PTK :
UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS
DAN SIKAP SISWA KELAS III MELALUI PENERAPAN MODEL
PEMBELAJARAN TEMATIK PADA SD NEGERI .........
.............................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Upaya peningkatan
kualitas pendidikan matematika di Indonesia dilakukan dengan berbagai cara,
antara lain melalui pembaharuan kurikulum dan penyediaan perangkat pendukungnya
seperti silabus, buku siswa, buku pedoman untuk guru, penyediaan alat peraga,
dan memberikan pelatihan bagi guru-guru matematika. Namun berbagai upaya
tersebut belum memberikan hasil yang menggembirakan terhadap peningkatan
kualitas pendidikan di tanah air. Berbagai penelitian dan hasil survei
mengungkapkan bahwa siswa di sekolah mempunyai kinerja yang kurang memuaskan
dalam matematika. Misalnya, seperti dikutip dalam Kusumah (2008:2) mengenai
data yang diperlihatkan oleh International Achievement Education (IAE)
yang menyebutkan bahwa siswa SD di Indonesia menempati peringkat ke-38 dari 39
negara peserta; demikian pula yang dikutip dari hasil penelitian TIMSS-R (The
Third International Mathematic and Science Study Repeat) tahun 2007
menyebutkan bahwa di antara 48 negara, prestasi siswa SMP Indonesia berada pada
urutan 36 untuk matematika. Adapun hasil nilai matematika pada ujian nasional,
pada semua tingkat dan jenjang pendidikan selalu terpaku pada angka yang
rendah. Padahal matematika sebagai ratunya ilmu sangat penting dikuasai oleh
siswa dalam menghadapi tantangan zaman yang semakin maju.
Bila dilihat dari hakikat
matematika, matematika adalah disiplin ilmu yang mempelajari tentang tata cara
berpikir dan mengolah logika. Pada matematika diletakkan dasar bagaimana
mengembangkan cara berpikir dan bertindak melalui aturan yang disebut dalil
(dapat dibuktikan) dan aksioma (tanpa pembuktian). Selanjutnya dasar
tersebut dianut dan digunakan oleh bidang studi atau ilmu lain (Suherman,
2003:298).
Ketika materi-materi
matematika dipandang sebagai sekumpulan keterampilan yang tidak berhubungan
satu sama lain, maka pembelajaran matematika hanya sebagai sebuah pengembangan
keterampilan belaka. Matematika seharusnya dipandang secara fleksibel dan dapat
memahami hubungan serta keterkaitan antara ide atau gagasan-gagasan matematika
yang satu dengan yang lainnya. Hal ini sesuai dengan salah satu standar
kurikulum yang dikemukakan oleh NCTM (1989:84) bahwa matematika sebagai
hubungan.
Pengembangan konsep dalam
materi-materi matematika seyogyanya tidak dibatasi oleh topik yang sedang
dibahas saja, melainkan dikaitkan pula dengan topik-topik yang relevan, bahkan
dengan mata pelajaran lain jika memungkinkan secara terpadu. Pembelajaran
matematika yang terpadu memfokuskan pada pendekatan pembelajaran antar topik bahkan
jika memungkinkan antar mata pelajaran. Konsep pembelajaran matematika terpadu
mempertimbangkan siswa sebagai pembelajar dan proses yang melibatkan
pengembangan berpikir dan belajar. Karena secara umum, para siswa sulit untuk
berpikir parsial tentang apa yang mereka pelajari, tetapi mereka cenderung
memandang dunia sekitar secara holistik.
Pembelajaran matematika
diharapkan berakhir dengan sebuah pemahaman siswa yang komprehensif dan
holistik (lintas topik bahkan lintas mata pelajaran jika memungkinkan) tentang
materi yang disajikan. Pemahaman siswa yang dimaksud tidak sekedar memenuhi
tuntutan pembelajaran secara substantif saja, namun diharapkan muncul efek
iringan dari pembelajaran matematika tersebut. Efek iringan tersebut
diantaranya : 1) lebih memahami keterkaitan antara satu topik matematika dengan
topik matematika yang lain (koneksi matematis); 2) lebih menyadari akan penting
dan strategisnya matematika bagi bidang lain; 3) lebih memahami peranan
matematika dalam kehidupan manusia; 4) lebih mampu berpikir logis, kritis, dan
sistematis; 5) lebih kreatif dan inovatif dalam mencari solusi pemecahan sebuah
masalah; dan 6) lebih peduli pada lingkungan sekitarnya.
Ketercapaian dua sasaran
pembelajaran matematika secara substantif dan efek iringannya akan tercapai
manakala siswa diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk belajar matematika
secara komprehensif dan holistik. Titik berat pemberian materi pelajaran harus
digeser menjadi pemberian kemampuan yang relevan dengan kebutuhan siswa untuk
belajar.
Dalam pembelajaran matematika,
seorang guru seyogyanya tidak menyekat secara ekstrim pelajaran matematika
sebagai penyajian materi-materi matematika belaka. Hal ini akan mengakibatkan
kemampuan koneksi matematis siswa terhambat, karena siswa tidak diberikan kesempatan
untuk melihat keterkaitan-keterkaitan materi matematika dengan unsur lainnya.
Topik-topik dalam matematika sebaiknya tidak disajikan sebagai materi secara
parsial, tetapi harus diintegrasikan antara satu topik dengan topik lainnya,
bahkan dengan mata pelajaran lain. Matematika harus diperkenalkan dan disajikan
ke dalam kehidupan nyata. Menyajikan matematika hanya sebagai kumpulan
fakta-fakta saja tidak akan menumbuhkan kebermaknaan dan hakikat matematika
sebagai queen of the science dan sebagai pelayan bagi ilmu lain.
Mengajarkan matematika sekedar
sebagai sebuah penyajian tentang fakta-fakta hanya akan membawa sekelompok
orang menjadi penghapal yang baik, tidak cerdas melihat hubungan sebab akibat,
tidak pandai memecahkan masalah. Padahal dalam menghadapi perubahan masa depan
yang cepat, bukan pengetahuan saja yang diperlukan, tetapi kemampuan mengkaji
dan berpikir (bernalar) secara logis, kritis dan sistematis.
Saat ini, pelaksanaan kegiatan
pembelajaran matematika maupun mata pelajaran lainnya di SD kelas rendah
(1, 2 dan 3) dilakukan secara terpisah, misalnya IPA 2 jam pelajaran, Matematika
5 jam pelajaran, dan Bahasa Indonesia 5 jam pelajaran. Dalam pelaksanaan
kegiatannya dilakukan secara murni mata pelajaran yaitu hanya mempelajari
materi yang berhubungan dengan mata pelajaran itu. Sesuai dengan tahapan
perkembangan anak yang masih melihat segala sesuatu sebagai suatu keutuhan (berpikir holistik),
pembelajaran yang menyajikan mata pelajaran secara terpisah akan menyebabkan
kurang mengembangkan anak untuk berpikir
holistik. Demikian juga untuk pelaksanaan kegiatan pembelajaran matematika
yang terpisah kurang dapat
mengembangkan kemampuan koneksi matematis para siswanya. Karena dengan
pembelajaran matematika yang terpisah akan membuat kesulitan bagi anak
dalam menemukan keterkaitan-keterkaitan antar mata pelajaran maupun dengan
kehidupan sehari-harinya. Hal ini dapat dibuktikan dalam beberapa hal,
diantaranya: siswa lebih mudah mengerjakan soal matematika yang berbentuk isian
langsung daripada mengerjakan soal cerita. Di dalam soal cerita, selain siswa
harus mampu menguasai materi matematika juga siswa dituntut untuk memahami
bahasanya. Di sinilah letak kemampuan koneksi matematis diperlukan.
Selain itu, dengan
pelaksanaan pembelajaran yang terpisah, muncul permasalahan pada kelas
rendah (1, 2 dan 3) antara lain adalah tingginya angka mengulang kelas. Angka
mengulang kelas siswa kelas I SD jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kelas
yang lain. Data tahun 2000/2001 yang disebutkan Balitbang Depdiknas dalam
Buletin PADU (2005), memperlihatkan bahwa angka mengulang kelas pada kelas satu
sebesar 11,46% sementara pada kelas dua 7,44%, kelas tiga 6,23%, kelas empat 4,71%,
kelas lima 3,27%, dan kelas enam 0,41%.
Salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan di atas, perlu diterapkan sistem
pembelajaran yang dapat memadukan antara satu mata pelajaran dengan mata
pelajaran lainnya. Sebagaimana disebutkan oleh Iskandar (Sukayati, 2004), bagi
guru sekolah dasar kelas rendah yang siswanya masih berperilaku dan berpikir
kongkrit, pembelajaran sebaiknya dirancang secara terpadu dengan menggunakan
tema sebagai pemersatu kegiatan pembelajaran. Dengan cara ini maka pembelajaran
untuk siswa kelas rendah akan menjadi lebih bermakna, lebih utuh dan sangat
kontekstual dengan dunia anak-anak. Alasan pertama yang mendasari hal ini
adalah karena latar belakang empiris. Kenyataan dalam kehidupan sehari-hari
tidak satupun fenomena alam yang terjadi secara terpisah atau berdiri sendiri,
namun justru bersifat kompleks dan terpadu. Alasan kedua, yaitu tuntutan dan
perkembangan IPTEK yang begitu pesat dan kompleks, secara ilmiah membutuhkan
penyikapan secara realistis. Dengan demikian, peningkatan kualitas pembelajaran
dan bahan ajar di sekolah harus diperkaya dengan kenyataan hidup dan tuntutan
zaman.
Agar proses pembelajaran dapat mengakomodasikan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta permasalahan yang begitu kompleks dalam
masyarakat, maka dapat diterapkan pembelajaran tematik. Mengingat, dengan
pembelajaran tematik siswa tidak terpisah dengan kehidupan nyata dan tidak
‘gagap’ dalam menghadapi perkembangan zaman. Pembelajaran tematik akan
menciptakan sebuah pembelajaran terpadu yang akan mendorong keterlibatan siswa
dalam belajar, membuat siswa aktif terlibat dalam proses pembelajaran, dan
menciptakan situasi pemecahan masalah sesuai dengan kebutuhan siswa.
Pembelajaran tematik dapat pula dipandang sebagai upaya untuk memperbaiki
kualitas pendidikan, terutama untuk mengimbangi padatnya materi kurikulum.
Pembelajaran tematik memberi peluang pembelajaran terpadu yang lebih menekankan
keterlibatan anak dalam belajar, membuat anak terlibat secara aktif dalam
proses pembelajaran dan pemberdayaan dalam memecahkan masalah, tumbuhnya
kreativitas sesuai kebutuhan siswa. Sehingga
diharapkan siswa dapat belajar dan bermain dengan kreativitas yang tinggi.
Pendekatan tematik dapat
dikatakan sebagai suatu pendekatan belajar mengajar yang melibatkan beberapa
mata pelajaran untuk memberikan pengalaman bermakna, karena dalam pembelajaran
tematik anak akan memahami konsep-konsep yang mereka pelajari melalui
pengamatan langsung dan menghubungkannya dengan konsep lain yang mereka pahami
(koneksi). Demikian halnya dalam upaya meningkatkan kemampuan matematika
sekolah dasar, pembelajaran tematik merupakan salah satu alternatif untuk
mencapai tujuan tersebut. Fenomena yang terjadi sekarang adalah banyak siswa pada mata pelajaran matematika
memiliki tingkat koneksi matematis yang rendah. Hal ini dibuktikan banyak siswa
yang tidak mampu menerapkan konsep matematika terhadap disiplin ilmu lain
maupun dalam memecahkan masalah matematika dalam kehidupan sehari-harinya. Fenomena
ini juga terjadi di SD Negeri 2 Birem Rayeuk Kecamatan Birem Bayeun Kabupaten
Aceh Timur, dimana ditemukan bahwa peserta didik kurang mampu menyelesaikan
soal matematika yang berupa soal cerita yang berkaitan dengan kehidupan
sehari-hari. Sehingga nilai rata-rata matematika dalam kurun waktu tiga tahun
terakhir selalu berada di bawah mata pelajaran yang lain seperti yang tertera
pada tabel di bawah ini.
