UPAYA MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR
PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM DENGAN
MENERAPKAN
MODEL PEMBELAJARAN KOLABORASI
PADA SISWA
KELAS ….
…..
…..
KARYA TULIS ILMIAH
OLEH
…….
NIP:
….
PEMERINTAHAN
….
DINAS
PENDIDIKAN
….
….
Tahun………….
LEMBAR PENGESAHAN
1. Judul : Upaya Meningkatkan Prestasi Belajar Pendidikan
Agama Islam Dengan Menerapkan Model Pengajaran kolaborasi Pada Siswa Kelas ….
2. Identitas Peneliti :
Nama : …
NIP : …
Gol/Ruang : …
Jabatan : …
Unit Kerja : …
3. Lokasi Penelitian : …
4. Lama Penelitian : ..
5. Biaya Penelitian : …
Petugas Pustaka
……..
NIP : ….
|
Peneliti
….
NIP: ….
|
Mengetahui
Kepala …
….
…..
NIP: ….
|
Karya Tulis Ilmiah hasil penelitian tindakan kelas yang
berjudul “Upaya Meningkatkan Prestasi Belajar Pendidikan Agama Islam Dengan
Menerapkan Model Pengajaran kolaborasi Pada
Siswa Kelas … ini telah disetujui dan disahkan untuk diajukan sebagai bahan
penilaian kenaikan pangkat.
Ketua
PGRI
Kabupaten
…
……
NPA.
….
Karya Tulis Ilmiah hasil penelitian tindakan kelas yang
berjudul “Upaya Meningkatkan Prestasi Belajar Pendidikan Agama Islam Dengan
Menerapkan Model Pengajaran kolaborasi Pada
Siswa Kelas … ini telah disetujui dan disahkan untuk diajukan sebagai bahan
penilaian kenaikan pangkat.
Kepala
Dinas Pendidikan
Kabupaten
…
……
NPA.
….
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur peneliti panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang selalu
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penyusunan karya ilmiah ini dapat
terselesaikan pada waktunya.
Karya ilmiah yang berjudul “Upaya
Meningkatkan Prestasi Belajar Pendidikan Agama Islam Dengan Menerapkan Model Pengajaran
kolaborasi Pada Siswa Kelas … ini,
disusun untuk memenuhi persyaratan kenaikan golongan profesi guru dari IV/a ke
IV/b.
Dalam penyusunan dan penyelesaian
karya ilmiah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu
pada kesempatan ini peneliti mengucapkan terima kasih yang tak terhingga
kepada:
- Yth. Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten …
- Yth. Ketua PGRI Kabupaten …
- Yth. Rekan-rekan Guru …
- Semua pihak yang telah banyak membantu sehingga
penulisan ini selesai
Peneliti menyadari bahwa
hasil penelitian ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran
yang bersifat membangun sangat peneliti harapkan demi kesempurnaan penelitian
ini dan demi penelitian yang akan datang.
…,
Peneliti
ABSTRAK
……………..,2006. “Upaya Meningkatkan Prestasi Belajar
Pendidikan Agama Islam Dengan Menerapkan Model Pengajaran kolaborasi pada siswa-siswi kelas …………………………….tahun……………”
Kata Kunci : PAI , Model
Pengajaran Kolaborasi
Dalam proses pembelajaran yang
menyangkut materi, metode, media alat peraga dan sebagainya harus juga
mengalami perubahan kearah pembaharuan (
inovasi). Dengan adanya inovasi tersebut diatas dituntut seorang guru untuk
lebih kreatif dan inovatif, terutama
dalam menentukan model dan metode yang tepat akan sangat menentukan
keberhasilan siswa terutama pembentukan kecakapan hidup ( life skill) siswa yang berpijak pada lingkungan sekitar.
Penelitian ini berdasarkan
permasalahan (a) Bagaimanakah peningkatan
prestasi belajar PAI dengan
diterapkannya model pengajaran kolaborasi pada siswa kelas………………… tahun pelajaran……………..(
b) Bagaimanakah pengaruh Model pengajaran kolaborasi terhadap motivasi belajar
PAI pada siswa kelas…………………. Tahun
pelajaran………….
Sedangkan tujuan dari penelitian ini
adalah (a) ingin mengetahui peningkatan prestasi belajar PAI setelah diterapkannya model pengajaran kolaborasi (b) Ingin mengetahui
pengaruh motivasi belajar PAI setelah
diterapkan model pengajaran kolaborasi.
Penelitian ini menggunakan
penelitian tindakan (action research) sebanyak tiga putaran. Setiap putaran terdiri
dari empat tahap yaitu : rancanan,
kegiatan dan pengamatan, refleksi dan refisi. Sasaran penelitian ini adalah
siswa kelas ………………………………………. Tahun
pelajaran…………………….. Data yang diperoleh berupa hasil tes formatif, lembar
observasi kegiatan belajar mengajar.
Dari hasil analis didapatkan bahwa
prestasi belajar siswa mengalami peningkatan dari siklus I sampai siklus III
yaitu, siklus I (73,17%), siklus II (82,93%), siklus III (95,12%)
Simpulan dari penelitian ini adalah metode pembelajaran
kooperatif dapat berpengaruh positif terhadap prestasi dan motivasi belajar
siswa………………………………………………… serta model pembelajarasn ini dapat digunakan sebagai salah satu
alternative pembelajaran PAI
DAFTAR
ISI
Halaman
Halaman Judul ..........................................................................................................
Lembar
Pengesahan ..................................................................................................
Kata
Pengantar .........................................................................................................
Abstrak
.....................................................................................................................
Daftar
Isi ...................................................................................................................
Daftar
Lampiran .......................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
.................................................................................
A.
Latar Belakang Masalah ...................................................................
B.
Rumusan Masalah .............................................................................
C.
Tujuan Penelitian ..............................................................................
D.
Kegunaan Penelitian .........................................................................
E.
Definisi Operasional Variabel ..................................................
F.
Batasan Masalah ......................................................................
BAB II KAJIAN
PUSTAKA ....................................................................
A.
Definisi Pembelajaran...............................................................
B.
Gaya
Belajar.............................................................................
C.
Sisi Sosial Proses Belajar..........................................................
D.
Motivasi Belajar........................................................................
E.
Meningkatkan Motivasi Belajar PAI Pada
Siswa
BAB III METODOLOGI
PENELITIAN ...................................................
A.
Tempat, Waktu, dan Subyek Penelitian ..................................
B.
Rancangan Penelitian ..............................................................
C.
Alat Pengumpul Data ..............................................................
D.
Analisis Data ...........................................................................
BAB IV HASIL
PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ..........................
A.
Hubungan Pembelajaran Model Kolaborasi Dengan
Ketuntasan Belajar ..................................................................
B.
Pembahasan .............................................................................
BAB V SIMPULAN
DAN SARAN .........................................................
A.
Simpulan ..................................................................................
B.
Saran ........................................................................................
DAFTAR
PUSTAKA .....................................................................................
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
Halaman
Lampiran
1 Nilai Formatif Pada Siklus I ..................................................................
Lampiran
1 Nilai Formatif Pada Siklus II .......................................................
Lampiran
1 Nilai Formatif Pada Siklus III ...............................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam
kegiatan belajar mengajar yang berlangsung telah terjadi interaksi yang
bertujuan. Guru dan anak didiklah yang menggerakannya. Interaksi yang bertujuan
itu disebabkan gurulah yang memaknainya dengan menciptakan lingkungan yang
bernilai edukatif demi kepentingan anak didik dalam belajar. Guru ingin
memberikan layanan yang terbaik bagi anak didik, dengan menyediakan lingkungan
yang menyenangkan dan menggairahkan. Guru berusaha menjadi pembimbing yang baik
dengan peranan yang arif dan bijaksana, sehingga tercipta hubungan dua arah
yang harmonis antara guru dengan anak didik.
Ketika
kegiatan belajar itu berproses, guru harus dengan ikhlas dalam bersikap dan
berbuat, serta mau memahami anak didiknya dengan segala konsekuensinya. Semua
kendala yang terjadi dan dapat menjadi penghambat jalannya proses belajar
mengajar, baik yang berpangkal dari perilaku anak didik maupun yang bersumber
dari luar anak didik, harus guru hilangkan, dan bukan membiarkannya. Karena
keberhasilan belajar mengajar lebih banyak ditentukan oleh guru dalam mengelola
kelas.
Dalam
mengajar, guru harus pandai menggunakan pendekatan secara arif dan bijaksana,
bukan sembarangan yang bisa merugikan anak didik. Pandangan guru terhadap anak
didik akan menentukan sikap dan perbuatan. Setiap guru tidak selalu mempunyai
pandangan yang sama dalam menilai anak didik. Hal ini akan mempengaruhi
pendekatan yang guru ambil dalam pengajaran.
Guru
yang memandang anak didik sebagai pribadi yang berbeda dengan anak didik
lainnya akan berbeda dengan guru yang memandang anak didik sebagai makhluk yang
sama dan tidak ada perbedaan dalam segala hal. Maka adalah penting meluruskan
pandangan yang keliru dalam menilai anak didik. Sebaiknya guru memandang anak
didik sebagai individu dengan segala perbedaannya, sehingga mudah melakukan
pendekatan dalam pengajaran.
Kualitas
pembelajaran ditentukan oleh interaksi komponen-komponen dalam sistemnya. Yaitu
tujuan, bahan ajar (materi), anak didik, sarana, media, metode, partisipasi
masyarakat, performance sekolah, dan evaluasi pembelajaran (Moh, Shochib,
1998). Performance sekolah, dan evaluasi pembelajaran (Moh, Shochib, 1998).
