenai siswa yang tidak
memahami soal cerita dengan baik dapat ditindaklanjuti. Maka direncanakan pada
siklus II menggunakan dengan pendekatan whole language tipe Sustained
Silent Reading dimana siswa menceritakan hasil yang telah dibacanya. Nilai
rata-rata tes siswa mencapai 8,03.
Hal ini terlihat jelas dari siswa yang berikan hasil pekerjaannya ke depan
kelas dan saling berebutan untuk diperiksa hasil pekerjaan sehingga suasana
kelas menjadi agak bising. Peneliti lebih banyak mengadakan bimbingan dan
berkeliling melihat hasil pekerjaan siswa. Dari wajah siswa terpancar bahwa mereka
senang dengan mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru. Sikap optimis dari
siswa terlihat, dari cara mereka berebut untuk menjawab pertanyaan. Hal ini
disebabkan mereka sudah mulai paham dengan materi yang disajikan oleh peneliti.
Pada saat ulangan harian dilaksanakan mereka bekerja dengan tenang dan penuh
percaya diri, namun masih ada bebarapa orang siswa yang tidak tuntas menjawab
pertanyaan. Pada siklus II
ini terbukti, bahwa hasil belajar siswa meningkat mencapai hasil yang
diharapkan dengan menggunakan metode resitasi. Melalui metode resitasi ini
siswa dapat belajar lebih optimal melalui tugas-tugas yang diberikan oleh guru.
Supaya lebih jelas gambaran
peningkatan kegiatan siswa dan hasil belajar siswa dari kondisi awal, siklus I dan siklus II, dapat dilihat dan diperhatikan pada rekapitulasi
tabel dan grafik ketuntasan belajar di bawah ini.
Tabel 4.7 Rekapitulasi Ketuntasan
Belajar Pada Kondisi Awal, Siklus I, dan II
No
|
Hasil Tes akhir
|
Siklus
|
Presentase
|
KA
|
I
|
II
|
KA
|
I
|
II
|
1.
|
Siswa yang tuntas
|
5
|
17
|
23
|
20 %
|
68 %
|
92 %
|
2.
|
Siswa yang tidak tuntas
|
20
|
8
|
2
|
80 %
|
32 %
|
8 %
|
Table 4.8 Rekapitulasi
Nilai Rata-Rata Pada Kondisi Awal, Siklus I, dan II
No
|
Keterangan
|
Nilai
|
Kondisi Awal
|
Siklus I
|
Siklus II
|
1
|
Nilai Tertinggi
|
70
|
80
|
100
|
2
|
Nilai Terendah
|
40
|
50
|
60
|
3
|
Jumlah Nilai
|
1410
|
1720
|
2100
|
4
|
Nilai
Rata-rata
|
56,2
|
68,8
|
84
|




Gambar
4.4. Grafik Rekapitulasi Ketuntasan Belajar Kondisi Awal , Siklus I dan II
|
|
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A.
Simpulan
Berdasarkan hasil refleksi dan
pembahasan dalam penelitian tindakan kelas diatas dapat disimpulkan bahwa peningkatan
keterampilan membaca dalam hati dengan pendekatan
whole language dapat meningkatkan
hasil belajar Bahasa Indonesia materi memahami teks pada siswa kelas V SD Negeri 2 Rantau Panjang Kecamatan Rantau
Panjang Kabupatem Aceh Timur .
Keterkaitan penerapan pendekatan
whole language yang berkesinambungan,
sangat mendukung siswa untuk melatih kemampuan membaca siswa, karena dengan
membaca siswa dapat membuka jendela dunia. Pada pendekatan whole language bukan hanya membaca, melainkan menggabungkan semua
aspek dari mendengarkan, menulis dan berbicara.
Pada kondisi awal rata-rata nilai siswa sangat rendah yaitu
56,4, setelah diberi tindakan pada siklus I rata-rata hasil belajar siswa sudah mulai meningkat tetapi belum memuaskan yaitu 68,8. Pada siklus II dilakukan perbaikan-perbaikan yang
mengoptimalkan penerapan pendekatan whole
language yang betul-betul dilaksanakan oleh siswa sehingga rata-rata
hasil belajar mencapai 84.
B.
Saran
Meningkatnya hasil belajar
matematika siswa kelas V SD Negeri 2 Rantau Panjang dengan menerapkan pendekatan whole language pada pembelajaran Bahasa Indonesia materi
memahami teks, diharapkan pada siswa, agar sering
berlatih membaca yang diberikan oleh guru dengan baik. Bagi guru-guru agar dapat merancang dan
mengoptimalkan penerapan pendekatan whole
language dalam pembelajaran Bahasa Indonesia terutama dalam materi membaca..
Disamping itu, dalam upaya
meningkatkan hasil belajar dan
mutu pendidikan diharapkan agar para
orang tua dan masyarakat pro aktif
terhadap pihak sekolah demi tercapinya tujuan pendidikan nasional.