Daftar Nilai Rata-rata Pelajaran Matematika Kelas III SDN 2 Birem Rayeuk
No
|
Tahun Pelajaran
|
Nilai Rata-Rata
|
1
|
2005 – 2006
|
5,60
|
2
|
2006 - 2007
|
5,85
|
3
|
2007 - 2008
|
6,00
|
Sumber SDN 2 Birem Rayeuk
Berdasarkan uraian di atas, peneliti ingin melakukan penelitian dengan
judul ” Upaya meningkatkan kemampuan koneksi matematis dan sikap siswa melalui
penerapan pembelajaran tematik di SDN 2 Birem Rayeuk Kecamatan Birem Bayeun
Kabupaten Aceh Timur”.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penelitian
ini ingin menjawab dua pertanyaan mendasar
yang dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah terdapat peningkatan yang
signifikan terhadap kemampuan koneksi matematis siswa melalui penerapan pembelajaran
tematik. ?
2. Bagaimana sikap siswa terhadap matematika
dalam pembelajaran tematik?
C.
Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah
yang telah dikemukakan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk :
1. Untuk mengetahui apakah pembelajaran
matematika melalui penerapan pendekatan tematik dapat meningkatkan kemampuan
belajar siswa..
2. Untuk mengetahui sikap siswa terhadap
matematika dalam pembelajaran tematik
D.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap
peningkatan kuantitas dan kualitas proses pembelajaran matematika, manfaat dan
kegunaannya antara lain :
1.
Bagi guru :
a. Dapat
dijadikan sebagai alternatif dalam menggunakan model pembelajaran tematik pada
pembelajaran matematika. Sehingga
dengan model pembelajaran tematik dalam menyampaikan materi matematika dapat
menumbuhkembangkan minat belajar matematika siswa.
b. Dapat dijadikan salah satu
sumber tambahan informasi bagi guru ataupun calon guru di SD dalam usaha
meningkatkan hasil belajar siswa khususnya pada mata pelajaran matematika.
2. Bagi siswa, melalui model pembelajaran
tematik, diharapkan kemampuan koneksi matematisnya akan semakin meningkat. Mereka
diharapkan akan termotivasi, merasa tertantang, bersemangat, kritis, kreatif
serta menumbuhkan sikap mandiri, tidak mudah putus asa dalam belajar matematika
yang akhirnya akan berdampak pada peningkatan hasil belajar matematika.
3. Bagi sekolah pada umumnya diharapkan dapat
mengembangkan dan menerapkan model pembelajaran tematik pada materi-materi lain
yang esensial khususnya dalam matematika maupun mencoba untuk mata pelajaran
lainnya.
E. Definisi Operasional
1. Pembelajaran
Tematik
Pembelajaran
tematik merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang menggabungkan beberapa mata pelajaran dalam satu tema.
Dengan demikian, proses pembelajarannya mengelola pembelajaran yang
mengintegrasikan materi dari beberapa mata pelajaran dalam satu topik
pembelajaran atau satu tema.
2. Koneksi
Matematis
Koneksi
matematis merupakan pengaitan matematika, yang meliputi: menggunakan matematika
dalam mata pelajaran lain; menggunakan matematika dalam kehidupan sehari-hari;
memahami hubungan antar topik matematika dan menggunakan koneksi antar topik
matematika. Yang dimaksud kemampuan koneksi matematis dalam penelitian ini
adalah kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal-soal yang berhubungan dengan
koneksi matematis. Kemampuan tersebut secara umum dilihat dari perolehan skor
dalam mengerjakan soal.
F. Hipotesis Penelitian
1. Terdapat peningkatan yang signifikan tergadap
kemampuan koneksi matematis siswa melalui penerapan pembelajaran tematik.
2. Terjadi perubahan sikap dan prilaku siswa
dalam mengikuti pembelajaran matematika melalui penerapan pembelajaran tematik.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Model Pembelajaran Tematik
Penetapan pendekatan tematik
dalam pembelajaran di kelas rendah oleh Badan Standar Nasional Pendidikan
(BSNP), tidak lepas dari perkembangan akan konsep pembelajaran terpadu. Menilik
perkembangan konsep pendekatan terpadu di Indonesia, pada saat ini model
pembelajaran yang dipelajari dan berkembang adalah model pembelajaran terpadu
yang dikemukakan oleh Fogarty. Menurut Hesty (2008:7), model pembelajaran
terpadu yang dikemukakan oleh Fogarty ini berawal dari konsep pendekatan
interdisipliner yang dikembangkan oleh Jacob (1989). Fogarty menyatakan
bahwa ada 10 model integrasi pembelajaran, yaitu model fragmented, connected,
nested, sequenced, shared, webbed, threaded, integrated, immersed, dan networked.
Pembelajaran tematik dalam penelitian ini merupakan
pembelajaran terpadu model
webbing (jaring laba-laba) yang menggunakan
tema untuk mengaitkan beberapa mata pelajaran sehingga dapat memberikan
pengalaman bermakna kepada siswa. Tema adalah pokok pikiran atau gagasan pokok
yang menjadi pokok pembicaraan (Poerwadarminta, dalam PUSKUR 2006). Menurut
Sa’ud (2006:12), p
endekatan tematik
(thematic approach) dalam pembelajaran terpadu merupakan suatu proses
dan strategi yang mengintegrasikan isi bahasa (membaca, menulis, berbicara, dan
mendengar) dan mengkaitkannya dengan mata pelajaran yang lain. Konsep ini
mengintegrasikan bahasa (language arts contents) sebagai pusat
pembelajaran yang dihubungkan dengan berbagai tema atau topik pembelajaran.
Joni dalam Trianto (2007:6)
mengungkapkan bahwa pembelajaran tematik merupakan suatu sistem pembelajaran
yang memungkinkan siswa, baik secara individual maupun kelompok, aktif mencari,
menggali dan menemukan konsep serta prinsip keilmuan secara holistik, bermakna,
dan otentik. Sedangkan menurut Hadisubrata, pembelajaran tematik adalah
pembelajaran yang diawali dengan suatu pokok bahasan atau tema tertentu yang
dikaitkan dengan pokok bahasan lain, konsep tertentu dikaitkan dengan konsep
lain, yang dilakukan secara spontan atau direncanakan, baik dalam satu bidang
studi atau lebih, dan dengan beragam pengalaman belajar anak, maka pembelajaran
menjadi lebih bermakna.
Jika dibandingkan dengan
pendekatan konvensional, maka pembelajaran tematik tampak lebih menekankan pada
keterlibatan siswa dalam belajar, sehingga siswa aktif terlibat dalam proses
pembelajaran untuk pembuatan keputusan. Hal ini sesuai dengan panduan Kurikulum
Berbasis Kompetensi Depdiknas (2003) yang menyatakan bahwa pengalaman belajar
siswa menempati posisi penting dalam usaha meningkatkan kualitas lulusan.
Dengan
demikian, yang dimaksud pembelajaran tematik dalam penelitian ini adalah suatu
strategi pembelajaran yang melibatkan beberapa mata pelajaran dalam satu tema,
dimana keterpaduannya bersifat longgar dan lebih menonjolkan unsur tematiknya.
Dengan tema diharapkan akan memberikan banyak keuntungan, diantaranya: (1) Siswa
mudah memusatkan perhatian pada suatu tema tertentu, (2) Siswa mampu
mempelajari pengetahuan dan mengembangkan berbagai kompetensi dasar antar mata
pelajaran dalam tema yang sama, (3) Pemahaman terhadap materi pelajaran lebih
mendalam dan berkesan, (4) Kompetensi dasar dapat dikembangkan lebih baik
dengan mengaitkan mata pelajaran lain dengan pengalaman pribadi siswa, (5)
Siswa mampu lebih merasakan manfaat dan makna belajar karena materi disajikan
dalam konteks tema yang jelas, (6) Siswa lebih bergairah belajar karena dapat
berkomunikasi dalam situasi nyata, untuk mengembangkan suatu kemampuan dalam
satu mata pelajaran sekaligus mempelajari mata pelajaran lain, dan (7) Guru
dapat menghemat waktu karena mata pelajaran yang disajikan secara tematik dapat
dipersiapkan sekaligus dan diberikan dalam dua atau tiga pertemuan, waktu
selebihnya dapat digunakan untuk kegiatan remedial, pemantapan, atau pengayaan.
Dalam
pembahasannya, tema itu ditinjau dari berbagai mata pelajaran atau lebih
dikenal juga dengan bentuk webbing (jaring laba-laba). Sebagai contoh, tema
“Air” dapat ditinjau dari mata pelajaran IPA dan matematika. Lebih luas lagi,
tema itu dapat ditinjau dari bidang studi lain, seperti IPS, bahasa, dan seni.
Pembelajaran tematik menyediakan keluasan dan kedalaman implementasi kurikulum,
menawarkan kesempatan yang sangat banyak pada siswa untuk memunculkan dinamika
dalam pendidikan. Unit yang tematik adalah epitome dari seluruh bahasan
pembelajaran yang memfasilitasi siswa untuk secara produktif menjawab pertanyaan
yang dimunculkan sendiri dan memuaskan rasa ingin tahu dengan penghayatan
secara alamiah tentang dunia di sekitar mereka.
Apabila
dikaitkan dengan tingkat perkembangan anak, pembelajaran tematik merupakan
pendekatan pembelajaran yang memperhatikan dan menyesuaikan pemberian konsep
sesuai tingkat perkembangan anak. Pendekatan berangkat dari teori pembelajaran
yang menolak drill-system sebagai dasar pembentukan pengetahuan dan
struktur intelektual anak (Trianto, 2006:7). Landasan pembelajaran tematik
mencakup landasan filosofis, landasan psikologis dan landasan yuridis.
Landasan
filosofis dalam hal ini yaitu progresivisme, konstruktivisme dan humanisme.
Aliran progresivisme memandang proses pembelajaran perlu ditekankan pada
pembentukkan kreativitas, pemberian sejumlah kegiatan, suasana alamiah
(natural), dan memperhatikan pengalaman siswa. Aliran kostruktivisme melihat
pengalaman langsung siswa sebagai kunci pembelajaran. Menurut aliran ini,
pengetahuan adalah hasil konstruksi atau bentukan manusia. Manusia
mengkonstruksi pengetahuannya melalui interaksi dengan objek, fenomena,
pengalaman dan lingkungannya. Pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja
dari seorang guru kepada anak, tetapi harus diinterpretasikan sendiri oleh
masing-masing siswa. Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi, melainkan suatu
proses yang berkembang terus menerus. Keaktifan siswa yang diwujudkan oleh rasa
ingin tahunya sangat berperan dalam perkembangan pengetahuannya. Aliran humanisme melihat siswa dari segi
keunikan/kekhasannya, potensinya, dan motivasi yang dimilikinya.
Landasan psikologis, yaitu psikologi perkembangan peserta didik dan
psikologi belajar; Psikologi perkembangan diperlukan terutama dalam menentukan
isi/materi pembelajaran tematik yang diberikan kepada siswa agar tingkat
keluasan dan kedalamannya sesuai dengan tahap perkembangan peserta didik.
Psikologi belajar memberikan konstribusi dalam hal bagaimana isi/materi
pembelajaran tematik tersebut disampaikan kepada siswa dan bagaimana pula siswa
harus mempelajarainya.