Optimalisasi komponen ini, menentukan kualitas (proses dan produk)
pembelajaran. Upaya yang dapat dilakukan oleh pendidik adalah melakukan
analisis tentang karakteristik setiap komponen dan mensinkronisasikan sehingga ditemukan
konsistensi dan keserasian di antaranya untuk tercapainya tujuan pembelajaran.
Karena pembelajaran mulai dari perencana, pelaksanaan dan evaluasinya
senantiasa merujuk pada tujuan yang diharapkan untuk dikuasai atau dimiliki
oleh anak didik baik instructional effect (sesuai dengan tujuan yang
dirancang) maupun nurturrant effect (dampak pengiring) (Moch. Shochib:
1999).
Realisasi
pencapaian tujuan tersebut, terdapat kegiatan interaksi belajar mengajar
terutama yang terjadi di kelas. Dengan demikian, kegiatannya adalah bagaimana
terjadi hubungan antara guru/bahan ajar yang didesain dan dengan anak didik.
Interaksi ini merupakan proses komunikasi penyampaian pesan pembelajaran. Hal
ini sejalan dengan yang dikemukakan Arief S Sadiman yang menyatakan proses
belajar mengajar pada hakekatnya adalah proses interaksi yaitu proses
penyampaian pesan melalui saluran media/teknik/ metode ke penerima pesan.
(Arief S, Sadiman, dkk, 1996:13).
Sejalan
dengan inovasi pembelajaran akhir-akhir ini termasuk di Sekolah Dasar, yaitu: Kolaborasi.
Interaksi belajar mengajarnya menuntut anak didik untuk aktif, kreatif dan
senang yang melibatkan secara optimal mental dan fisik mereka. Tingkat
keaktifan, kreatifitas, dan kesenangan mereka dalam belajar merupakan rentangan
kontinum dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi. Tetapi idealnya
pada kontinum yang tertinggi baik pelibatan aspek mental maupun fisik anak
didik. Oleh karena itu, interaksi belajar mengajar dengan paradigma Kolaborasi menuntut
anak:
(1)
Berbuat
(2)
Terlibat dalam kegiatan
(3)
Mengamati secara visual
(4)
Mencerap informasi secara verbal
Dengan
demikian, interaksi belajar mengajar idealnya mampu membelajarkan anak didik
berdasarkan problem based learning, authentic instruction, inquiry based
learning, project based learning, service learning, and cooperative learning.
Pola interaksi yang mampu mengemas hal tersebut dapat mengubah paradigma
pembelajaran aktif menjadi paradigma pembelajaran reflektif.
Dengan
interaksi pembelajaran reflektif dapat membuat anak didik untuk menjadikan
hasil belajar sebagai referensi refleksi kritis tentang dampak ilmu pengetahuan
dan teknologi terhadap masyarakat; mengasah kepedulian sosial, mengasah hati
nurani, dan bertanggungjawab terhadap karirnya kelak. Kemampuan ini dimiliki anak
didik, karena dengan pola interaksi pembelajaran tersebut, dapat membuat anak
didik aktif dalam berfikir (mind-on), aktif dalam berbuat (hand-on),
mengembangkan kemampuan bertanya, mengembangkan kemampuan berkomunikasi, dan
membudayakan untuk memecahkan permasalahan baik secara personal maupun sosial.
Agar
hasil ini dapat optimal, guru dituntut untuk mengubah peran dan fungsinya
menjadi fasilitator, mediator, mitra belajar anak didik, dan evaluator. Ini
berarti, guru harus menciptakan interaksi pembelajaran yang demokratis dan
dialogis antara guru dengan anak didik, dan anak didik dengan anak didik (Moh.
Shochib: 1999; dan Paul Suparno dkk: 2001).
Dengan
interaksi pembelajaran yang mengemas nilai-nilai tersebut dapat membuat
pembelajaran lingking (link and math atau life skill) dan delinking
(pemutusan lingkungan negatif), diversifikasi kurikulum, pembelajaran
kontekstual, kurikulum berbasis kompetensi, dan otonomi pendidikan pada tingkat
sekolah taman kanak-kanak dengan manajemen berbasis sekolah, dan bertujuan
untuk mengupayakan fondasi dan mengembangkan anak untuk memiliki kemampuan yang
utuh yang disebut: Pendidikan Anak Seutuhnya (PAS).
Pada
dasarnya dalam kehidupan suatu bangsa, faktor pendidikan mempunyai peranan yang
sangat penting untuk menjamin perkembangan dan kelangsungan hidup bangsa
tersebut. Secara langsung maupun tidak langsung pendidikan adalah suatu usaha
sadar dalam menyiapkan pertumbuhan dan perkembangan anak melalui kegiatan,
bimbingan, pengajaran dan pelatihan bagi kehidupan dimasa yang akan datang.
Tentunya hal ini merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, anggota
masyarakat dan orang tua. Untuk mencapai keberhasilan ini perlu dukungan dan
partisipasi aktif yang bersifat terus menerus dari semua pihak.
Guru
mengemban tugas yang berat untuk tercapainya tujuan pendidikan nasional yaitu
meningkatkan kualitas manusia Indonesia, manusia seutuhnya yang beriman dan
bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian,
berdisiplin, bekerja keras, tangguh, bertanggung jawab, mandiri, cerdas dan
terampil serta sehat jasmani dan rohani, juga harus mampu menumbuhkan dan
memperdalam rasa cinta terhadap tanah air, mempertebal semangat kebangsaan dan
rasa kesetiakawanan sosial. Sejalan dengan itu pendidikan nasional akan mampu
mewujudkan manusia-manusia pembangunan dan membangun dirinya sendiri serta
bertanggung jawab atas pembangunan bangsa. Depdikbud (1999).
Berhasilnya
tujuan pembelajaran ditentukan oleh banyak faktor diantaranya adalah faktor
guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar, karena guru secara langsung
dapat mempengaruhi, membina dan meningkatkan kecerdasan serta keterampilan
siswa. Untuk mengatasi permasalahan di atas dan guna mencapai tujuan pendidikan
secara maksimal, peran guru sangat penting dan diharapkan guru mampu
menyampaikan semua mata pelajaran yang tercantum dalam proses pembelajaran
secara tepat dan sesuai dengan konsep-konsep mata pelajaran yang akan
disampaikan.
Dengan
menyadari kenyataan tersebut di atas, maka dalam penelitian ini penulis
mengambil judul “Upaya Meningkatkan Prestasi Belajar Pendidikan Agama Islam
Dengan Menerapkan Model Pengajaran kolaborasi Pada Siswa … Tahun Pelajaran …
B. Rumusan Masalah
Bertitik
tolak dari latar belakang di atas maka penulis merumuskan permasalahannya
sebagai berikut:
1.
Bagaimanakah peningkatan prestasi belajar Pendidikan
Agama Islam dengan diterapkannya model pengajaran kolaborasi pada siswa kelas …. Tahun pelajaran …?
2.
Bagaimanakah pengaruh model pengajaran kolaborasi terhadap motivasi belajar Pendidikan Agama
Islam pada siswa kelas …. Tahun pelajaran …?
C. Tujuan
Penelitian
Sesuai dengan permasalahan
di atas, penelitian ini bertujuan untuk:
1.
Mengetahui peningkatan prestasi belajar Pendidikan
Agama Islam setelah diterapkannya model pengajaran kolaborasi pada siswa kelas … tahun pelajaran …
2.
Mengetahui pengaruh motivasi belajar Pendidikan Agama
Islam setelah diterapkan model pengajaran kolaborasi pada siswa kelas … tahun pelajaran …
3.
Menyempurnakan pelaksanaan pembelajaran Pendidikan Agama
Islam dalam meningkatkan prestasi belajar pada siswa kelas … tahun pelajaran
D. Kegunaan
Penelitian
Adapun maksud penulis
mengadakan penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai:
1.
Menambah pengetahuan dan wawasan penulis tentang
peranan guru Pendidikan Agama Islam dalam meningkatkan pemahaman siswa belajar
Pendidikan Agama Islam.
2.
Sumbangan pemikiran bagi guru Pendidikan Agama Islam
dalam mengajar dan meningkatkan pemahaman siswa belajar Pendidikan Agama Islam.
3.
Sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan metode
pembelajaran yang dapat memberikan manfaat bagi siswa.
4.
Sebagai penentu kebijakan dalam upaya meningkatkan
prestasi belajar siswa khususnya pada mata pelajaran Pendidikan Agama Islam.
5.
Menerapkan metode yang tepat sesuai dengan materi
pelajaran Pendidikan Agama Islam.
E. Definisi
Operasional Variabel
Agar tidak terjadi salah
persepsi terhadap judul penelitian ini, maka perlu didefinisikan hal-hal
sebagai berikut:
1.
Model pengajaran kolaborasi adalah:
Suatu model pembelajaran dengan menumbuhkan para
siswa untuk bekerja sama dalam kelompk-kelompok kecil untuk mencapai tujuan
yang sama.
2.
Motivasi belajar adalah:
Suatu proses untuk menggiatkan motif-motif
menjadi perbuatan atau tingkat laku untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai
tujuan, atau keadaan dan kesiapan dalam diri individu yang mendorong tingkah
lakunya untuk berbuat sesuatu dalam mencapai tujuan tertentu.
3.
Prestasi belajar adalah:
Hasil belajar yang dinyatakan dalam bentuk
nilai atau dalam bentuk skor, setelah siswa mengikuti pelajaran.
F. Batasan
Masalah
1.
Penelitian ini hanya dikenakan pada siswa kelas … tahun
pelajaran …
2.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret semester
genap tahun pelajaran …
3.
Materi yang disampaikan adalah pokok bahasan…………..