Landasan yuridis, yaitu UU No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak yang
menyatakan bahwa setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam
rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat
dan bakatnya (pasal 9). Landasan yuridis yang kedua adalah UU No. 20 Tahun 2003
tentang sistem pendidikan nasional yang
menyatakan bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak
mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya
(Bab V pasal 1-b).
Pembelajaran
tematik lebih menekankan pada keterlibatan siswa dalam proses belajar secara
aktif dalam proses pembelajaran, sehingga siswa dapat memperoleh pengalaman
langsung dan terlatih untuk dapat menemukan sendiri berbagai pengetahuan yang
dipelajarinya. Melalui pengalaman langsung siswa akan memahami konsep-konsep
yang mereka pelajari dan menghubungkannya dengan konsep lain yang telah
dipahaminya. Teori pembelajaran ini dimotori oleh para tokoh psikologi Gestalt,
termasuk Piaget yang menekankan bahwa pembelajaran haruslah bermakna dan
berorientasi pada kebutuhan dan perkembangan anak.
Pembelajaran
tematik juga lebih menekankan pada penerapan konsep belajar sambil melakukan
sesuatu (learning by doing). Pengalaman belajar yang menunjukan kaitan
unsur-unsur konseptual menjadikan proses pembelajaran lebih efektif. Kaitan
konseptual antar mata pelajaran yang dipelajari akan membentuk skema, sehingga
siswa akan memperoleh keutuhan dan kebulatan pengetahuan. Selain itu, dengan
penerapan pembelajaran tematik di sekolah dasar akan sangat membantu siswa,
karena sesuai dengan tahap perkembangan siswa yang masih melihat segala sesuatu
sebagai satu keutuhan (holistik).
Sebagai
suatu model pembelajaran di sekolah dasar, pembelajaran tematik memiliki
karakteristik sebagai berikut : (1) Pembelajaran tematik berpusat pada siswa (student
centered), hal ini sesuai dengan pendekatan belajar modern yang lebih
banyak menempatkan siswa sebagai subjek belajar sedangkan guru sebagai
fasilitator yaitu memberikan kemudahan-kemudahan kepada siswa untuk melakukan
aktivitas belajar; (2) Pembelajaran tematik dapat memberikan pengalaman
langsung kepada siswa (direct experiences). Dengan pengalaman langsung
ini, siswa diharapkan pada sesuatu yang nyata (kongkrit) sebagai dasar untuk
memahami hal-hal yang lebih abstrak; (3) Dalam pembelajaran tematik, pemisahan
antar mata pelajaran menjadi tidak begitu jelas. Fokus pembelajaran diarahkan kepada pembahasan
tema-tema yang paling dekat berkaitan dengan kehidupan siswa; (4) Pembelajaran
tematik menyajikan konsep-konsep dari berbagai mata pelajaran dalam proses
pembelajaran. Dengan demikian, siswa mampu memahami konsep-konsep tersebut
secara utuh. Hal ini diperlukan untuk membantu siswa dalam memecahkan
masalah-masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari; (5) Pembelajaran
tematik bersifat luwes (fleksibel) dimana guru dapat mengaitkan bahan ajar dari
satu mata pelajaran dengan mata pelajaran lainnya, bahkan mengaitkannya dengan
kehidupan siswa dan keadaan lingkungan dimana sekolah dan siswa berada; (6)
Siswa diberi kesempatan untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya sesuai
dengan minat dan kebutuhannya; dan (7) Pembelajaran tematik menggunakan prinsip
belajar sambil bermain dan menyenangkan. (PUSKUR, 2006:6)
Di samping
karakteristik di atas, pembelajaran tematik juga memiliki beberapa keistimewaan
antara lain : (1) Pengalaman dan kegiatan belajar sangat relevan dengan tingkat
perkembangan dan kebutuhan anak usia sekolah dasar; (2) Kegiatan-kegiatan yang
dipilih dalam pelaksanaan pembelajaran tematik bertolak dari minat dan
kebutuhan siswa; (3) Kegiatan belajar-mengajar lebih bermakna dan berkesan bagi
siswa sehingga hasil belajar dapat bertahan lebih lama; (4) Membantu
mengembangkan keterampilan berpikir siswa; (5) Menyajikan kegiatan belajar yang
bersifat pragmatis sesuai dengan permasalahan yang sering ditemui siswa dalam
lingkungannya; dan (6) Mengembangkan keterampilan sosial siswa, seperti
kerjasama, toleransi, komunikasi dan tanggap terhadap gagasan orang lain.
Berdasarkan
karakteristik dan keistimewaan-keistimewaan di atas, pelaksanaan pembelajaran
tematik akan sangat bermanfaat apabila diterapkan pada anak sekolah dasar. Ciri
utama dalam pembelajaran tematik adalah penggunaan tema dalam pelaksanaan
pembelajarannya. Melalui suatu tema, beberapa kompetensi dasar dan indikator
serta isi mata pelajaran dapat digabungkan sehingga akan terjadi penghematan,
karena tumpang tindih materi dapat dikurangi bahkan dihilangkan. Pemaduan antar
mata pelajaran inipun akan membawa dampak bagi siswa yaitu mereka akan mampu
melihat hubungan-hubungan yang bermakna antar mata pelajaran sebab isi materi
pembelajaran lebih berperan sebagai sarana atau alat, bukan tujuan akhir.
Dengan melalui tema, pembelajaran menjadi utuh sehingga siswa akan mendapat
pengertian mengenai proses dan materi yang tidak terpecah-pecah. Dengan adanya
pemaduan antar mata pelajaran ini juga maka penguasaan konsep akan semakin baik
dan meningkat.
B.
Koneksi Matematis
Koneksi matematis memberikan gambaran tentang bagaimana
sifat materi matematika yang diberikan dalam kegiatan pembelajaran. Pertanyaan
ini muncul karena topik-topik dalam matematika banyak memiliki keterkaitan dan
juga banyak memiliki relevansi dan manfaat dengan bidang lain, baik dengan mata
pelajaran lain maupun dalam kehidupan sehari-hari. Sehubungan dengan hal
tersebut maka dalam pembelajaran matematika perlu adanya penekanan kepada
materi yang mengarah kepada adanya keterkaitan baik dengan matematika sendiri
maupun dengan bidang lain. Matematika terdiri atas beberapa cabang dan tiap
cabang tidak bersifat tertutup yang masing-masing berdiri sendiri namun
merupakan suatu keseluruhan yang padu. Melalui koneksi matematis diupayakan
agar bagian-bagian itu saling berhubungan sehingga siswa tidak memandang sempit
terhadap matematika.
Koneksi matematis berasal
dari bahasa Inggris yakni mathematical connection. Istilah ini dipopulerkan oleh NCTM dan dijadikan
sebagai salah satu standar kurikulum. Menurut NCTM (1989 : 84) tujuan
koneksi matematis di sekolah adalah “... To help student broaden their perspective,
to view mathematics as an integrated whole rather than as an isolated set of
topics, and to knowledge its relevance
and usefulness both in and out of school”.
Dari pernyataan ini,
terdapat tiga tujuan kehadiran koneksi dalam matematika di sekolah yaitu
memperluas wawasan pengetahuan siswa, memandang matematika sebagai suatu
keseluruhan yang padu bukan sebagai materi yang berdiri sendiri dan mengenal
relevansi dan manfaat matematika baik di sekolah maupun di luar sekolah. Hal
ini sesuai dengan salah satu tujuan umum diberikannya matematika pada jenjang
pendidikan dasar dan menengah yang tertuang dalam Garis-Garis Besar Program
Pengajaran (GBPP) matematika yakni mempersiapkan siswa agar dapat menggunakan matematika
dan pola pikir matematika dalam kehidupan sehari-hari dan dalam mempelajari
berbagai ilmu pengetahuan.
Dari uraian di atas diketahui bahwa kemampuan
koneksi matematis merupakan suatu kemampuan yang perlu dimiliki oleh siswa. Menurut
Sumarmo (2003), ada beberapa indikator dari kemampuan koneksi matematis yang
dapat dikembangkan yaitu : (1) Mencari hubungan berbagai representasi konsep
dan prosedur, (2) Memahami hubungan antar topik matematika, (3) Menggunakan
matematika dalam bidang studi lain atau kehidupan sehari-hari, (4) Memahami
representasi ekuivalen konsep atau prosedur yang sama, (5) Mencari koneksi
antar topik matematika, dan antara topik matematika dengan topik yang lain.
Kusumah (2008:19) mengungkapkan bahwa koneksi
matematis dapat diartikan sebagai keterkaitan antara konsep-konsep matematika
secara internal yaitu berhubungan dengan matematika itu sendiri ataupun
keterkaitan secara eksternal, yaitu matematika dengan bidang lain, baik bidang
studi lain maupun dengan kehidupan sehari-hari. Melalui peningkatan kemampuan
koneksi matematis, kemampuan berpikir dan wawasan siswa terhadap matematika
dapat menjadi semakin luas dan kokoh. Topik-topik dalam matematika memiliki
keterkaitan satu sama lain dan juga memiliki relevansi dan manfaat baik dengan
bidang lain maupun dengan kehidupan sehari-hari. Keterkaitan tersebut merupakan
koneksi matematis. Sehubungan dengan hal tersebut maka dalam pembelajaran
matematika perlu adanya penekanan terhadap koneksi, baik dengan matematika itu
sendiri, dengan pelajaran lain maupun dengan kehidupan sehari-hari.
NCTM (Yaniawati, 2001:24) membagi koneksi
matematis menjadi tiga macam, yaitu: (1) koneksi antar topik matematika, (2)
koneksi dengan disiplin ilmu yang lain, dan (3) koneksi dalam kehidupan
sehari-hari. Pembagian ini senada dengan pendapat Mikovch dan Monroe (1994)
yang menyatakan tiga koneksi matematis yaitu koneksi dalam matematika, koneksi
untuk semua kurikulum, dan koneksi dengan konteks dunia nyata.
Kutz (1991) berpendapat hampir serupa, ia
menyatakan koneksi matematis berkaitan dengan koneksi internal dan koneksi
eksternal. Koneksi internal meliputi koneksi antar topik matematika sedangkan
koneksi eksternal meliputi koneksi dengan mata pelajaran lain dan koneksi
dengan kehidupan sehari-hari. Sedangkan Riedesel membagi koneksi matematika
menjadi lima macam, yaitu: (1) koneksi antar topik dalam matematika, (2)
koneksi antara beberapa macam tipe pengetahuan, (3) koneksi antara beberapa
macam representasi, (4) koneksi dari matematika ke daerah kurikulum lain, dan
(5) koneksi siswa dengan matematika.
Bruner (Ruseffendi, 1991:152) mengemukakan bahwa
dalam matematika setiap konsep itu berkaitan dengan konsep lain. Bagitu pula
antara yang lainnya misalnya antara dalil dan dalil, antara teori dan teori,
antara topik dengan topik, antara cabang matematika (aljabar dan geometri
misalnya). Oleh karena itu, agar siswa dalam belajar metematika lebih berhasil,
siswa harus lebih banyak diberi kesempatan untuk melihat kaitan-kaitan itu.
Dari beberapa pendapat di atas dapat diketahui
bahwa koneksi matematika tidak hanya mencakup masalah yang berhubungan dengan
matematika saja, namun juga dengan pelajaran lain serta dalam kehidupan
sehari-hari. Koneksi matematika yang dimaksud dalam penelitian ini meliputi
koneksi internal dan koneksi eksternal sesuai dengan pendapat Kutz. Sedangkan
kemampuan koneksi matematika yang
dimaksud adalah kemampuan siswa dalam mengaitkan topik matematika yang sedang
dibahas dengan topik matematika lainnya, dengan mata pelajaran lain atau dengan
kehidupan sehari-hari. Kemampuan tersebut secara umum dilihat dari kemampuan
siswa dalam menyelesaikan soal-soal koneksi, baik soal koneksi internal maupun
soal koneksi eksternal.
1. Koneksi internal (koneksi antar topik
matematika)
Banyak di antara topik matematika yang sebenarnya
memiliki koneksi satu sama lain dalam suatu permasalahan matematika.
Contoh soal: Diketahui panjang suatu persegi panjang adalah 10 cm dan lebarnya
adalah setengah dari panjangnya. Berapa dm kah keliling persegi panjang
tersebut!
Topik-topik yang terkait dengan soal di atas
adalah geometri bangun datar yaitu persegi panjang, satuan pengukuran dan
operasi bentuk pecahan.
2. Koneksi eksternal (koneksi topik
matematika dengan topik diluar matematika)
Koneksi eksternal terdiri dari koneksi dengan mata
pelajaran lain atau koneksi dengan kehidupan sehari-hari. Matematika sebagai
suatu disiplin ilmu dapat bermanfaat baik bagi pengembangan disiplin ilmu lain,
maupun dalam memecahkan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari.
Contoh
soal: Ibu pergi ke pasar membeli 3
liter beras dengan harga Rp.2500/liter, gula pasir ½ kg dengan harga Rp.2000, 3
ikat kangkung dengan harga Rp.1000/ikat. Pergi dan pulangnya Ibu naik becak
dengan ongkos Rp.3000. Berapa seluruh uang yang ibu keluarkan?
Topik matematika tersebut
terkait dengan permasalahan sehari-hari dan disiplin ilmu lain yaitu mata
pelajaran IPS dengan topik kegiatan jual beli.
Dari uraian di atas dapat
disimpulkan bahwa koneksi matematika merupakan pengaitan matematika dengan
pelajaran lain, atau dengan topik lain, yang meliputi: memahami hubungan antar
topik matematika; menggunakan matematika dalam bidang studi lain atau kehidupan
sehari-hari; menggunakan koneksi antar topik matematika, dan antar topik
matematika dengan topik lain.
C. Sikap
Siswa Terhadap Matematika
Sesuatu yang belum diketahui
dapat mendorong siswa belajar untuk mencari tahu. Siswa pun mengambil sikap
seiring dengan minatnya terhadap suatu objek. Siswa mempunyai keyakinan dan
pendirian tentang apa yang seharusnya dilakukannya. Sikap itulah yang mendasari dan mendorong ke arah
perbuatan belajar. Jadi,
sikap siswa dapat dipengaruhi oleh motivasi sehingga ia dapat menentukan sikap
belajar.
Siswa mempunyai sikap positif
terhadap suatu objek yang bernilai dalam pandangannya, dan ia akan bersikap
negatif terhadap objek yang dianggapnya tidak bernilai dan atau juga merugikan.
Sikap ini kemudian mendasari dan mendorong ke arah sejumlah perbuatan yang satu
sama lainnya berhubungan. Hal yang menjadi objek sikap dapat bermacam-macam.
Sekalipun demikian, siswa hanya dapat mempunyai sikap terhadap hal-hal yang
diketahuinya. Jadi harus ada sekedar informasi pada siswa untuk dapat bersikap
terhadap suatu objek. Informasi merupakan kondisi pertama untuk suatu sikap.
Dari informasi yang didapatkan itu akan menimbulkan berbagai macam perasaan
positif atau negatif terhadap suatu objek.
Dari pendapat di atas dapat
dijelaskan bahwa munculnya sikap seorang siswa diiringi oleh minatnya terhadap
suatu objek. Kemudian diyakini bahwa objek yang menarik minat siswa tersebut
misalnya terhadap proses pembelajaran di kelas akan menjadi dasar motivasi
siswa sehingga akan menentukan sikap siswa itu untuk belajar.
Begitu
halnya dalam pembelajaran matematika, tujuan pendidikan matematika antara lain
adalah penekanannya pada pembentukan sikap siswa. Dengan kata lain, dalam
proses pembelajaran matematika perlu diperhatikan sikap positif siswa terhadap
matematika. Hal ini penting mengingat sikap positif terhadap matematika
berkorelasi positif dengan prestasi belajar matematika (Ruseffendi, 1988).
Sikap merupakan suatu kecenderungan seseorang untuk menerima atau menolak
sesuatu, konsep, kumpulan ide, atau kelompok individu. Matematika dapat
diartikan sebagai suatu konsep atau ide abstrak yang penalarannya dilakukan
dengan cara deduktif aksiomatik. Hal ini dapat disikapi oleh siswa secara
berbeda-beda, mungkin menerima dengan baik atau sebaliknya. Dengan demikian,
sikap siswa terhadap matematika adalah kecenderungan untuk menerima atau
menolak matematika.
Berkaitan dengan sikap positif siswa terhadap matematika, beberapa
pendapat, antara lain Ruseffendi (1988), mengatakan bahwa anak-anak menyenangi
matematika hanya pada permulaan mereka berkenalan dengan matematika yang
sederhana. Makin tinggi tingkatan sekolahnya dan makin sukar matematika yang
dipelajarinya akan semakin berkurang minatnya. Menurut Begle (1979), siswa yang
hampir mendekati sekolah menengah mempunyai sikap positif terhadap matematika
yang secara perlahan menurun. Siswa yang memiliki sikap positif terhadap
matematika memiliki ciri antara lain terlihat sungguh-sungguh dalam belajar
matematika, menyelesaikan tugas dengan baik dan tepat waktu, berpartisipasi
aktif dalam diskusi, mengerjakan tugas-tugas pekerjaan rumah dengan tuntas dan
selesai pada waktunya.
Dengan demikian, untuk menumbuhkan sikap positif terhadap matematika, perlu
diperhatikan agar penyampaian materi matematika dapat menyenangkan, mudah
dipahami, tidak menakutkan, dan menunjukkan bahwa matematika banyak
kegunaannya. Dalam menyampaikan materi matematika, siswa harus diberikan
kesempatan seluas-luasnya untuk melihat keterkaitan-keterkaitan antar topik
matematika, keterkaitan antara matematika dengan mata pelajaran lain dan
keterkaitan matematika dengan kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, materi
harus dipilih dan disesuaikan dengan lingkungan yang berkaitan dengan kehidupan
sehari-hari (kontekstual) dan tingkat kognitif siswa. Di samping itu,
pelaksanaan pembelajarannya harus dapat menyajikan keterkaitan konsep-konsep
dari berbagai mata pelajaran. Pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan hal
ini adalah pendekatan pembelajaran tematik.
D. Pembelajaran Biasa
Mengajar
adalah proses menyampaikan berbagai informasi atau pengalaman dari seorang guru
kepada siswa. Mengajar seperti pandangan ini masih bersifat konvensional. Dalam
prakteknya tujuan mengajar hanya untuk menyampaikan informasi atau pengetahuan
saja dan selama proses pembelajaran berlangsung guru merupakan pusatnya atau
dengan kata lain proses pembelajaran terpusat pada sosok guru. Di samping itu pembelajaran
seperti ini umumnya materi pelajaran diserap melalui hapalan dan bukan
berdasarkan proses mental dan emosional yang diperoleh dari pengalaman. Pada
pembelajaran konvensional, umumnya guru beranggapan bahwa tugasnya adalah
menyelesaikan atau mentransfer pengetahuan seperti yang terdapat dalam GBPP
atau kurikulum tanpa adanya usaha atau upaya untuk menolong siswa agar memahami
dan mengerti materi ajar.
Menurut
Nasution (Suhendra, 2005:38) menjelaskan bahwa ciri-ciri pembelajaran biasa
yaitu : (1) tujuan tidak dirumuskan secara spesifik dalam bentuk kelakuan yang
dapat diamati dan diukur, (2) bahan pelajaran disajikan kepada kelompok, kepada
kelas sebagai keseluruhan tanpa memperhatikan siswa secara individual, (3)
kegiatan pembelajaran umumnya berbentuk ceramah, kuliah, tugas tertulis dan
media lain menurut pertimbangan guru, (4) siswa umumnya pasif karena dominan
mendengar uraian guru, (5) dalam hal kecepatan belajar, semua siswa harus
belajar menurut kecepatan yang umum ditentukan oleh kecepatan guru mengajar,
(6) keberhasilan belajar umumnya dinilai oleh guru secara subjektif, (7)
diharapkan bahwa hanya sebagian kecil saja akan menguasai bahan pelajaran
secara tuntas, sebagian lagi akan menguasainya sebagian saja, dan ada lagi yang
gagal, (8) guru terutama berfungsi sebagai penyalur atau penyebar pengetahuan
(sumber informasi atau pengetahuan).
Dengan
demikian pembelajaran konvensional atau pembelajaran biasa yang selama ini
terjadi umumnya dilakukan secara klasikal, dan guru masih sangat mendominasi
kelas. Guru menyampaikan sejumlah informasi kepada siswa dan komunikasi umumnya
terjadi satu arah dari guru ke siswa sebagai pendengar, memberikan contoh soal
dan menyelesaikannya, penurunan atau pembuktian rumus, siswa hanya mencatat dan
kadang-kadang sedikit dibarengi tanya jawab untuk menanyakan materi mana yang
belum dikuasai oleh siswa, kemudian memberikan soal-soal latihan untuk
diselesaikan oleh siswa baik di buku mereka ataupun di papan tulis secara
bergantian yang dikehendaki atau yang ditunjuk oleh guru. Peran guru umumnya
adalah menerangkan dan menjelaskan, memberikan dan menyelesaikan soal,
sedangkan siswa hanya mendengar, menulis atau mencatat apa yang tertulis di
papan tulis.
Melihat
dari kegiatan guru dan siswa serta ciri-ciri dalam proses pembelajaran di atas,
maka pembelajaran konvensional yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah
pembelajaran yang biasa dilakukan oleh guru sehari-hari dalam prakteknya selama
ini. Umumnya dalam kegiatan proses pembelajaran seperti tersebut di atas, guru
banyak menggunakan metode ceramah, dengan harapan agar semua materi mudah
disampaikan semua kepada siswanya sesuai dengan yang terdapat dalam kurikulum.
Meskipun
pembelajaran konvensional atau pembelajaran biasa disebut juga pembelajaran
yang masih bersifat tradisional, dimana lebih dominan menggunakan metode
ceramah, hal ini bukan berarti pembelajaran biasa yang menggunakan metode
tersebut kurang baik. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Dubin dan Taveggia
pada tahun 1968 (dalam Ruseffendi, 1998:228) menyimpulkan bahwa hasil belajar
melalui metode ceramah lebih unggul (dalam tentamen) jika dibandingkan bahwa
hasil belajar melalui metode lain, khususnya metode diskusi. Sedangkan Ausubel
(dalam Ruseffendi, 1998:291) menyebutkan, ”... metode ceramah merupakan cara
mengajar yang paling efektif dan efisien dan menyebabkan siswa belajar secara
bermakna”.
Berdasarkan
uraian di atas, maka dapat disimpulkan pembelajaran matematika biasa merupakan
suatu kegiatan atau proses pembelajaran yang dilakukan secara klasikal, proses
pembelajaran lebih didominasi guru, umumnya dilakukan dengan menggunakan metode
ceramah, dan komunikasi yang terjadi hanya searah sehingga siswa kurang
terakomodasi dalam menyampaikan pendapatnya.
Lebih
lanjut penulis dalam penelitian ini perlu membatasi bahwa pembelajaran biasa
yang digunakan adalah pembelajaran yang menggunakan metode ceramah, serta
kombinasi metode lainnya seperti metode ekspositori dan metode tanya jawab. Karena pada umumnya metode-metode ini
lebih banyak digunakan dalam proses pembelajaran matematika selama ini. Hal ini
sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Wahyudin (1995) dengan
menyimpulkan bahwa metode/strategi/pendekatan yang paling sering digunakan
umumnya (sebesar 90%) oleh guru matematika dalam pembelajaran matematika adalah
kombinasi metode ceramah dan ekspositori. Kedua metode tersebut umumnya proses
belajar berpusat pada guru, sedangkan siswanya lebih banyak bersikap pasif.