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Definisi
Pembelajaran
Pembelajaran
adalah proses, cara, menjadikan orang atau makhluk hidup belajar. Sedangkan
belajar adalah berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu berubah tingkah laku
atau tanggapan yang disebabkan oleh pengalaman, (KBBI, 1996:14)
Sependapat dengan pernyataan
tersebut Sutomo (1993:68) mengemukakan bawah belajar adalah proses pengelolaan
lingkungan seseorang dengan sengaja dikelukan sehingga memungkinkan dia belajar untuk melakukan atau
mempertunjukkan tingkah laku pula. Sedangkan belajar adalah suatu proses yang
menyebabkan perubahan
tingkah laku yang bukan disebabkan oleh proses
pertumbuhan yang bersifat fisik,
tetapi perubahan
dalam kebiasaan, kecakapan, bertambah pengetahuan, berkembang daya pikir, sikap dan lain-lain (Soetomo, 1993:120)
Pasal
1 Undang-undang No.20 Tahun 2003 tentang system pendidikan nasional menyebutkan
bahwa pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan
sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.
Jadi pembelajaran adalah
proses yang disengaja yang menyebabkan
siswa belajar pada suatu lingkungan belajar untuk melakukan kegiatan pada
situasi tertentu
B. Gaya Belajar
Kalangan pendidik telah menyadari
bahwa peserta didik memiliki bermacam cara belajar. Sebagian siswa bisa belajar
dengan sangat baik hanya dengan melihat ornag lain melakukannya. Biasanya
mereka ini menyukai penyajian informasi yang runtut. Mereka lebih suka
menuliskan apa yang dikatakan guru. Selama pelajaran, mereka biasanya diam dan
jarang terganggu oleh kebisingan. Peserta didik visual ini berbeda dengan peserta didik auditori, yang biasanya
tidak sungkan-sungkan untuk memperhatikan
apa yang dikerjakan oleh guru, dan membuat catatan. Mereka menggunakan
kemampuan untuk mendengar
dan mengingat. Selama pelajaran, mereka mungkin banyak bicara dan mudah teralihkan perhatiannya oleh suara atau kebisingan. Peserta didik kinestetik belajar
terutama dengan terlibat langsung dalam kegiatan. Mereka cenderung impulsive,
semau gue, dan kurang sabaran. Selama pelajaran mereka mungkin saja gelisah
bila tidak bisa leluasa bergerak dan mengerjakan sesuatu. Cara mereka belajar
boleh jadi tampak sempbarangan dan tidak karuan.
Tentu saja hanya ada sedikit siswa
yang mutlak memiliki satu jenis cara belajar. Grinder (1991) menyatakan bahwa dari setiap 30 siswa
, 22 diantaranya rata-rata dapat belajar dengan efektif selama gurunya
menghadirkan kegiatan belajar yang berkombinasi antara visual, auditori dan
kinestik. Namun 8 siswa-siswinya sedemikian menyukai salah satu bentuk
pengajaran disbanding dua lainnya. Sehingga mereka mesti berupaya keras untuk memahami pelajaran bila tiak ada
kecermatan dalam menyajikan pelajaran sesuai dengan cara yang mereka sukai.
Guna memenuhi kebutuhan ini, pengajaran harus bersifat mulitsensori dan penuh
dengan variasi.
Kalangan pendidikan juga
mencermati adanya perubahan cara belajar siswa. Selama lima
belajar tahun terakhir, Schroeder dan kolegannya (1993) telah menerapkan
indicator tipe Myer-Briggs ( MBTI) kepada mahasiswa baru. MBTI merupakan salah
satu instrument yang paling banyak digunakan dalam dunia pendidikan dan untuk
memenuhi fungsi perbedaan individu
dalam proses belajar. Hasilnya menunjukkan sekitar 60 persen dari mahasiswa
yang sudah memiliki orientasi praktis ketimbang teori terhadap pembelajaran dan
persentase tu bertambah setiap tahunnya. Mahasiswa lebih suka terlibat dalam
pengalaman langsung dan konkret daripda
mempelajari konsep-konsep dasar
terlebih dahulu dan baru kemudian menerapkannya. Penelitian MBTI lainnya, jelas
Schroeder, menunjukkan bahwa siswa sekolah menengah lebih suka kegiatan belajar
yang benar-benar aktif dari pada kegiatan yang reflektif abstrakm dengan rasio lima banding satu. Dari semua ini dia menyimpulkan
bahwa cara belajar dan mengajar aktif sangat sesuai dengan siswa masa kini.
Agar bisa efektif guru harus menggunakan yang berikut ini: diskusi dan proyek
kelompok kecil, presentasi dan debat, dalam kelas, latihan melalui pengalaman, pengalaman lapangan,
simulasi dan studi kasus. Secara khusus Schroeder menekankan bahwa siswa masa
kini “ bisa beradaptasi dengan baik terhadap kegiatan kelompok dan belajar
bersama.”
Temuan-temuan ini dapat dianggap
tidak mengejutkan bila kita mempertimbangkan secepatnya laju kehidupan modern.
Di masa kini siswa dibersarkan dalam dunia yang sengaja sesuatunya berjalan
dengan cepat dan banyak pilihan yang tersedia. Suara-suara terdengar begitu
menghentak merdu dan warna-warna
terlihat begitu semarak dan menarik. Objek baik yang nyata maupun yang maya, bergerak cepat. Peluang untuk mengubah
segala sesuatu dari satu kondisi ke
kondisi lain terbuka sangat luas.
C. Sisi
Sosial Proses Belajar
Karena
siswa masa kini menghadapi dunia di mana terdapat pegetahuan yang luas, perubahan
pesat, dan ketidakpastian, mereka bisa mengalami kegelisahan dan bersikap
defensif. Abraham Maslow mengajarkan kepada kita bahwa manusia memiliki dua kumpulan kekuatan atau
kebutuhan yang satu berupaya untuk tumbuh dan yang lain condong kepada keamanan. Orang yang dihadapkan pada
kedua kebutuhan ini akan memiliki keamanan ketimbang pertumbuhan. Kebutuhan
akan rasa aman harus dipenuhi sebelum bisa spenuhnya kebutuhan untuk mencapai
sesuatu mengambil resiko dan menggali hal-hal baru. Pertumbuhan berjalan dengan
langkah-langkah kecil, menurut Maslow dan “ tiap langkah mjau hanya
dimungkinkan akan bila ada rasa aman, yang mana ini merupakan langkah ke depan
dari suasana rumah yang aman menuju wilayah yang belum diketahui” (Maslow,
1968)
Salah satu cara utama untuk
mendapatkan rasa aman adalah menjalin hubungan dengan orang lain dan menjadi
bagian dari kelompok. Perasaan saling memiliki ini memungkinkan siswa untuk
menghadapi tantangan.
Ketika mereka belajar bersama teman, bukannya sendirian, mereka mendapatkan
dukungan emosional dan intelektual yang memungkinkan mereka mendapatkan dukungan emosional dan intelektual yang
memungkinkan mereka melampaui ambang
pengetahuan dan keterampilan mereka yang sekarang.
Jerome Bruinner membahas sisi
social proses belajar dalam buku klasiknya Toward
a Theory of Instruction. Dia
menjelaskan tentang “ kebutuhan mendalam manusia untuk merespon orang lain dan untuk
bekerjasama dengan mereka guna mencapai
tujuan,” yang mana hal ini dia sebut resiprositas
(hubungan timbal balik). Bruner
berpendapat bahwa resiprositas merupakan sumber motivasi yang bisa dimanfaatkan
oleh guru sebagai berikut, “Di mana dibutuhkan tindakan bersama dan dimana
resiprositas diperlukan bagi kelompok untuk mencapai suatu tujuan, disitulah
terdapat proses yang membawa individu ke dalam pembelajaran membimbingnya untuk
mendapatkan kemampuan yang diperlukan dalam pembentukan kelompok” (Bruner,
1966)
Konsep-konsepnya Maslow dan Bruner
mengurusi perkembangan metode belajar kolaborasi yang sedemikian popular dalam
lingkup pendidikan masa kini. Menempatkan siswa dalam kelompok dan memberi
mereka tugas yang menuntut untuk bergantung satu sama lain dalam mengerjakannya
merupakan cara yang bagus untuk memanfaatkan kebutuhan social siswa. Mereka
menjadi cenderung lebih terlibat dalam kegiatan belajar karena mereka
mengerjakannya bersama teman-teman. Begitu terlibat, mereka juga langsung memiliki kebeutuhan untuk membicarakan apa yang mereka alami
bersama teman yang mengarah kepada hubungan-hubungan lebih lanjut.
Kegiatan belajar bersama dapat
mambantu memacu belajar aktif. Kegiatan belajar dan mengajar di kelas memang
dapat menstimulasi belajar aktif dengan cara khusus. Apa yang didiskusikan
siswa dengan teman-temannya dan apa yang diajarkan siswa kepada teman-temannya
memungkinkan mereka untuk memperoleh pemahaman dan penguasaan materi pelajaran.
Metode belajar bersama yang terbaik, semisal pelajaran menyusun gambar
(jigsaw), memenuhi persyaratan ini . pemberian tugas yang berbeda kepada siswa
akan mendorong mereka untuk tidak hanya belajar bersama namun juga mengajarkan
satu sama lain.
D. Motivasi
Belajar
1. Konsep motivasi
Pengajaran tradisional
menitik beratkan pada mtode imposisi, yakni pengajaran dengan cara menuangkan
hal-hal yang dianggap penting oleh guru bagi murid (Hamalik, Oemar: 2001:157). Cara ini tidak mempertimbangkan apakah bahan
pelajaran yang diberikan itu sesuai atau tidak dengan kesanggupan, kebutuhan,
minat dan tingkat kesanggupan, serta pemahaman murid. Tidak pula diperhatikan
apakah bahan-bahan yang diberikan itu didasarkan atas motif-motif dan tujuan
yang ada pada murid.