Berikut ini disajikan perbandingan
karakteristik antara pembelajaran biasa dengan pembelajaran tematik.
Tabel 2.1
Perbandingan Karakteristik
Antara Pembelajaran Tematik dan Pembelajaran Biasa
Pembelajaran Tematik
|
Pembelajaran Biasa
|
Guru
lebih banyak berperan sebagai fasilitator yaitu memberikan
kemudahan-kemudahan kepada siswa untuk melakukan aktivitas belajar.
|
Guru lebih mendominasi dalam pembelajaran (teacher center)
|
Siswa berperan sebagai subjek
belajar (student centered) atau
siswa yang melakukan kegiatan belajar
|
Siswa lebih banyak mendengar,
mencatat/menulis atau mengerjakan perintah guru.
|
Siswa memperoleh pengalaman
langsung (direct experiences),
sehingga siswa dihadapkan pada sesuatu yang nyata sebagai dasar untuk
memahami hal-hal yang lebih abstrak
|
Siswa meniru pengetahuan yang telah diterima dan
menggunakannya
|
Pemisahan mata pelajaran tidak begitu jelas
karena diarahkan pada pembahasan tema-tema. Menyajikan konsep dari berbagai
mata pelajaran, sehingga siswa mampu memahami konsep-konsep secara utuh.
|
Pemberian mata pelajaran dilakukan secara
terpisah.
|
Multi metode dengan prinsip
belajar sambil bermain dan menyenangkan. Misalnya: problem solving, tanya jawab, eksperimen, latihan, kerja
kelompok, dan lain-lain.
|
Umumnya kombinasi metode ceramah dan ekspositori
|
Hasil pembelajaran sesuai dengan minat dan
kebutuhan siswa
|
Hasil pembelajaran berdasarkan tuntutan
kurikulum
|
E. Teori Belajar Yang Mendukung Penelitian ini
Teori
belajar yang mendukung pembelajaran tematik berawal dari cara anak belajar.
Piaget (1950) dalam Depdiknas (2007) menyatakan bahwa setiap anak memiliki cara
tersendiri dalam menginterpretasikan dan beradaptasi dengan lingkungannya
(teori perkembangan kognitif). Menurutnya, setiap anak memiliki struktur
kognitif yang disebut schemata yaitu sistem konsep yang ada dalam pikiran
sebagai hasil pemahaman terhadap objek yang ada dalam lingkungannya. Pemahaman
tentang objek tersebut berlangsung melalui proses asimilasi (menghubungkan
objek dengan konsep yang sudah ada dalam pikiran) dan akomodasi (proses
memanfaatkan konsep-konsep dalam pikiran untuk menafsirkan objek). Kedua proses
tersebut kalau berlangsung terus menerus akan membuat pengetahuan lama dan
pengetahuan baru menjadi seimbang. Dengan cara seperti itu secara bertahap anak
dapat membenagun pengetahuan melalui interaksi dengan lingkungannya.
Berdasarkan hal tersebut, maka perilaku belajar anak sangat dipengaruhi oleh
aspek-aspek dari dalam diri dan lingkungannya. Kedua hal tersebut tidak mungkin
dipisahkan karena memang proses belajar terjadi dalam konteks interaksi diri
anak dengan lingkungannya.
Anak usia sekolah dasar berada pada
tahapan operasi konkret. Pada rentang usia tersebut anak mulai menunjukkan
perilaku belajar sebagai berikut: (1) mulai memandang dunia secara objektif,
bergeser dari satu aspek situasi ke aspek lain secara reflektif dan memandang
unsur-unsur secara serentak, (2) mulai berpikir secara operasional, (3)
mempergunakan cara berpikir secara operasional untuk mengklasifikasikan
benda-benda, (4) membentuk dan mempergunakan keterhubungan aturan-aturan,
prinsip ilmiah sederhana, dan mempergunakan hubungan sebab akibat, dan (5)
memahami konsep substansi, volume zat cair, panjang, lebar, luas, dan berat.
Memperhatikan tahapan perkembangan
berpikir tersebut, kecenderungan belajar anak usia sekolah dasar memiliki tiga
ciri, yaitu: (1) Konkrit, (2) Integratif, dan (3) hierarkis. Konkrit mengandung
makna proses belajar beranjak dari hal-hal yang konkret yakni yang dapat
dilihat, didengar, dibaui, diraba dan diotak-atik, dengan penekanan pada
pemanfaatan lingkungan sebagai sumber belajar. Pemanfaatan lingkungan akan
menghasilkan proses dan hasil belajar yang lebih bermakna dan bernilai, sebab
siswa dihadapkan dengan peristiwa dan keadaan yang sebenarnya, keadaan yang
dialami, sehingga lebih nyata, lebih faktual, lebih bermakna, dan kebenarannya
lebih dapat dipertanggungjawabkan.
Integratif mengandung arti bahwa pada
tahap usia sekolah dasar anak memandang sesuatu yang dipelajari sebagai suatu
keutuhan, mereka belum mampu memilah-milah konsep dari berbagai disiplin ilmu,
hal ini melukiskan cara berpikir anak yang deduktif yakni dari hal umum ke
bagian demi bagian. Sedangkan hierarkis bermakna bahwa pada tahapan usia
sekolah dasar, cara anak belajar berkembang secara bertahap mulai dari hal-hal
yang sederhana ke hal-hal yang lebih kompleks. Sehubungan dengan hal tersebut,
maka perlu diperhatikan mengenai urutan logis, keterkaitan antar materi, dan
cakupan keluasan serta kedalaman materi.
Teori belajar kedua yang mendukung
pembelajaran tematik adalah teori belajar bermakna. Pembelajaran pada
hakikatnya adalah suatu proses interaksi antar anak dengan anak, anak dengan
sumber belajar dan anak dengan pendidik. Kegiatan pembelajaran ini akan menjadi
bermakna bagi anak jika dilakukan dalam lingkungan yang nyaman dan memberikan
rasa aman bagi anak. Proses belajar bersifat individual dan kontekstual,
artinya proses belajar terjadi dalam diri individu sesuai dengan perkembangan
dan lingkungannya.
Belajar
bermakna (meaningful learning) merupakan suatu proses dikaitkannya
informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif
seseorang. Kebermaknaan belajar sebagai hasil dari peristiwa mengajar ditandai
oleh terjadinya hubungan antara aspek-aspek, konsep-konsep, informasi atau
situasi baru dengan komponen-komponen yang relevan di dalam struktur kognitif
siswa. Proses belajar tidak sekedar menghapal konsep-konsep atau fakta-fakta
belaka, tetapi merupakan kegiatan menghubungkan konsep-konsep untuk
menghasilkan pemahaman yang utuh, sehingga konsep yang dipelajari akan dipahami
secara baik dan tidak mudah dilupakan. Dengan demikian, agar terjadi belajar
bermakna maka guru harus selalu berusaha mengetahui dan menggali konsep-konsep
yang telah dimiliki siswa dan membantu memadukan konsep-konsep tersebut secara
harmonis dengan pengetahuan baru yang akan diajarkan.
Demikian
juga halnya dengan koneksi matematis, dalam NCTM standar (1989) dinyatakan
bahwa belajar bermakna merupakan landasan utama terbentuknya koneksi matematis.
Gagasan tentang belajar bermakna yang dikemukakan oleh William Brownell
merupakan ide dasar dari teori konstruktivisme. Menurut Brownell (Suherman,
2001:49), matematika dapat dipandang sebagai suatu sistem yang terdiri atas
ide, prinsip dan proses sehingga keterkaitan antara aspek-aspek harus dibangun
dengan penekanan bukan pada memori atau hapalan, melainkan pada aspek penalaran
atau intelegensi anak. Konsep yang dipelajari punya arti, dipahami sebagai
suatu disiplin yang terurut, terstruktur, dan memiliki keterkaitan satu dengan
yang lainnya, serta diperoleh melalui proses pemecahan masalah yang bervariasi.
Demikian
pula Bruner (Suherman, 2001:48) mengemukakan dalil pengaitan yakni dalam
matematika antara satu konsep dengan konsep lainnya terdapat hubungan yang
erat, bukan saja dari segi isi, namun juga dari segi rumus-rumus yang digunakan.
Kedua teori yang dikemukakan oleh
Brownell dan Bruner mendukung dikembangkannya kemampuan koneksi matematis.
Kemampuan koneksi matematis siswa yang baik dapat menjadikan siswa memandang
matematika sebagai bagian terintegrasi dalam kehidupan dan dapat menggunakan
matematika dalam pemecahan masalah.
BAB III
METODE
PENELITIAN
A.
Waktu
dan Tempat Penelitian
Penelitian
ini dilaksanakan di SDN 2 Birem Rayeuk Kecamatan Birem Bayeun Kabupaten Aceh
Timur. Sekolah ini terletak di jalan Dusun Bahagia Gampong Keude Birem lebih
kurang 300 m dari jalan Negara Medan – Banda Aceh. SD Negeri 2 Birem Rayeuk
didirikan pada tahun 1991. Sekolah ini memiliki siswa berjumlah 196 orang
dengan 6 rombongan belajar didukung 13 orang tenaga pengajar PNS dan non PNS
serta seorang kepala sekolah ditambah seorang penjaga sekolah. Penelitian ini dilaksanakan pada semster II
di bulan Pebruari sampai bulan Mei 2009.
B.
Subyek Penelitian
Penelitian
ini dilaksanakan di kelas rendah yaitu di kelas III dengan jumlah responden
sebanyak 36 siswa terdiri dari 31 orang perempuan dan 15 orang laki-laki.
C.
Teknik Pengumpulan Data
Cara yang digunakan dalam pengumpulan data, yaitu
melalui tes soal bentuk uraian. Tes dilakukan sebelum dan sesudah pembelajaran.
Sebelum pembelajaran dilakukan pre tes dan sesudah pembelajaran dilakukan pos
tes.
D.
Prosedur dan Teknik Pengolahan Data
Prosedur pengumpulan data yang
peneliti lakukan adalah sebagai berikut:
1.
Melalui pengamatan
langsung tentang aktivitas belajar siswa
2. Melalui wawancara dengan siswa kelas III
3. Melalui tes dengan persiapan LAS
Data kualitatif dalam penelitian ini diperoleh dari hasil angket siswa,
hasil observasi dan wawancara. (Angket siswa, pedoman observasi dan pedoman
wawancara dapat dilihat pada lampiran,).
E.
Bahan Ajar
Sesuai dengan tujuan penelitian, bahan ajar yang dikembangkan dalam
penelitian ini dirancang dengan kurikulum sekolah yang berlaku. Selain itu,
bahan ajar yang digunakan di kelas didesain agar kemampuan koneksi matematis
siswa dalam matematika, seperti: kemampuan mengaitkan antar topik matematika,
mengaitkan topik matematika dengan mata pelajaran lain, dan mengaitkan
matematika dengan kehidupan sehari-hari, dapat berkembang dengan baik.
Secara umum, bahan ajar yang dikembangkan untuk pembelajaran melalui
model pembelajaran tematik memiliki dua bentuk, yaitu bahan ajar yang dikemas
dalam bentuk sajian pembelajaran tematik dan bahan ajar yang dikemas dalam
bentuk pengantar pada tema. Bahan ajar yang dikemas dalam bentuk pengantar pada
tema disampaikan secara langsung tanpa melalui pengolahan dalam aktivitas
belajar. Dengan kata lain bahan ajar yang dikemas dalam bentuk pengantar tema
ini mempunyai sifat informative. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan Suryadi
(2005) bahwa bahan ajar yang disampaikan secara langsung tanpa melalui
pengolahan dalam aktivitas belajar disebut bahan ajar yang yang bersifat
informative. Sedangkan, bahan ajar yang dikemas dalam bentuk sajian
pembelajaran tematik menuntut siswa untuk berpikir lebih dari biasa dan
beraktivitas mengarah kepada kemampuan koneksi matematis yang diharapkan.