Sejak adanya
penemuan-penemuan baru dalam bidang psikologi tentang kepribadian dan tingkah
laku manusia serta perkembangan dalam bidang ilmu pendidikan makan pandangan
tersebut kemudian berubah. Faktor siswa didik justru menjadi unsure yang
menentukan berhasil atau tidaknya pengajaran berdasaran “ pusat minat” anak
makan, pakaian, permaian/bekerja. Kemudian menyusul tokoh pendidikan lainnya sepert Dr John
Dewey, yang terkenal dengan “ pengajaran proyeknya” yang berdasarkan pada
masalah yang menarik minat siswa, system perkolahan lainnya. Sehingga sejak itu
pula para ahli berpendapat , bahwa tingkah laku manusia didorong oleh
motif-motif tertentu dan perbuatan belajar akan berhasil apabila didasarkan
pada motivasi yan ada pada murid. Murid dapat dipaksa untuk mengikuti semua
perbuatan, tetapi Ia tidak dapat dipaksa untuk menghayati perbuatan itu
sebagaimana mestinya. Seekor kuda dapat digiring ke sungai tetapi tidak dapat
dipaksa untuk minum. Demikian pula juga halnya dengan murid, guru dapat
memaksanya untuk belajar dalam arti sesungguhnya. Inilah yang menjadi tugas yang paling berat yakni
bagaimana caranyua berusaha agar murid mau belajar dan memiliki keinginan untuk
belajar secara kontinyu.
2. Pengertian
Motivasi
Motif adalah daya dalam diri
seseorang yang mendorongnya untuk melakukan sesuatu atau keadaan seseorang atau
organisme yang menyebabkan kesiapannya untuk memulai serangkaian tingkah laku
atau perbuatan. Sedangkan motivasi adalah sesuatu proses untuk menggiatkan
motif-motif menjadi perbuatan atau tingkah laku untuk memenuhi kebutuhan dan
mencapai tujuan atau keadaan dan kesiapan dalam diri individu
yang mendorong tingkah lakunya untuk berbuat sesuatu dalam mencapai tujuan
tertentu (Usman 2000:28)
Sedangkan menurut Djamarah
(2002:114) motivasi adalah suatu
pendorong yang mengubah energi dalam diri seseorang kedalam bentuk aktivitas
nyata untuk mencapai tujuan tertentu . dalam proses belajar, motivasi sangat diperlukan
sebab seseorang yang tidak mempunyai motivasi dalam belajar tidak akan mungkin
melakukan aktivitas belajar. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Nur
(2001:3) bahwa siswa yang termotivasi dalam belajar sesuatu akan menggunakan
proses kognitif yang lebih tinggi dalam mempelajari materi itu, sehingga siswa
itu akan menyerap dan mengendapkan materi itu dengan lebih baik.
Jadi motivasi aalah suatu
kondisi yang mendorong seseorang untujk berbuat sesuatu dalam mencapai tujuan
tertentu
3. Macam-macam
motivasi
Menurut Intrinsik
a. Motivasi
Intrinsik
Jenis motivasi ini
timbul sebagai akibat dari dalam individu
apakah karena adanya ajakan, suruhan, atau paksaan dari orang lain sehingga dengan kondisi yang
demikian akhirnya ia mau melakukan sesuatu atau belajar (Usman, 2000:29)
Sedangkan menurut Djamar
(2002:115), motivasi instrinsik adalah motif-motif yang menjadi aktf atau
berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar karena dalam setiap diri individu sudah ada
dorongan untuk melakukan sesuatu.
Menurut winata (dalam
Erriniati, 1994L105) ada beberapa strategi dalam mengajar untuk membangun
motivasi intrinsic. Strategi tersebut adalah
sebagai berikut:
1) Mengaitkan
tujuan belajar dengan tujuan siswa
2) Memberikan
kebebasan dalam memperluas materi pelajaran sebatas yang pokok.
3) Memberikan
banyak waktu ekstra bagi siswa untuk mengerjakan tugas dan memanfaatkan sumber
belajar di sekolah.
4) Sesekali
memberikan penghargaan pada siswa atas pekerjaannya
5) Meminta
siswa untuk menjelaskan hasil pekerjaannya
Dari uraian
di atas dapat disimpulkan bahwa motivasi intrinsic adalah motivasi yang timbul
dari dalam diri individu
yang berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar. Seseorang yang memiliki
motivasi intrinsic dalam dirinya maka secara sadar akan melakukan sesuatu
kegiatan yang tidak memerlukan motivasi dari luar dirinya.
b. Motivasi
ekstrinsik
Jenis motivasi ini
timbul sebagai akibat pengaruh dari luar
individu, apakah karena adanya ajakan, suruhan
atau paksaan dari orang
lain sehingga dengan kondisi yang demikian akhirnya ia mau melakukan sesuatu atau belajar. Misalnya
seseorang mau belajar karena ia disuruh oleh orang tuanya agar mendapat peringkat pertama
di kelasnya (Usman, 2000:29)
Sedangkan
menurut Djamarah (2002:117), motivasi ekstrinsik adalah kebalikan dari motivasi
intrinsic. Motivasi ekstrinsik adalah motif-motif yang aktif dan berfungsi karena
adanya perangsang dari luar.
Beberapa cara
membangkitkan motivasi ekstrinsik dalam menumbuhkan motivasi instrinsik antara
lain:
1) Kompetisi
(persaingan) guru berusaha menciptakan persaingan diantra siswanya untuk
meningkatkan prestasi belajarnya, berusaha memperbaiki hasil prestasi yang
telah dicapai sebelumnya dan mengatasi prestasi orang lain.
2) Pace Making (Membuat tujuan sementara
atau dekat). Pada awal kegiatan belajar mengajar, guru hendaknya terlebih
dahulu menyampaikan kepada siswa TIK yang akan dicapai sehingga dengan demikian
siswa berusaha untuk mencapai TIK tersebut.
3) Tujuan
yang jelas : motif mendorong individu
untuk mencapai tujuan. Makin jelas tujuan makin besar nilai tujuan bagi individu yang bersangkutan dan makin besar pula motivasi
dalam melakukan sesuatu perbuatan.
4) Kesempurnaan
untuk sukses: kesuksesan dapat menimbulkan rasa puas, kesenangan dan
kepercayaan terhadap diri sendiri, sedangkan kegagalan akan membawa efek yang
sebaliknya. Dengan demikian guru hendaknya banyak memberikan kesempatan kepada
anak untuk meraih sukses dengan usaha
mandiri tentu saja dengan bimbingan guru.
5) Minat
yang besar : motif akan timbul jika individu
memiliki minat yang besar.
6) Mengadakan
penilaian atau tes. Pada umumnya semua siswa mau belajar dengan tujuan
memperoleh nilai yang baik. Hal ini terbukti dalam kenyataan bawha banyak siswa yang
tidak belajar bila tidak ada ulangan. Akan tetapi bila guru mengatakan bahwa
lusa akan diadakan ulangan lisan, barulah siswa giat belajar dengan menghafal
agar ia mendapat nilai yang baik, jadi angka atau nilai itu merupakan motivasi
yang kuat bagi siswa.
Dari uraian
di atas diketahui bahwa motivasi ekstrinsik adalah motivasi yang timbul dari
luar individu
yang fungsinya karena adanya perangsang dari luar, misalnya adanya persaingan,
untuk mencapai nilai yang tinggi, dan lain sebagainya.
E. Meningkatkan
Motivasi Belajar PAI Pada
Siswa
Telah
disepakati oleh pendidikan bahwa guru merupakan kunci dalam proses belajar
mengajar. Bila hal ini dilihat dari segi nilai
lebih yang dimiliki oleh guru dibandingkan dengan siswanya.nilai lebih
ini dimiliki oleh guru terutama dalam ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh guru
bidang studi pengajarannya. Walau demikian nilai lebih itu tidak akan dapat
diandalkan oleh guru, apabila ia tidak memiliki teknik-teknik yang tepat untuk mentransfer kepada siswa.
Disamping itu kegiatan mengajar adalah suatu aktivitas yang sangat kompleks ,
karena itu sukar bagi guru PAI bagaimana
caranya mengajar dengan baik agar dapat meningkatkan motivasi siswa dalam belajar PAI
Untuk merealisasikan keinginan
tersebut kana
ada beberapa prinsip umum yang harus dipegang oleh guru PAI dalam menjalankan tugasnya. Menurut Prof DR.
S. Nasution, prinsip-prinsip umum yang harus dipegang oleh guru PAI
dalam menjalankan tugasnya adalah sebagai berikut:
1. Guru
yang baik memahami dan menghormati siswa
2. Guru
yang baik harus menghormati bahan pelajaran yang diberikannya
3. Guru
hendaknya menyesuaikan bahan pelajaran yang diberikan dengan kemampuannya
siswa.
4. Guru
hendaknya menyesuaikan metode mengajar dengan pelajarannya
5. Guru
yang baik mengaktifkan siswa dalam belajar
6. Guru yang baik memberikan pengertian, bukan hanya
dengan kata-kata belaka. Hal ini untuk menghindari verbalisme pada murid.
7. Guru
menghubungkan pelajaran pada kehidupan siswa
8. Guru
terikat dengan texs book
9. Guru
yang baik tidak hanya mengajar dalam arti menyampaikan pengetahuan melainkan
senantiasa membentuk kepribadian siswanya.
Sehubungan dengan upaya
meningkatkan motivasi belajar siswa ada dua prinsip yang harus diperhatikan
oleh guru sebagaimana yang dikemukakan oleh Thomas F. Seton sebagai berikut:
1. Menyelidiki
dengan jelas dan tegas apa ynag diharapkan dari pelajaran untuk dipelajari dan
mengapa ia diharapkan mempelajarinya.