F.
Skenario Pembelajaran
Sesuai dengan desain penelitian yang dikemukakan di
atas, pembelajaran dilakukan melaui pembelajaran tematik.
Sementara itu, aspek-aspek pembelajaran di kelas
menyangkut bahan ajar dan pola interaksi di dalam kelas yang dijabarkan dalam
bentuk skenario pembelajaran (silabus, jaring-jaring tema, RPP, LAS dan Latihan
dapat dilihat pada lampiran). Secara umum gambaran skenario pembelajaran yang
akan dilaksanakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Pemetaan
kompetensi dasar, kegiatan ini dilakukan untuk memperoleh gambaran secara
menyeluruh dan utuh mengenai penjabaran standar kompetesi dan kompetensi dasar
dari berbagai mata pelajaran (Matematika, Seni Budaya dan Keterampilan dan B.
Indonesia dan IPS) yang dipadukan dalam tema yang dipilih (Rumahku). Kegiatan
yang dilakukan adalah menjabarkan standar kompetensi dan kompetensi dasar ke
dalam indikator yang diharapkan. Selanjutnya
menentukan tema untuk mengikat keterpaduan antar mata pelajaran.
2. Menetapkan jaringan tema yaitu
menghubungkan kompetensi dasar dan indikator dengan tema. Dengan jaringan tema
tersebut akan terlihat kaitan antara tema, kompetensi dasar dan indikator dari
setiap mata pelajaran.
3. Mendeskripsikan indikator ke dalam materi
pembelajaran
4. Pelaksanaan pembelajaran dengan
mengembangkan koneksi matematis yang diharapkan.
5. Pada awal pelaksanaan kegiatan
pembelajaran, guru memberikan apersepsi untuk menarik perhatian siswa sesuai
dengan tema yang akan disajikan. Apersepsi tersebut diantaranya berdoa bersama,
membahas materi yang telah lalu, bernyanyi bersama atau melakukan permainan.
6. Pada kegiatan inti, siswa diberi
kesempatan yang seluas-luasnya untuk melihat keterkaitan-keterkaitan antar
materi pelajaran yang disajikan berdasarkan tema yang ditentukan. Pada proses
ini siswa lebih banyak melakukan aktivitas melalui lembar aktivitas siswa.
7. Pada kegiatan akhir, guru memberikan
penguatan kepada siswa.
G. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian meliputi langkah-langkah
sebagai berikut:
1. Perencanaan
2. Pelaksanaan
3. Observasi
4. Refleksi
Prosedur penelitian dapat digambarkan dengan skema sebagai berikut
Pada kegiatan siklus akan dilakukan
sesuai dengan tahap-tahap tersebut.
Penelitian
akan di lakukan dengan 2 (dua ) siklus. Tiap siklus meliputi kegiatan
perencanaan tindakan , pelaksanaan ,observasi dan refleksi.
Siklus
I
a.
Rencana
Tindakan
Pada pertemuan mingguan disusun rencana berikut: Guru merencanakan
pembelajaran yang akan dilaksanakan dengan membuat rencana pembelajaran dengan
pendekatan tematik , membawa alat peraga beberapa model benda yang sering ada
di rumah misalnya.; kotak susu, kaleng minuman, bingkai foto, dan beberapa
model bangun datar, dan lembar observasi serta membagi siswa menjadi 6 (enam)
kelompok.
b.
Pelaksanaan
Tindakan
1. Pertemuan pertama
Guru menyiapkan beberapa benda yang
dibawa dari rumah misalnya : kotak susu, kaleng minuman, bingkai
foto dan
lain-lain. Seluruh
benda tersebut di letakkan di atas meja. Guru menyiapkan beberapa model bangun
datar yang terbuat dari karton seperti; persegi, persegi panjang, segi tiga dan
lain-lain. Seluruh bangun datar tersebut disimpan dalam kotak tertutup. Secara
bergantian setiap kelompok dipanggil kedepan kelas untuk meraba salah satu
benda yang ada dalam kotak tertutup tersebut . kemudian siswa tersebut diminta
mengenali benda yang dia raba dan membandingkannya dengan benada yang ia lihat
di atas meja. Kemudian siswa dimita untuk menunjukkan benda yang di atas meja,
yang permukaannya serupa dengan yang ia raba dalam kotak tertutup tadi. Hal ini
dilakukan berulang kali sampai semua bangun datar yang ada dalam kotak
teridentifikasi semua oleh setiap kelompok. Masing-masing siswa pada setiap
kelompok menceritakan pengalaman yang dialaminya tadi. Kemudian siswa lainnya
menanggapi masalah yang diceritakan. Guru mermperlihatkan bangun datar yang ada
di dalam kotak. Setiap kelompok mendaftar nama-nama bangun datar yang ada dalam kotak. Kemudian
menyebutkan benda-benda yang ada disekitar rumahnya yang serupa dengan bangun
datar tersebut perwakilan kelompok melaporkan hasil diskusi kelompoknya,
sedangkan siswa lainya member tanggapan terhadap hasil diskusi yang dilaporkan.
2. Pertemuan Kedua
Secara berkelompok siswa diminta
menyusun sebuah model rumah yang tersusun dari berbagai jenis bangun dartar
yang telah disediakan oleh guru, siswa diminta untuk memberikan warna dan
hiasan pada rumah-rumahan yang mereka bentuk. Guru membacakan puisi depan kelas
yang berjudul “Rumahku”. Siswa diminta membaca puisi dengan lafal, intonasi dan
ekspresi yang tepat. Beberapa siswa diminta untuk memperagakan cara membaca
puisi di depan kelas. Siswa lainya menilai dan memberikan tanggapan sederhana
terhadap cara membaca puisi temanya.
c.
Observasi
Kegiatan observasi dilaksanakan secara
kolaboratif dengan melibatkan pengamat untuk mengamati tingkah laku dan sikap
siswa ketika mengikuti pembelajaran matematika yang menerapkan model
pembelajaran tematik melalui kemampuan koneksi matematis. Semua temuan dicatat
dan di rekam oleh peneliti dan juga pengamat.
d. Refleksi
Pada akhir siklus I diadakan refleksi
terhadap hasil-hasil yang diperoleh, baik dari hasil angket, catatan guru dan
pengamat. Setelah mengkaji hasil belajar tematik dan hasil pengamatan aktivitas
siswa, serta menyesuaikan dengan ketercapaian indikator kinerja maka peneliti merencanakan
melanjutkan pada siklus II untuk melihat peningkatan kemapuan siswa dalam
koneksi matematis.
Siklus
II
a. Rencana Tindakan
Pada pertemuan kali ini disusun rencana seperti pada siklus pertama: Guru
melanjutkan siklus I dengan penambahan materi tetapi masih terkait dengan
materi pada siklus I serta membagi siswa menjadi 6 (enam) kelompok.
b. Pelaksanaan Tindakan
1. Pertemuan pertama
Siswa
memperhatikan bentuk model rumah yang telah mereka buat pada pertemuan
yang lalu. Siswa diminta untuk mengidentifikasi berbagai bangun datar yang
membentuk model rumah tersebut dan mendaftar serta menjelaskan ciri-ciri dari
berbagai bangun datar yang ditemukan pada bentuk rumah tersebut. Siswa juga
diminta menyebutkan contoh berbagai jenis bangun datar lainya beserta benda
yang menterupai bangun datar tersebut. Dari berbagai jenis bangun datar yang
telah diketahui mereka diminta untuk menggambar sebuah benda yang tersusun dari
berbagai bangun datar tersebut. Dengan memperhatikan gambar yang telah dibuat,
siswa diminta untuk menulis sebuah karangan sederhana .
2. Pertemuan Kedua
Guru memberikan gambar suatu denah yang
tertera di dalam lembar aktifitas siswa, siswa diminta menyebutkan nama-nama
jalan yang terdapat dalam denah sesuai yang diperintahkan dalam lembar aktifitas
siswa. Siswa diminta untuk menyebutkan pasangan nama jalan yang membentuk
sudut. Siswa diminta untuk mengurutkan nama-nama jalan dan menyebutkan
jenis-jenis sudut yang terbentuk. Siswa diminta untuk membuat karangan
sederhana berdasarkan gambar denah yang disajikan.
c. Observasi
Hasil observasi pada siklus II
menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan. Kesungguhan siswa dalam
mengikuti pelajaran matematika lebih meningkat. Perhatian dan semangat siswa
lebih meningkat. Semua siswa mengikuti pelajaran dengan penuh semangat, tidak
ada yang terlihat malas dalam mengikuti pelajaran. Observasi selain dilakukan
peneliti juga dilakukan oleh pengamat. Semua temuan selama proses pembelajaran
berlangsung dicatat dan direkam oleh peneliti dan pengamat.
d. Refleksi
Pada akhir siklus II diadakan refleksi
terhadap hasil-hasil yang diperoleh, baik dari hasil angket, catatan guru dan
pengamat. Hasil yang didapat dalam tahap observasi dikumpulkan serta dianalisis
pada tahap ini. Peneliti dapat merefleksi diri berdasrkan hasil observasi dan
diskusi untuk mengkaji apakah tindakan yang telah dilakukan dapat meningkatkan
kemampuan siswa. Hasil analisis data yang dilakukan dalam tahapan ini akan
dipergunakan sebagai acuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan siswa.
BAB IV
HASIL
PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.
Hasil Penelitian
Sebagaimana telah dikemukakan
pada bab sebelumnya, tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis dan
mengungkap secara komprehensif mengenai peningkatan kemampuan koneksi matematis
pada siswa dengan pembelajaran tematik. Selain itu, diungkap pula interaksi antara
pembelajaran dengan tingkat kemampuan siswa. Dengan demikian pada bab ini
disajikan hasil penelitian yang melingkup perbandingan peningkatan kemampuan
koneksi matematis berdasarkan faktor pembelajaran dan tingkat kemampuan siswa.
Setelah diamati dan didiskusikan serta dilakukan refleksi selama
pelaksanaan penelitian tindakan dilapangan, maka dapatlah dipaparkan hasilnya
sebagai berikut:
- Keberanian siswa mengemukakan pendapat juga semakin
meningkat. Siswa sudah berani mengungkapkan pendapat, mengomentari suatu
hal atau pun mengungkapkan ide-idenya. Keberanian lain yang juga semakin
meningkat yaitu keberaniannya menjawab pertanyaan. Mereka berlomba-lomba
untuk memperoleh pertanyaan dan menjawabnya. Peningkatan juga terlihat
pada kemampuan siswa untuk tampil di kelas. Masing-masing siswa berusaha
tampil dengan sebaik-baiknya.
-
Perubahan yang cukup signifikan juga terjadi di aspek
ketepatan. Rata-rata siswa di kelas mampu menjawab pertanyaan dengan
tepat. Mereka juga mampu menyelesaikan tugas tepat waktu. Selain itu siswa
juga lebih mampu membuat pertanyaan yang bagus yang mudah dipahami dan
sesuai dengan materi.
- Aspek kecepatan siswa juga mengalami
peningkatan. Siswa dapat menyelesaikan tugas lebih awal. Kecepatan juga
terlihat saat siswa menjawab pertanyan. Siswa dapat menjawab pertanyaan
dengan cepat dan tepat. Sehinga pelajaran dapat berlangsung dengan lancar,
aktif, kreatif, bermakna, dan menyenangkan
- Perubahan yang cukup signifikan juga terjadi
pada guru sebagai fasilitator pembelajaran. Kualitas guru dalam mengajar
lebih meningkat dibandingkan siklus sebelumnya. Guru lebih tenang, dapat
menciptakan suasana pembelajaran yang efektif, terkesan luwes, dan dapat
menguasai kelas, mengelola ruang, menggunakan model pembelajaran, dan
strategi dengan tepat.