2. Menciptakan
kesadaran yang tinggi pada pelajaran akan pentingnya memililki skill dan
pengetahuan yang akan diberikan oleh program pendidikan itu.
Dari prinsip-prinsip umum di atas,
menunjukkan bahwa peranan guru PAI dalam
mengajar PAI dapat dikatakan sangat
dominant, begitu pula dalam meningkatkan motivasi belajar siswa tampaknya guru yang
mengetahui akan kemampuan siswa-siswanya baik secara individu maupun secara
kelompok, guru mengetahui persoalan-persoalan belajar dan mengajar, guru pula
yang mengetahui kesulitan-kesulitan siswa terhadap pelajaran PAI dan bagaimana cara memecahkannya.
F. Model
Pembelajaran Kolaborasi
Pembelajaran
kolaborasi (Colaboration Learning)
merupakan model pembelajaran yang menerapkan paradigma baru dalam teori-teori
belajar (Yufiarti 2003). Pendekatan ini dapat digambarkan sebagai suatu moel
pembelajaran dengan menumbuhkan para siswa untuk bekerja sama dalam
kelompok-kelompok kecil untu mencapai
tujuan yang sama.
Pendekatan kolaborasi bertujuan agar siswa dapat
membangun pengetahuannya melalui dialog, saling membagi informasi sesame siswa
dan guru sehingga siswa dapat meningkatkan kemampuan mental pada tingkat
tinggi. Model ini digunakan pada setiap mata pelajaran terutama yang mungkin
berkembang sharing of information di antara siswa
Belajar kolaborasi
digambarkan sebagai suatu model pengajaran
yang mana para siswa bekerja sama dalam kelompok –kelompok kecil untuk
mencapai tujuan yang sama. Hal yang perlu diperhatikan dalam kegiatan belajar
kolaboratif, para siswa bekerja sama menyelesaikan masalah yang sama, dan bukan
secara individual
menyelesaikan bagian-bagian yang terpisah dari masalah tersebut. Dengan
demikian, selama berkolaborasi para siswa bekerja sama membangun pemahaman dan
konsep yang sama menyelesaikan setiap bagian dari masalah atau tugas tersebut.
Pendekatan kolaboratif
dipandang sebagai proses membangun dan mempertahankan konsepsi yang sama
tentang suatu masalah. Dari sudut pandang ini, model belajar kolaboratif
menjadi efisien karena para anggota kelompok belajar dituntut untuk berfikir
secara interaktif. Para ahli berpendapat
bahwa berfikir secara interaktif. Para ahli berpendapaat bahwa berfikir bukanlah sekedar
memanipulasi objek-objek mental, melainkan juga interaksi dengan orang
lain dan dengan lingkungan.
Dalam kelas yang menerapkan
model kolaboratif, guru membagi otoritas dengan siswa dalam berbagai cara
khusus guru mendorong siswa untuk
menggunakan pengetahuan mereka,
menghormati rekan kerjanya dan memfokuskan diri pada pemahaman tingkat tinggi.
Peran guru dalam model pembelajaran kolaboratif adalah
sebagai mediator. Guru menghubungkan informasi baru terhadap pengalaman siswa
dengan proses belajar di bidang lain, membantu siswa menentukan apa yang harus
dilakukan jika siswa mengalami kesulitan dan membantu mereka belajar tentang
bagaimana caranya belajar. Lebih dari itu, guru sebagai mediator menyesuaikan tingkat informasi siswa dan
mendorong agar siswa memaksimalkan kemampuannya untuk bertanggung jawab
atas proses belajar mengajar
selanjutnya.
Sebagai mediator guru
menjalani tiga peran, yaitu berfungsi sebagai fasilitator, model dan pelatih.
Sebagai fasilitator guru menciptakan lingkungan dan kreativitas yang kaya guna
membantu siswa membangun pengetahuannya. Dalam rangka menjalankan peran ini,
ada tiga hal pula yang harus dikerjakan.
Pertama, mengatur lingkungan fisik, termasuk pengaturan tata letak perabot
dalam ruangan serta persediaan berbagai
sumber daya dan peralatan yang dapat membantu proses belajar mengajar siswa. Kedua, menyediakan lingkungan social
yang mendukung proses belajar siswa, seperti mengelompokkan siswa secara
heterogen dan mengajak siswa mengembangkan struktur social yang mendorong
munculnya perilaku yang sesuai untuk berkolaborasi antar siswa , ketiga, guru memberikan tugas memancing
munculnya interaksi antarsiswa dengan lingkungan fisik maupun social di
sekitarnya. Dalam hal ini, guru harus
mampu memotivasi anak.
Peran sebagai model dapat
diwujudkan dengan cara membagi pikiran tentang suatu hal (thinking aloud) atau
menunjukkan pada siswa tentang bagaimana melakukan sesuatu secara bertahap (demonstrasi) . Di samping itu
menunjukkan pada siswa bagaimana cara berpikir sewaktu melalui situasi kelompok
yang sulit dan melalui masalah komunikasi adalah sama pentingnya dengan
mencontohkan bagaimana cara membuat
perencanaan, memonitor penyelesaian tugas dan mengukur apa yang sudah
dipelajari.
Peran guru sebagai pelatih
mempunyai prinsip utama yaitu menyediakan bantuan secukupnya pada saat siswa
membutuhkan sehingga siswa tetap
memagang tanggung jawab atas proses belajar
mereka sendiri. Hal ini dilakukan dengan memberikan petunjuk dam umpan
balik, mengarahkan kembali usaha
siswa serta membantu mereka menggunakan strategi tertentu.
Salah satu ciri penting dari
kelas yang menerapkan model pembelajaran kolaboratif adalah siswa tidak
dikotak-kotakan berdasarkan kemampuannya, minatnya, ataupun karakteristik dan
mengurangi kesempatan siswa untu belajar bersama siswa lain. Dengan demikian,
semua siswa dapat belajar dari siswa dan tidak ada siswa yang tidak mempunyai
kesempatan untuk memberikan masukan dan
menghargai masukan yang diberikan orang
lain.
Model kolaboratif dapat
digambarkan sebagai berikut. Ketika terjadi kolaboratif, semua siswa aktif.
Mereka saling berkomunikasi secara alami. Dalam sebuah kelompok yang terdiri
atas 4 sampai 6 anak, di sana
guru sudah membuat rancangan agar siswa yang satu dengan yang lain bisa
berkolaborasi. Dalam kelompok yang sudah ditentukan oleh guru, fasilitas yang
ada pun diusahakan anak mampu berkolaborasi. Misalnya dalam kelompok yang
terdiri atas 4 sampai 6 tersebut seorang guru hanya menyiapkan 2 sampai 3 kotak alat mewarna yang dipakai secara bergantian.
Dengan harapan setiap siswa bisa berkomunikasi satu dengan yang lain. Dengan
komunikasi aktif antar siswa akan terjalin hubungan yang baik dan saling
menghargai. Alat tersebut bukan milik pribadi, melainkan sudah menjadi milik
bersama. Setiap anak tidak merasa memiliki
secara pribadi, tetapi bisa dipakai bersama. Paa saat yang sama
mempunyai keinginan untuk memakainya maka aka terjadi komunikasi yagn alami
dengan penggunaan santun bahasa. Dalam kondisi seperti ini seperti guru hanya
mengamati cara kerja siswa dan cara
berkomunikasi serta menjadi pembanding saat siswa memerlukan bantuan.
Untuk kolaborasi dalam sebuah
mata pelajaran, seorang guru memberikan tugas secara kelompok dengan tujuan yang sama. Setiap siswa dalam kelompok
saling berkolaborasi dengan membagi pengalaman. Dari pengalaman yang dimiliki
oleh masing-masing kelompok, disimpulkan secara bersama. Dalam hal in guru
berperan sebagai pembimbing dan membagi tugas supaya diskusi kelompok bisa
berjalan dengan baik dengan yang direncanakan
Dalam kelas yang menggunakan
model pembelajaran kolaboratif, situasi yang terjadi adalah pengetahuan yang
terbagi antara guru dan siswa. Dengan kata lailn, baik guru maupun siswa
dipandang sebagai sumber informas. Situasi ini jelas berbeda dengan situasi
yang umumnya terjadi dalam kelas tradisional. Dalam kelas tradisional guru
dipandang sebagai satu-satunya sumber
informasi dan pengetahuan yang mengalir satu arah dari guru ke murid atau semua
pembelajaran berpusat pada guru.
Untuk mencapai tujuan yang
efektif, seorang guru perlu menciptakan
berbagai cara mengajar yang sesuai dengan mata pelajaran sehingga dapat berjalan efektif.
BAB III
METODOLOGI
PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian
tindakan (action research), karena penelitian dilakukan untuk memecahkan
masalah pembelajaran di kelas. Penelitian ini juga termasuk penelitian
deskriptif, sebab menggambarkan bagaimana suatu teknik pembelajaran diterapkan
dan bagaimana hasil yang diinginkan dapat dicapai.
Menurut Sukidin dkk (2002:54) ada 4
macam bentuk penelitian tindakan, yaitu: (1) penelitian tindakan guru sebagai
peneliti, (2) penelitian tindakan kolaboratif, (3) penelitian tindakan simultan
terintegratif, dan (4) penelitian tindakan sosial eksperimental.
Keempat bentuk penelitian tindakan
di atas, ada persamaan dan perbedaannya. Menurut Oja dan Smulyan sebagaimana
dikutip oleh Kasbolah, (2000) (dalam Sukidin, dkk. 2002:55), ciri-ciri dari
setiap penelitian tergantung pada: (1) tujuan utamanya atau pada tekanannya,
(2) tingkat kolaborasi antara pelaku
peneliti dan peneliti dari luar, (3) proses yang digunakan dalam melakukan
penelitian, dan (4) hubungan antara proyek dengan sekolah.