- Hal yang lebih menggembirakan lagi guru
terkesan lebih kreatif, lebih bergairah mengajar, membawa suasana kelas
menjadi menjadi segar. Dengan suasana kelas yang demikian ternyata siswa lebih
mudah memahami materi pelajaran.
- Hasil belajar siswa meningkat dan kualitas
guru dalam mengajar juga meningkat. Sehingga tidak aneh lagi jika anatara
guru dan siswa terjalin hubungan yang dinamis, harmonis, dan menyenangkan.
B. Pembahasan
Berdasarkan
hasil penelitian diketahui bahwa terdapat peningkatan kemampuan koneksi
matematis dan sikap siswa. dengan penerapan pembelajaran tematik. Hal tersebut
diindikasikan dari perolehan rata-rata siklus I (6,47) dan siklus II (7,85).
Sedangkan pencapaian ketuntasan belajar individu pada siklus I sebesar 76,19 %
dan siklus II sebesar 91,66 % sehingga indikator kinerja penelitian tindakan
kelas ini selesai pada siklus II.
Terjadinya
hipotesis tindakan dalam penelitian ini membuktikan bahwa penerapan model
pembelajaran tematik dapat meningkatkan kemampuan koneksi matematis dan sikap
siswa. Di samping aspek kognitif siswa, penerapan model tersebut juga mampu
meningkatkan aspek afektif dan psikomotor. Aspek afektif yang tampak yakni
kesungguhan, keberanian, sementara aspek psikomotor dapat dilihat dari
kecepatan dan ketepatan siswa menyelesaikan serangkaian tugas.
Hal
tersebut sesuai dengan pendapat Nana
Sudjana (2002) bahwa dalam pembelajaran terdapat tiga ranah yang menjadi
fokus peningkatan kualitas pembelajaran yakni ranah kognitif, ranah efektif,dan
ranah psikomotoris. Dengan demikian hasil penelitian tindakan kelas ini dapat
dijadikan rujukan oleh peneliti lain yang hendak menelaah dan menindakkritisi
sebagai fenomena aktual bidang pendidikan kususnya dalam hal inovasi
pembelajaran.
Pembahasan hasil penelitian dilakukan berdasarkan pada faktor-faktor yang
dicermati dalam studi ini, meliputi: Perbedaan kemampuan koneksi matematis siswa,
perbedaan peningkatan kemampuan koneksi matematis berdasarkan faktor pembelajaran
dan tingkat kemampuan siswa, serta sikap siswa terhadap matematika dalam
pembelajaran tematik..
1.
Kemampuan Koneksi Matematis Siswa
Kemampuan koneksi matematis
siswa diungkap melalui pretes dan postes. Berdasarkan hasil penelitian yang
telah dikemukakan pada bagian sebelumnya, diketahui bahwa kemampuan koneksi
matematis siswa sebelum diterapkan pendekatan tematik tergolong kurang. Hal ini
diperlihatkan oleh rata-rata skor pretes yang kurang dari 50% skor maksimal
ideal. Dimana 50% dari skor maksimal ideal adalah sebesar 50. Menurut Firdaus
(2005 : 54) jika rata-rata skor siswa kurang dari 50% dari skor total ideal,
maka kemampuan siswa dikatakan kurang.
Setelah diberi perlakuan
berupa pembelajaran tematik, kemampuan koneksi matematis siswa yang memperoleh
pembelajaran tematik mengalami peningkatan yang signifikan. Hal ini dapat
disimpulkan bahwa peningkatan kemampuan koneksi matematis pada pembelajaran
tematik lebih berhasil. Mencermati hasil penelitian di atas, pembelajaran
tematik menunjukkan peran yang sangat berarti dalam meningkatkan kemampuan
koneksi matematis dan sikap siswa. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian yang
dilakukan oleh Susanti (2008) yang menyebutkan bahwa melalui pembelajaran tematik,
hasil belajar matematika siswa mengalami peningkatan.
Bila ditinjau kembali, kemampuan koneksi
matematis siswa dapat meningkat atau berkembang apabila dalam proses
pembelajarannya, siswa diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk melihat
keterkaitan-keterkaitan antara konsep-konsep awal yang telah dimilikinya dengan
konsep-konsep baru yang dihadapinya. Dalam pembelajaran tematik, proses
pembelajaran selalu diarahkan pada aktivitas siswa. Aktivitas yang dilakukan
siswa selalu diupayakan agar dekat dengan kehidupan siswa. Dengan demikian
siswa akan belajar secara langsung dan tidak merasa seperti dipaksa untuk
belajar melainkan memiliki motivasi sendiri untuk belajar. Aktivitas dalam
pembelajaran tematik juga selalu dekat dengan kehidupan siswa sehingga membuat
siswa dapat belajar dengan bermakna. Hal ini sesuai dengan teori belajar
bermakna (meaningful learning), dimana belajar bermakna merupakan suatu
proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat
dalam struktur kognitif seseorang. Kebermaknaan belajar sebagai hasil dari
peristiwa mengajar ditandai oleh terjadinya hubungan antara aspek-aspek,
konsep-konsep, informasi atau situasi baru dengan komponen-komponen yang
relevan di dalam struktur kognitif siswa. Proses belajar tidak sekedar
menghapal konsep-konsep atau fakta-fakta belaka, tetapi merupakan kegiatan
menghubungkan konsep-konsep untuk menghasilkan pemahaman yang utuh, sehingga
konsep yang dipelajari akan dipahami secara baik dan tidak mudah dilupakan.
Dalam pembelajaran tematik
juga, pengembangan konsep dalam materi-materi matematika tidak dibatasi oleh
topik yang sedang dibahas saja, melainkan dikaitkan pula dengan topik-topik
yang relevan, bahkan dengan mata pelajaran lain. Aktivitas yang dikembangkan
dalam pembelajaran tematik selalu menuntut siswa agar dapat menghubungkan
pengetahuan awal yang dimilikinya dengan aktivitas yang akan dilakukannya,
sehingga hal ini dapat mengembangkan kemampuan koneksi matematisnya. Hal ini
juga sesuai dengan teori perkembangan kognitif yang dikemukan oleh Piaget. Menurutnya,
setiap anak memiliki struktur kognitif yang disebut schemata yaitu sistem
konsep yang ada dalam pikiran sebagai hasil pemahaman terhadap objek yang ada
dalam lingkungannya. Pemahaman tentang objek tersebut berlangsung melalui
proses asimilasi (menghubungkan objek dengan konsep yang sudah ada dalam
pikiran) dan akomodasi (proses memanfaatkan konsep-konsep dalam pikiran untuk
menafsirkan objek). Kedua proses tersebut kalau berlangsung terus menerus akan
membuat pengetahuan lama dan pengetahuan baru menjadi seimbang. Dengan cara
seperti itu secara bertahap anak dapat membangun pengetahuan melalui interaksi
dengan lingkungannya.
Bila memperhatikan tahapan
perkembangan berpikir yang dikemukakan oleh Piaget, yaitu bahwa anak usia
sekolah dasar berada pada tahapan operasi kongkret. Kecenderungan belajar anak
usia sekolah dasar memiliki tiga ciri, yaitu: (1) Konkrit, (2) Integratif, dan
(3) hierarkis. Konkrit mengandung makna proses belajar beranjak dari hal-hal
yang konkret yakni yang dapat dilihat, didengar, dibaui, diraba dan diotak-atik,
dengan penekanan pada pemanfaatan lingkungan sebagai sumber belajar.
Pemanfaatan lingkungan akan menghasilkan proses dan hasil belajar yang lebih
bermakna dan bernilai, sebab siswa dihadapkan dengan peristiwa dan keadaan yang
sebenarnya, keadaan yang dialami, sehingga lebih nyata, lebih faktual, lebih
bermakna, dan kebenarannya lebih dapat dipertanggungjawabkan.
2.
Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematis Siswa
Berdasarkan hasil temuan di lapangan, secara umum
terdapat perbedaan yang signifikan antara kemampuan koneksi matematis siswa
yang memperoleh perlakuan melalui pembelajaran tematik. Siswa yang memperoleh
pembelajaran tematik mengalami pengingkatan kemampuan koneksi matematis yang
lebih baik.
Dengan demikian,
pembelajaran tematik sangatlah sesuai bila diterapkan pada setiap tingkat
kemampuan siswa, baik tinggi, sedang maupun rendah. Bila memperhatikan beberapa
karakteristik yang dikemukakan oleh Sanjaya (2006:52) mengenai kemampuan
belajar siswa yang dikelompokkan pada siswa berkemampuan tinggi, sedang dan
rendah, siswa yang termasuk berkemampuan tinggi biasanya ditunjukkan oleh
motivasi yang tinggi dalam belajar, perhatian dan keseriusan dalam mengikuti
pelajaran, dan lain-lain. Sebaliknya siswa yang tergolong pada kemampuan rendah
ditandai dengan kurang motivasi belajar, tidak adanya keseriusan dalam
mengikuti pelajaran, termasuk menyelesaikan tugas dan sebagainya. Pembelajaran
tematik merupakan salah satu pembelajaran yang menekankan pada aktivitas siswa
dalam pelaksanaannya. Keaktifan siswa sangat bergantung pada kemampuan guru
dalam mengorganisasi materi pembelajaran dan kelas selama pembelajaran
berlangsung. Aktivitas-aktivitas yang diberikan dalam pembelajaran tematik
selalu menampilkan permasalahan-permasalahan yang menuntut keterampilan dan
pengetahuan yang sesuai dengan tingkat kemampuan siswa. Pemilihan tema yang
dekat dengan diri dan lingkungan siswa sangat membantu siswa dalam mengikuti
pembelajaran di kelas dan dapat membangkitkan motivasi siswa dalam belajar.
Materi-materi dari berbagai
mata pelajaran yang dipadukan melalui tema, serta pengalaman belajar yang dapat
memperlihatkan keterkaitan-keterkaitan antara materi dalam pembelajaran tematik
sangat sesuai dengan tahapan berpikir anak. Pembelajaran tematik sangat relevan
bila diberikan pada anak usia sekolah dasar terutama kelas rendah (I, II dan
III). Hal ini dapat dibuktikan dari hasil temuan di atas, bahwa pembelajaran
tematik dapat meningkatkan kemampuan koneksi matematis pada semua tingkat
kemampuan siswa baik tinggi, sedang ataupun rendah. Hal ini juga senada dengan
yang diungkapkan oleh Joni dalam Sa’ud (2006) bahwa pembelajaran tematik sangat diperlukan terutama
untuk sekolah dasar, karena pada jenjang ini siswa menghayati pengalamannya
masih secara totalitas serta masih sulit menghadapi pemilahan yang artificial.
Berbeda halnya dengan pembelajaran biasa. Dalam pembelajaran biasa,
pembelajaran masih berpusat kepada guru. Siswa jarang jarang diberi kesempatan
untuk mengeksplor kemampuannya dalam menyelesaikan masalah. Siswa tidak diberi
kesempatan untuk melihat keterkaitan-keterkaitan antara pengetahuan awal yang
telah dimilikinya dengan pengetahuan baru yang akan dipelajarinya. Oleh karena
itu, siswa belajaranya kurang bermakna, sehingga mereka mudah lupa terhadap
materi yang telah disampaikan oleh guru. Pembelajaran yang biasa dilakukan oleh
guru, seperti : guru menjelaskan konsep dan contoh soal kepada siswa
dilanjutkan dengan latihan, masih tetap efektif jika matematika masih dipandang
sebagai kumpulan rumus, aturan dan prosedur yang harus diingat dan dikuasai
siswa. Padahal matematika merupakan
alat bantu dalam menyelesaikan berbagai permasalahan sehingga kemampuan koneksi
matematis harus dikembangkan. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian yang
dilakukan oleh Carilah (2005), yang mengemukakan bahwa kemampuan koneksi
matematis siswa dapat meningkat melalui perbaikan pembelajaran yaitu melalui
pembelajaran melalui pendekatan peecahan masalah.