Dalam penelitian ini menggunakan
bentuk guru sebagai peneliti, dimana guru sangat berperan sekali dalam proses
penelitian tindakan kelas. Dalam bentuk ini, tujuan utama penelitian tindakan
kelas ialah untuk meningkatkan praktik-praktik pembelajaran di kelas. Dalam
kegiatan ini, guru terlibat langsung secara penuh dalam proses perencanaan,
tindakan, observasi, dan refleksi. Kehadiran pihak lain dalam penelitian ini
peranannya tidak dominan dan sangat kecil.
Penelitian ini mengacu pada
perbaikan pembelajaran yang berkesinambungan. Kemmis dan Taggart (1988:14)
menyatakan bahwa model penelitian tindakan adalah berbentuk spiral. Tahapan
penelitian tindakan pada suatu siklus meliputi perencanaan atau pelaksanaan
observasi dan refleksi. Siklus ini berlanjut dan akan dihentikan jika sesuai
dengan kebutuhan dan dirasa sudah cukup.
A. Tempat,
Waktu dan Subyek Penelitian
1. Tempat Penelitian
Tempat penelitian adalah
tempat yang digunakan dalam melakukan penelitian untuk memperoleh data yang
diinginkan. Penelitian ini bertempat di …. Tahun pelajaran …
2. Waktu
Penelitian
Waktu penelitian adalah
waktu berlangsungnya penelitian atau saat penelitian ini dilangsungkan.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret semester genap ….
3. Subyek
Penelitian
Subyek penelitian adalah
siswa-siswi kelas … tahun pelajaran … pada pokok bahasan kisah nabi Ibrahim
a.s, dan nabi Ismail a.s.
B. Rancangan Penelitian
Menurut pengertiannya penelitian tindakan
adalah penelitian tentang hal-hal yang terjadi di masyarakat atau sekelompok
sasaran, dan hasilnya langsung dapat dikenakan pada masyarakat yang
bersangkutan (Arikunto, Suharsimi 2002:82). Ciri atau karakteristik utama dalam
penelitian tindakan adalah adanya partisipasi dan kolaborasi antara peneliti dengan anggota kelompok
sasaran. Penelitian tindakan adalah satu strategi pemecahan masalah yang
memanfaatkan tindakan nyata dalam bentuk proses pengembangan inovatif yang
dicoba sambil jalan dalam mendeteksi dan memecahkan masalah. Dalam prosesnya
pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan tersebut dapat saling mendukung satu
sama lain.
Sedangkan tujuan penelitian tindakan harus memenuhi
beberapa prinsip sebagai berikut:
1.
Permasalahan atau topik yang dipilih harus memenuhi
kriteria, yaitu benar-benar nyata dan penting, menarik perhatian dan mampu
ditangani serta dalam jangkauan kewenangan peneliti untuk melakukan perubahan.
2.
Kegiatan penelitian, baik intervensi maupun pengamatan
yang dilakukan tidak boleh sampai mengganggu atau menghambat kegiatan utama.
3.
Jenis intervensi yang dicobakan harus efektif dan
efisien, artinya terpilih dengan tepat sasaran dan tidak memboroskan waktu,
dana dan tenaga.
4.
Metodologi yang digunakan harus jelas, rinci, dan
terbuka, setiap langkah dari tindakan dirumuskan dengan tegas sehingga orang
yang berminat terhadap penelitian dapat mengecek setiap hipotesis dan
pembuktiannya.
5.
Kegiatan penelitian diharapkan dapat merupakan proses
kegiatan yang berkelanjutan (on-going), mengingat bahwa pengembangan dan
perbaikan terhadap kualitas tindakan memang tidak dapat berhenti tetapi menjadi
tantangan sepanjang waktu. (Arikunto, Suharsimi, 2002:82-83).
Sesuai
dengan jenis penelitian yang dipilih, yaitu penelitian tindakan, maka
penelitian ini menggunakan model penelitian tindakan dari Kemmis dan Taggart
(dalam Arikunto, Suharsimi, 2002:83), yaitu berbentuk spiral dari siklus yang
satu ke siklus yang berikutnya. Setiap siklus meliputi planning
(rencana), action (tindakan), observation (pengamatan), dan reflection
(refleksi). Langkah pada siklus berikutnya adalah perencanaan yang sudah
direvisi, tindakan, pengamatan, dan refleksi. Sebelum masuk pada siklus I
dilakukan tindakan pendahuluan yang berupa identifikasi permasalahan. Siklus
spiral dari tahap-tahap penelitian tindakan kelas dapat dilihat pada gambar
berikut.
Gambar 3.1 Alur PTK
Penjelasan
alur di atas adalah:
- Rancangan/rencana awal, sebelum mengadakan
penelitian peneliti menyusun rumusan masalah, tujuan dan membuat rencana
tindakan, termasuk di dalamnya instrumen penelitian dan perangkat
pembelajaran.
- Kegiatan dan pengamatan, meliputi tindakan yang
dilakukan oleh peneliti sebagai upaya membangun pemahaman konsep siswa
serta mengamati hasil atau dampak dari diterapkannya pengajaran
kontekstual model pengajaran berbasis masalah.
- Refleksi, peneliti mengkaji, melihat dan
mempertimbangkan hasil atau dampak dari tindakan yang dilakukan
berdasarkan lembar pengamatan yang diisi oleh pengamat.
- Rancangan/rencana yang direvisi, berdasarkan hasil
refleksi dari pengamat membuat rancangan yang direvisi untuk dilaksanakan
pada siklus berikutnya.
Observasi dibagi dalam tiga
siklus, yaitu siklus 1, 2, dan
seterusnya, dimana masing siklus dikenai perlakuan yang sama (alur kegiatan
yang sama) dan membahas satu sub pokok bahasan yang diakhiri dengan tes
formatif di akhir masing putaran. Siklus ini berkelanjutan dan akan dihentikan
jika sesuai dengan kebutuhan dan dirasa sudah cukup.
C. Alat Pengumpul Data
Alat pengumpul data dalam penelitian ini adalah tes
buatan guru yang fungsinya adalah: (1) untuk menentukan seberapa baik siswa
telah menguasai bahan pelajaran yang diberikan dalam waktu tertentu, (2) untuk
menentukan apakah suatu tujuan telah tercapai, dan (3) untuk memperoleh suatu
nilai (Arikunto, Suharsimi, 2002:149). Sedangkan tujuan dari tes adalah untuk
mengetahui ketuntasan belajar siswa secara individual maupun secara klasikal.
Di samping itu untuk mengetahui letak kesalahan-kesalahan yang dilakukan siswa
sehingga dapat dilihat dimana kelemahannya, khususnya pada bagian mana TPK yang
belum tercapai. Untuk memperkuat data yang dikumpulkan maka juga digunakan
metode observasi (pengamatan) yang dilakukan oleh teman sejawat untuk
mengetahui dan merekam aktivitas guru dan siswa dalam proses belajar mengajar.
D. Analisis Data
Dalam
rangka menyusun dan mengolah data yang terkumpul sehingga dapat menghasilkan
suatu kesimpulan yang dapat dipertanggungjawabkan, maka digunakan analisis data
kuantitatif dan pada metode observasi digunakan data kualitatif. Cara
penghitungan untuk mengetahui ketuntasan belajar siswa dalam proses belajar
mengajar sebagai berikut.
- Merekapitulasi hasil tes
- Menghitung jumlah skor yang tercapai
dan prosentasenya untuk masing-masing siswa dengan menggunakan rumus
ketuntasan belajar seperti yang terdapat dalam buku petunjuk teknis
penilaian yaitu siswa dikatakan tuntas secara individual jika mendapatkan
nilai minimal 65, sedangkan secara klasikal dikatakan tuntas belajar jika
jumlah siswa yang tuntas secara individu mencapai 85% yang telah mencapai
daya serap lebih dari sama dengan 65%.
- Menganalisa hasil observasi yang
dilakukan oleh guru sendiri selama kegiatan belajar mengajar berlangsung.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hubungan Pembelajaran Model Kolaborasi
dengan Ketuntasan Belajar
Suatu
pokok bahasan atau sub pokok bahasan dianggap tuntas secara klasikal jika siswa
yang mendapat nilai 65 lebih dari atau sama dengan 85%, sedangkan seorang siswa dinyatakan tuntas
belajar pada pokok bahasan atau sub pokok bahasan tertentu jika mendapat nilai
minimal 65.
1. Siklus I
a. Tahap
Perencanaan
Pada tahap ini
peneliti mempersiapkan perangkat pembelajaran yang terdiri dari rencana
pelajaran 1, soal tes formatif 1 dan alat-alat pengajaran yang mendukung.
Selain itu juga dipersiapkan lembar observasi pengelolaan model pembelajaran KOLABORASI , dan lembar observasi aktivitas guru dan
siswa.
b. Tahap
Kegiatan dan Pelaksanaan
Pelaksanaan
kegiatan belajar mengajar untuk siklus I dilaksanakan pada tanggal 4 Maret 2005
di Kelas VI jumlah siswa 22 siswa. Dalam hal ini peneliti bertindak sebagai
pengajar. Adapun proses belajar mengajar mengacu pada rencana pelajaran yang
telah dipersiapkan. Pengamatan (observasi) dilaksanakan bersamaan dengan
pelaksanaan belajar mengajar.
Pada akhir proses
belajar mengajar siswa diberi tes formatif I dengan tujuan untuk mengetahui
tingkat keberhasilan siswa dalam proses belajar mengajar yang telah dilakukan.
Adapun data hasil penelitian pada siklus I adalah sebagai berikut.
Tabel 4.1. Rekapitulasi Hasil
Tes Formatif Siswa Pada Siklus I
No
|
Uraian
|
Hasil
Siklus I
|
1
2
3
|
Nilai
rata-rata tes formatif
Jumlah
siswa yang tuntas belajar
Persentase
ketuntasan belajar
|
70,00
15
68,18
|
Dari tabel di atas dapat dijelaskan bahwa dengan
menerapkan pembelajaran model Kolaborasi diperoleh nilai rata-rata prestasi
belajar siswa adalah 70,00 dan ketuntasan belajar mencapai 68,18% atau ada 15
siswa dari 22 siswa sudah tuntas belajar. Hasil tersebut menunjukkan bahwa pada
siklus pertama secara klasikal siswa belum tuntas belajar, karena siswa yang
memperoleh nilai ³
65 hanya sebesar 68,18% lebih kecil dari persentase ketuntasan yang dikehendaki
yaitu sebesar 85%. Hal ini disebabkan karena siswa masih merasa baru dan belum
mengerti apa yang dimaksudkan dan digunakan guru dengan menerapkan pembelajaran
model Kolaborasi.
c. Refleksi
Dalam pelaksanaan
kegiatan belajar mengajar diperoleh informasi dari hasil pengamatan sebagai
berikut:
1)
Guru kurang maksimal dalam memotivasi siswa dan dalam
menyampaikan tujuan pembelajaran
2)
Guru kurang maksimal dalam pengelolaan waktu
3)
Siswa kurang aktif selama pembelajaran berlangsung
d. Refisi
Pelaksanaan
kegiatan belajar mengajar pada siklus I ini masih terdapat kekurangan, sehingga
perlu adanya revisi untuk dilakukan pada siklus berikutnya.
1)
Guru perlu lebih terampil dalam memotivasi siswa dan
lebih jelas dalam menyampaikan tujuan pembelajaran. Dimana siswa diajak untuk
terlibat langsung dalam setiap kegiatan yang akan dilakukan.
2)
Guru perlu mendistribusikan waktu secara baik dengan
menambahkan informasi-informasi yang dirasa perlu dan memberi catatan.
3)
Guru harus lebih terampil dan bersemangat dalam
memotivasi siswa sehingga siswa bisa lebih antusias.
2. Siklus II
a. Tahap
perencanaan
Pada tahap ini
peneliti mempersiapkan perangkat pembelajaran yang terdiri dari rencana
pelajaran 2, soal tes formatif 2 dan alat-alat pengajaran yang mendukung.
b. Tahap
kegiatan dan pelaksanaan
Pelaksanaan
kegiatan belajar mengajar untuk siklus II dilaksanakan pada tanggal 11 Maret
2005 di Kelas VI dengan jumlah siswa 22 siswa. Dalam hal ini peneliti bertindak
sebagai pengajar. Adapun proses belajar mengajar mengacu pada rencana pelajaran
dengan memperhatikan revisi pada siklus I, sehingga kesalahan atau kekurangan
pada siklus I tidak terulang lagi pada siklus II. Pengamatan (observasi)
dilaksanakan bersamaan dengan pelaksanaan belajar mengajar.
Pada akhir proses
belajar mengajar siswa diberi tes formatif II dengan tujuan untuk mengetahui
tingkat keberhasilan siswa dalam proses belajar mengajar yang telah dilakukan.
Instrumen yang digunakan adalah tes formatif II. Adapun data hasil penelitian
pada siklus II adalah sebagai berikut.
Tabel 4.2. Rekapitulasi Hasil Tes Formatif Siswa Pada Siklus II
No
|
Uraian
|
Hasil
Siklus II
|
1
2
3
|
Nilai
rata-rata tes formatif
Jumlah
siswa yang tuntas belajar
Persentase
ketuntasan belajar
|
77,73
17
79,01
|
Dari tabel di atas
diperoleh nilai rata-rata prestasi belajar siswa adalah 77,73 dan ketuntasan
belajar mencapai 79,01% atau ada 17 siswa dari 22 siswa sudah tuntas belajar.
Hasil ini menunjukkan bahwa pada siklus II ini ketuntasan belajar secara
klasikal telah mengalami peningkatan sedikit lebih baik dari siklus I. Adanya
peningkatan hasil belajar siswa ini karena setelah guru menginformasikan bahwa
setiap akhir pelajaran akan selalu diadakan tes sehingga pada pertemuan
berikutnya siswa lebih termotivasi untuk belajar. Selain itu siswa juga sudah
mulai mengerti apa yang dimaksudkan dan diinginkan guru dengan menerapkan
pembelajaran model Kolaborasi.
c. Refleksi
Dalam pelaksanaan
kegiatan belajar diperoleh informasi dari hasil pengamatan sebagai berikut.
1)
Memotivasi siswa
2)
Membimbing siswa merumuskan kesimpulan/menemukan konsep
3)
Pengelolaan waktu
d. Revisi
Rancangan
Pelaksanaan
kegiatan belajar pada siklus II ini masih terdapat kekurangan-kekurangan. Maka
perlu adanya revisi untuk dilaksanakan pada siklus II antara lain:
1)
Guru dalam memotivasi siswa hendaknya dapat membuat
siswa lebih termotivasi selama proses belajar mengajar berlangsung.
2)
Guru harus lebih dekat dengan siswa sehingga tidak ada
perasaan takut dalam diri siswa baik untuk mengemukakan pendapat atau bertanya.
3)
Guru harus lebih sabar dalam membimbing siswa
merumuskan kesimpulan/menemukan konsep.
4)
Guru harus mendistribusikan waktu secara baik sehingga
kegiatan pembelajaran dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan.
5)
Guru sebaiknya menambah lebih banyak contoh soal dan
memberi soal-soal latihan pada siswa untuk dikerjakan pada setiap kegiatan
belajar mengajar.
3. Siklus III
a. Tahap
perencanaan
Pada tahap ini
peneliti mempersiapkan perangkat pembelajaran yang terdiri dari rencana
pelajaran 3, soal tes formatif 3 dan alat-alat pengajaran yang mendukung.
b. Tahap
kegiatan dan pengamatan
Pelaksanaan
kegiatan belajar mengajar untuk siklus III dilaksanakan pada tanggal 18 …..
2005 di Kelas … dengan jumlah siswa 22 siswa. Dalam hal ini peneliti bertindak
sebagai pengajar. Adapun proses belajar mengajar mengacu pada rencana pelajaran
dengan memperhatikan revisi pada siklus II, sehingga kesalahan atau kekurangan
pada siklus II tidak terulang lagi pada siklus III. Pengamatan (observasi)
dilaksanakan bersamaan dengan pelaksanaan belajar mengajar.
Pada akhir proses
belajar mengajar siswa diberi tes formatif III dengan tujuan untuk mengetahui
tingkat keberhasilan siswa dalam proses belajar mengajar yang telah dilakukan.
Instrumen yang digunakan adalah tes formatif III. Adapun data hasil penelitian
pada siklus III adalah sebagai berikut.
Tabel 4.3. Hasil Formatif
Siswa Pada Siklus III
No
|
Uraian
|
Hasil
Siklus III
|
1
2
3
|
Nilai
rata-rata tes formatif
Jumlah
siswa yang tuntas belajar
Persentase
ketuntasan belajar
|
82,73
19
86,36
|
Berdasarkan tabel
di atas diperoleh nilai rata-rata tes formatif sebesar 82,73 dan dari 22 siswa
telah tuntas sebanyak 19 siswa dan 3 siswa belum mencapai ketuntasan belajar.
Maka secara klasikal ketuntasan belajar yang telah tercapai sebesar 86,36%
(termasuk kategori tuntas). Hasil pada siklus III ini mengalami peningkatan
lebih baik dari siklus II. Adanya peningkatan hasil belajar pada siklus III ini
dipengaruhi oleh adanya peningkatan kemampuan guru dalam menerapkan
pembelajaran model Kolaborasi sehingga siswa menjadi lebih terbiasa dengan
pembelajaran seperti ini sehingga siswa lebih mudah dalam memahami materi yang
telah diberikan.
c. Refleksi
Pada tahap ini
akan dikaji apa yang telah terlaksana dengan baik maupun yang masih kurang baik
dalam proses belajar mengajar dengan penerapan pembelajaran model Kolaborasi.
Dari data-data yang telah diperoleh dapat diuraikan sebagai berikut:
1)
Selama proses belajar mengajar guru telah melaksanakan
semua pembelajaran dengan baik. Meskipun ada beberapa aspek yang belum
sempurna, tetapi persentase pelaksanaannya untuk masing-masing aspek cukup
besar.
2)
Berdasarkan data hasil pengamatan diketahui bahwa siswa
aktif selama proses belajar berlangsung.
3)
Kekurangan pada siklus-siklus sebelumnya sudah
mengalami perbaikan dan peningkatan sehingga menjadi lebih baik.
4)
Hasil belajar siswa pada siklus III mencapai
ketuntasan.
d. Revisi
Pelaksanaan
Pada siklus III guru
telah menerapkan pembelajaran model Kolaborasi dengan baik dan dilihat dari
aktivitas siswa serta hasil belajar siswa pelaksanaan proses belajar mengajar
sudah berjalan dengan baik. Maka tidak diperlukan revisi terlalu banyak, tetapi
yang perlu diperhatikan untuk tindakan selanjutnya adalah memaksimalkan dan
mempertahankan apa yang telah ada dengan tujuan agar pada pelaksanaan proses
belajar mengajar selanjutnya penerapan model pengajaran kolaborasi dapat meningkatkan proses belajar mengajar
sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai.
B. Pembahasan
1. Ketuntasan Hasil
Belajar Siswa
Melalui hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa pembelajaran model Kolaborasi memiliki dampak positif dalam meningkatkan
prestasi belajar siswa. Hal ini dapat dilihat dari semakin mantapnya pemahaman
siswa terhadap materi yang disampaikan guru (ketuntasan belajar meningkat dari
siklus I, II, dan III) yaitu masing-masing 68,18%, 79,01%, dan 86,36%. Pada
siklus III ketuntasan belajar siswa secara klasikal telah tercapai.