3.
Sikap Siswa Terhadap Matematika
Berdasarkan hasil penelitian melalui
hasil angket, diketahui respon dan tanggapan siswa terhadap pembelajaran
matematika, soal-soal koneksi matematis, dan pembelajaran tematik umumnya
positif. Siswa merasa perlu dan tertantang dengan soal-soal koneksi matematis
karena dapat mengembangkan kemampuan koneksi matematis. Lebih khusus lagi,
hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan sikap siswa secara
signifikan antara siswa yang memperoleh pembelajaran tematik dengan pembelajaran
biasa. Sikap positif tersebut diantaranya : siswa bersemangat dalam belajar,
siswa mampu menyelesaikan tugas yang diberikan, siswa mampu menerapkan konsep
matematika terhadap masalah yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari maupun
dengan mata pelajaran lain, dan siswa mampu bekerja sama dalam kelompok. Hal ini diperkuat
juga oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Diana (1999), yang menyatakan
bahwa melalui pembelajaran terpadu model jaring laba-laba mampu meningkatkan
keberanian siswa untuk berargumentasi, mengajukan pertanyan, memainkan peranan
dalam kelompok, dan menyelesaikan tugas yang diberikan pembelajaran tematik.
Sebagaimana diungkapkan
sebelumnya bahwa sikap siswa terhadap pembelajaran tematik lebih positif bila
dibandingkan dengan pembelajaran biasa. Hal ini disebabkan pada pembelajaran
tematik memiliki karakteristik yang berbeda bila dibandingkan dengan
pembelajaran biasa. Sikap siswa tersebut
dapat tergambar dari rasa senang atau tidak senang (minat) siswa terhadap
pembelajaran matematika seperti yang terlihat pada tabel berikut;
TABEL. REKAPITULASI
HASIL ANGKET SISWA
Aspek
|
Indikator
|
Jumlah dan sifat pernyataan
|
Frekuensi dan persentase
|
Total Frekuensi
|
Ya
|
Tidak
|
Pembelajaran Matematika
|
Siswa mengungkapkan kesungguhannya dalam
belajar matematika
|
5 (positif)
|
31
87,33%
|
5
12,67%
|
36
|
6 (negatif)
|
4
10%
|
32
90%
|
36
|
Pembelajaran Tematik
|
Siswa menyatakan minatnya terhadap
pembelajaran tematik
|
3 (positif)
|
34
94,44%
|
2
5,56%
|
36
|
1(negatif)
|
0
0%
|
36
100%
|
36
|
Siswa mengungkapkan peran guru dalam
pembelajaran tematik
|
3 (positif)
|
30
83,33%
|
6
16,67%
|
36
|
1(negatif)
|
17
46,67%
|
19
53,33%
|
36
|
Koneksi Matematis
|
Siswa menyatakan minatnya terhadap
soal-soal koneksi matematis
|
6 (positif)
|
26
71,67%
|
10
28,33
|
36
|
5 (negatif)
|
12
35,33%
|
24
64,67%
|
36
|
Berdasarkan tabel di atas,
sebanyak 87,33% siswa mengungkapkan kesungguhannya dalam belajar matematika. Sedangkan
respon siswa yang menyatakan minatnya terhadap pembelajaran tematik sebanyak
94,44%. Dalam hal peran guru dalam pembelajaran tematik, siswa mengungkapkan
bahwa peran guru dalam menyampaikan materi sangat menyenangkan. Selain itu, guru juga selalu mengkaitkan konsep
yang diberikan dengan tema yang ada. Respon positif siswa terhadap peran guru
tersebut sebanyak 83,33%. Dalam kaitannya dengan koneksi matematis, siswa
menyatakan minatnya terhadap soal-soal koneksi matematis dengan respon positif.
Hal ini dibuktikan oleh persentase respon positif mereka sebanyak 71,67%.
Dengan demikian, secara umum dapat disimpulkan bahwa siswa memberikan respon
positif terhadap pembelajaran matematika, pembelajaran tematik dan terhadap
soal-soal-soal koneksi matematis.
Pada pembelajaran tematik,
siswa diberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk melihat
keterkaitan-keterkaitan antar konsep dalam matematika maupun dalam mata
pelajaran serta keterkaitan dengan kehidupan nyata siswa. Di samping itu,
pembelajaran disesuaikan dengan minat dan kebutuhan siswa sehingga siswa dapat
belajar dengan semangat dan menyenangkan. Sedangkan dalam pembelajaran biasa,
siswa mudah bosan karena umumnya pembelajaran berpusat pada guru. Siswa kurang
diberi kesempatan untuk melihat keterkaitan-keterkaitan antar konsep, dan siswa
cenderung bersikap pasif dalam pembelajaran.
Dengan diperolehnya sikap positif tersebut, proses learning to be dalam pilar pendidikan UNESCO sudah mulai tercipta. Keadaan
seperti ini sebenarnya bisa menjadi modal untuk bisa menciptakan suasana
belajar yang efektif agar dapat meningkatkan hasil belajar siswa yang lebih
tinggi. Berlin
dan Hillen (1994:290) menyatakan bahwa sikap positif siswa akan menjadi langkah
awal untuk menuju kepada lingkungan belajar yang efektif. Di pihak guru,
lingkungan belajar yang efektif menuntut guru supaya bertindak efektif. Menurut
Ruseffendi (1991:39) mengatakan bahwa guru efektif adalah guru yang mengajarnya
berhasil. Ini berarti untuk bisa meningkatkan kemampuan koneksi matematis
siswa, maka guru harus kreatif dalam menghubungkan konsep yang satu dengan
konsep lainnya dalam upaya mencapai hasil pembelajaran yang diinginkan.
Respon dan tanggapan positif
siswa terhadap pembelajaran tematik dan koneksi matematis, merupakan reaksi
terhadap proses pembelajaran matematika dengan pendekatan biasa. Sehingga siswa
mengharapkan suasana dan pendekatan baru yang lebih melibatkan peran serta
siswa dalam proses pembelajaran.
Dari hasil temuan di lapangan berdasarkan
observasi di dalam kelas dan hasil wawancara dengan guru, proses pelaksanaan
kegiatan pembelajaran tematik secara umum berlangsung dengan baik.
Aktivitas-aktivitas yang dilakukan siswa selalu diusahakan agar dapat menggali
dan mengeksplor pengetahuan dari siswa itu sendiri. Adapun masalah koneksi
matematis yang diberikan pembelajaran tematik membuat siswa aktif membangun
sendiri pengetahuannya berdasarkan pengetahuan awal yang mereka miliki. Hal tersebut menyadarkan siswa akan
pentingnya kemampuan koneksi matematis yang harus mereka miliki.
Dalam pelaksanaan kegiatan
tematik pada penelitian ini, cara pengemasan pengalaman belajar atau aktivitas
belajar yang dirancang sangat berpengaruh terhadap kebermaknaan pengalaman bagi
siswa. Pengalaman belajar yang lebih menunjukkan keterkaitan-keterkaitan antar
topik dalam matematika, keterkaitan antara materi matematika dengan materi
dengan mata pelajaran lain serta keterkaitan materi matematika dengan kehidupan
sehari-hari dapat menjadikan proses pembelajaran lebih efektif sehingga
kemampuan koneksi matematis siswa dapat berkembang dan meningkat. Keterkaitan
materi-materi matematika yang dipelajari dengan materi-materi mata pelajaran
lain yang relevan akan membentuk skema, sehingga anak akan memperoleh keutuhan
dan kebulatan pengetahuan. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh
William dalam (Sa’ud : 2006) bahwa, perolehan keutuhan belajar, pengetahuan,
serta kebulatan pandangan tentang kehidupan dan dunia nyata hanya dapat
direfleksikan melalui pembelajaran tematik/terpadu.
Adapun kendala yang ditemukan
di lapangan dalam pembelajaran tematik adalah sebagai berikut: (1) Pembelajaran
tematik merupakan hal yang baru bagi guru, sehingga guru masih belum terbiasa
dengan pembelajaran tersebut. Guru masih kesulitan untuk menyatukan berbagai mata pelajaran dalam satu
tema. (2) Guru kesulitan dalam menentukan tema yang tepat dan relevan dengan
kebutuhan anak (3) Proses pembelajaran tematik yang dapat mengembangkan koneksi
matematis siswa memerlukan pengetahuan dan keterampilan yang cukup dari guru.
BAB V
KESIMPULAN
DAN REKOMENDASI
A.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data penelitian yang telah dikemukakan pada
bab sebelumnya, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Terdapat peningkatan yang signifikan
kemampuan koneksi matematis pada siswa dengan penerapan pembelajaran tematik. Dengan
demikian, kemampuan koneksi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran
matematika melalui pendekatan tematik secara statistik lebih baik.
2. Bila dilihat dari tingkat kemampuan siswa
tinggi, sedang dan rendah, terdapat perbedaan peningkatan yang signifikan
antara kemampuan koneksi matematis pada pembelajaran tematik. Dengan demikian,
peningkatan kemampuan koneksi matematis antar kelompok siswa yang memperoleh
pembelajaran tematik lebih baik daripada peningkatan kemampuan koneksi
matematis antar kelompok siswa yang memperoleh pembelajaran biasa.
3.
Berdasarkan sikap siswa,
siswa yang memperoleh pembelajaran melalui pendekatan tematik memiliki sikap
positif terhadap pembelajaran matematika. Mereka memiliki semangat yang tinggi,
antusias, motivasi tinggi dalam belajar, serta memiliki hasil belajar yang
baik. Respon siswa terhadap soal-soal koneksi matematispun umumnya positif.
Siswa senang dan tertantang dalam menyelesaikan soal-soal koneksi matematis
karena dapat mengembangkan kemampuan koneksi matematisnya.
B.
Rekomendasi
Berdasarkan temuan pada
penelitian ini, maka dapat dikemukakan rekomendasi sebagai berikut:
1. Pembelajaran tematik secara signifikan
lebih baik daripada pembelajaran biasa dalam meningkatkan kemampuan koneksi
matematis siswa sekolah dasar, baik ditinjau secara keseluruhan maupun
berdasarkan tingkat kemampuan matematika siswa. Dengan demikian, pembelajaran
tematik dapat dijadikan sebagai alternatif dalam pembelajaran yang sangat
potensial apabila diterapkan di lapangan dalam upaya meningkatkan kualitas
pendidikan.
2. Pembelajaran tematik dapat meningkatkan
sikap positif siswa terhadap matematika. Keadaan ini bisa menjadi modal untuk
bisa menciptakan suasana belajar yang efektif agar dapat meningkatkan hasil
belajar siswa yang lebih tinggi.
3. Pembelajaran tematik merupakan
pembelajaran yang berpusat pada siswa dan diharapkan dapat dilakukan oleh para
guru di sekolah untuk mencapai kompetensi matematika seperti yang termuat dalam
KTSP. Atas dasar itu, hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan untuk
memperkaya wawasan para calon guru dan para guru di sekolah.
4. Penentuan tema yang relevan dengan
kehidupan siswa merupakan hal terpenting yang harus dipenuhi dalam pembelajaran
tematik. Masalah-masalah yang disajikan melalui pengalaman belajar harus selalu
mengkaitkan pengetahuan awal yang dimiliki siswa dengan pengetahuan yang akan
dipelajari siswa. Hal ini akan mengembangkan kemampuan koneksi matematis siswa.