2. Kemampuan Guru dalam
Mengelola Pembelajaran
Berdasarkan analisis data, diperoleh
aktivitas siswa dalam proses belajar mengajar dengan menerapkan model pengajaran
kolaborasi dalam setiap siklus mengalami
peningkatan. Hal ini berdampak positif terhadap prestasi belajar siswa yaitu
dapat ditunjukkan dengan meningkatnya nilai rata-rata siswa pad setiap siklus
yang terus mengalami peningkatan.
3. Aktivitas Siswa Dalam
Pembelajaran
Berdasarkan analisis data, diperoleh
aktivitas siswa dalam proses pembelajaran PAI pada pokok bahasan kisah nabi
Ibrahim a.s, dan nabi Ismail a.s dengan model pengajaran kolaborasi yang paling dominan adalah,
mendengarkan/memperhatikan penjelasan guru, dan diskusi antar siswa/antara
siswa dengan guru. Jadi dapat dikatakan bahwa aktivitas siswa dapat
dikategorikan aktif.
Sedangkan untuk aktivitas guru selama
pembelajaran telah melaksanakan langkah-langkah kegiatan belajar mengajar
dengan menerapkan pengajaran konstekstual model pengajaran berbasis masalah
dengan baik. Hal ini terlihat dari aktivitas guru yang muncul di antaranya
aktivitas membimbing dan mengamati siswa dalam menemukan konsep, menjelaskan
materi yang sulit, memberi umpan balik/evaluasi/tanya jawab dimana prosentase
untuk aktivitas di atas cukup besar.
BAB V
SIMPULAN DAN
SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan
hasil penelitian yang telah dipaparkan selama tiga siklus, hasil seluruh
pembahasan serta analisis yang telah dilakukan dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1.
Model pengajaran kolaborasi dapat meningkatkan kualitas pembelajaran PAI.
2.
Pembelajaran model Kolaborasi memiliki dampak positif
dalam meningkatkan prestasi belajar siswa yang ditandai dengan peningkatan
ketuntasan belajar siswa dalam setiap siklus, yaitu siklus I (68,18%), siklus
II (79,01%), siklus III (86,36%).
3.
Model pengajaran kolaborasi dapat menjadikan siswa merasa dirinya mendapat
perhatian dan kesempatan untuk menyampaikan pendapat, gagasan, ide dan
pertanyaan.
4.
Siswa dapat bekerja secara mandiri maupun kelompok,
serta mampu mempertanggungjawabkan segala tugas individu maupun kelompok.
5.
Penerapan pembelajaran model Kolaborasi mempunyai
pengaruh positif, yaitu dapat meningkatkan motivasi belajar siswa.
B. Saran
Dari
hasil penelitian yang diperoleh dari uraian sebelumnya agar proses belajar
mengajar PAI lebih efektif dan lebih memberikan hasil yang optimal bagi siswa,
maka disampaikan saran sebagai berikut:
1.
Untuk melaksanakan model pengajaran kolaborasi memerlukan persiapan yang cukup matang,
sehingga guru harus mampu menentukan atau memilih topik yang benar-benar bisa
diterapkan dengan pembelajaran model Kolaborasi dalam proses belajar mengajar
sehingga diperoleh hasil yang optimal.
2.
Dalam rangka meningkatkan prestasi belajar siswa, guru
hendaknya lebih sering melatih siswa dengan berbagai metode pengajaran, walau
dalam taraf yang sederhana, dimana siswa nantinya dapat menemukan pengetahuan
baru, memperoleh konsep dan keterampilan, sehingga siswa berhasil atau mampu
memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya.
3.
Perlu adanya penelitian yang lebih lanjut, karena hasil
penelitian ini hanya dilakukan di … tahun pelajaran …
4.
Untuk penelitian yang serupa hendaknya dilakukan
perbaikan-perbaikan agar diperoleh hasil yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Muhammad. 1996. Guru Dalam Proses
Belajar Mengajar. Bandung:
Sinar Baru Algesindon.
Arikunto, Suharsimi. 1993. Manajemen
Mengajar Secara Manusiawi. Jakarta:
Rineksa Cipta.
Arikunto, Suharsimi. 2001. Dasar-dasar
Evaluasi Pendidikan. Jakarta:
Bumi Aksara.
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur
Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:
Rineksa Cipta.
Azhar, Lalu Muhammad. 1993. Proses Belajar
Mengajar Pendidikan. Jakarta:
Usaha Nasional.
Daroeso, Bambang. 1989. Dasar dan Konsep
Pendidikan Moral Pancasila. Semarang:
Aneka Ilmu.
Djamarah, Syaiful Bahri. 2002. Strategi
Belajar Mengajar. Jakarta:
Rineksa Cipta.
Djamarah, Syaiful Bahri. 2002. Psikologi
Belajar. Jakarta:
Rineksa Cipta.
Hadi, Sutrisno. 1982. Metodologi Research,
Jilid 1. Yogyakarta: YP. Fak. Psikologi
UGM.
Hamalik, Oemar. 2002. Psikologi Belajar dan
Mengajar. Bandung:
Sinar Baru Algesindo.
Hasibuan K.K. dan Moerdjiono. 1998. Proses
Belajar Mengajar. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Margono. 1997. Metodologi Penelitian
Pendidikan. Jakarta.
Rineksa Cipta.
Masriyah. 1999. Analisis Butir Tes. Surabaya: Universitas
Press.
Ngalim, Purwanto M. 1990. Psikologi
Pendidikan. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya.
Nur, Moh. 2001. Pemotivasian Siswa untuk
Belajar. Surabaya:
University Press. Univesitas Negeri Surabaya.
Rustiyah, N.K. 1991. Strategi Belajar
Mengajar. Jakarta:
Bina Aksara.
Sardiman, A.M. 1996. Interaksi dan Motivasi
Belajar Mengajar. Jakarta:
Bina Aksara.
Soekamto, Toeti. 1997. Teori Belajar dan
Model Pembelajaran. Jakarta:
PAU-PPAI, Universitas Terbuka.
Sukidin, dkk. 2002. Manajemen Penelitian
Tindakan Kelas. Surabaya:
Insan Cendekia.
Surakhmad, Winarno. 1990. Metode Pengajaran
Nasional. Bandung:
Jemmars.
Suryosubroto, B. 1997. Proses Belajar
Mengajar di Sekolah. Jakarta:
PT. Rineksa Cipta.
Syah, Muhibbin. 1995. Psikologi Pendidikan,
Suatu Pendekatan Baru. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Usman, Moh. Uzer. 2001. Menjadi Guru
Profesional. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Lampiran 1
Nilai Tes Formatif Pada Siklus I
No. Urut
|
Skor
|
Keterangan
|
No. Urut
|
Skor
|
Keterangan
|
T
|
TT
|
T
|
TT
|
1
|
100
|
Ö
|
|
12
|
80
|
Ö
|
|
2
|
60
|
|
Ö
|
13
|
50
|
|
Ö
|
3
|
80
|
Ö
|
|
14
|
70
|
Ö
|
|
4
|
60
|
|
Ö
|
15
|
70
|
Ö
|
|
5
|
70
|
Ö
|
|
16
|
80
|
Ö
|
|
6
|
80
|
Ö
|
|
17
|
70
|
Ö
|
|
7
|
70
|
Ö
|
|
18
|
50
|
|
Ö
|
8
|
50
|
|
Ö
|
19
|
60
|
|
Ö
|
9
|
70
|
Ö
|
|
20
|
100
|
Ö
|
|
10
|
40
|
|
Ö
|
21
|
70
|
Ö
|
|
11
|
90
|
Ö
|
|
22
|
70
|
Ö
|
|
Jumlah
|
770
|
7
|
4
|
Jumlah
|
770
|
8
|
3
|
Keterangan:
T : Tuntas
TT : Tidak tuntas
Jumlah Siswa yang tuntas : 15
Jumlah Siswa yang tidak tuntas :
7
Skor Maksimal Ideal :
2200
Skor Tercapai : 1540
Rata-rata Skor Tercapai : 70,00
Prosentase Ketuntasan :
68,18
Lampiran 3
Nilai Tes Formatif Pada Siklus III
No. Urut
|
Skor
|
Keterangan
|
No. Urut
|
Skor
|
Keterangan
|
T
|
TT
|
T
|
TT
|
1
|
100
|
Ö
|
|
12
|
90
|
Ö
|
|
2
|
70
|
Ö
|
|
13
|
70
|
Ö
|
|
3
|
90
|
Ö
|
|
14
|
90
|
Ö
|
|
4
|
80
|
Ö
|
|
15
|
90
|
Ö
|
|
5
|
80
|
Ö
|
|
16
|
90
|
Ö
|
|
6
|
90
|
Ö
|
|
17
|
80
|
Ö
|
|
7
|
90
|
Ö
|
|
18
|
60
|
|
Ö
|
8
|
60
|
|
Ö
|
19
|
80
|
Ö
|
|
9
|
90
|
Ö
|
|
20
|
100
|
Ö
|
|
10
|
60
|
|
Ö
|
21
|
80
|
Ö
|
|
11
|
100
|
Ö
|
|
22
|
80
|
Ö
|
|
Jumlah
|
910
|
9
|
2
|
Jumlah
|
910
|
10
|
1
|
Keterangan:
T : Tuntas
TT : Tidak tuntas
Jumlah Siswa yang tuntas : 19
Jumlah Siswa yang tidak tuntas :
3
Skor Maksimal Ideal :
2200
Skor Tercapai : 1820
Rata-rata Skor Tercapai : 82,73
Prosentase Ketuntasan :
86,36